Insomnia
Dini hari yang sungguh tak semenyenangkan yang dipikirkan. Mencari lega dari pengap udara, bersama dua malaikat bersayap.
Setengah cangkir kopi dingin yang mulai hambar. Di lantai kamar pesan-pesan berjatuhan dari koran-koran yang tergeletak sembarang.
Segala begitu sunyi, atau barangkali dunia memang telah mati. Tiba-tiba angin berbisik parau menyebut sebuah nama. Ah.. rinduku mendadak akut, ribut.
Sekotak kata di atas meja, terperangkap waktu yang beku membatu. Dan, hey pagi, cepatlah kemari! Aku ingin mencari bayang-bayang diri yang sedang sembunyi.
Sepertinya langitmu tak tergapai sayapku yang patah tertebas kecemasanku sendiri. Angin terhenti, sejenak paru – paruku berjeda dan aku sudahi rindu semampuku.
***
Lantas hari-hari tak akan pernah sama
Pagi adalah kembali menemukan realita yang terlupa, setelah semalaman mabuk angan-angan.
Pada malam itu, kau adalah sebuah buku yang sudah bisa kuterka bagaimana isi halaman terakhirnya. Sementara aku pembaca yang setia yang memang tak punya pilihan lain.
Kalimat-kalimatnya sederhana, sedikit mendayu, merayu, dan yang paling kuhapal adalah tamparan akan takdir luka yang kau punya.
Hey, kau juga memintaku untuk memenuhi semua keharusan-keharusan itu, bukan?
Dan ketika rindu-rindu menggeliat, kau akan memecahkan selapis-lapis kaca pembatas yang memang telah ada antara kita. Setelah pertemuan kedua, setelah waktu merampasnya dan membiarkan kita terbakar keakuan diri.
Ah ya.. kadang aku lupa kita masih dibatasi kaca tebal yang semakin buram, apalagi setelah musim yang asing belakangan ini.
Mungkin kita tak pernah menjadi sepasang sepatu nyaman untuk langkah kaki-kaki kita. Atau mungkin kita hanya manekin penghias etalase, yang tak nyata, yang tak pernah hidup meski ada.
Lantas hari-hari kita tak pernah sama.
***
Doa-doa di bawah bantal
Letakkan hatimu di ambang waktu, seseorang sedang menunggu, perihal cinta dan anak-anak rindu. Sedikit terburu-buru, mengetuk-ngetuk pintu.
Debar dada serupa debur ombak yang menggila, menampar keakuan diri, menggapai-gapai arti. Angka-angka saling berbincang, tentang kita yang tak lagi sesederhana kemarin.
Sayang, bunuh segala ragu, hidupkan angan ingin, dan cairkan beku—darahku, dadaku, juga kepalaku.
Doa-doa terlipat, terselip, sedikit nanar. Sedang ingatan ini terlanjur malas-malasan untuk kembali.
***
Dialog dini hari
Sunyi mengekalkan diri, melengkapi gigil dini hari. Padamu yang jauh, segala masih tak terengkuh.
Ingatan menuju entah. Aku mengeja pelan jejak-jejak yang tertinggal. Genggaman erat itu apakah cinta, Tuan?
Kepala dan dada saling memaki. Mereka batu sekali. Yang satu mengaku benar, yang satu tak punya sabar. Oh sungguh kami butuh, Engkau!
***
Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.