x

Potret hujan malam hari

Iklan

Yudha Prasetya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Desember 2022

Minggu, 25 Desember 2022 08:27 WIB

Hujan di Hari Misa

Wanita itu kembali lagi pada kota yang muram, yang mengendap dalam kenangannya saat tujuh belas tahun silam. Kota yang memiliki cerita kelam, kota dengan rahasia yang tenggelam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wanita itu kembali lagi pada kota yang muram, yang mengendap dalam kenangannya saat tujuh belas tahun silam. Kota yang memiliki cerita kelam, kota dengan rahasia yang tenggelam.

***

Di langit, awan mendung menyatu dengan gelapnya malam. Tak ada bulan dan bintang yang tampak. Jalanan tetap ramai diisi suara desing knalpot kendaaran bermotor. Lampu-lampu jalanan sudah mulai menyala berjajar. Pengamen menghibur orang-orang di lampu merah. Wajah lelah pengasong tertutupi semangat miliknya. Dan angin bertiup pelan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Stasiun kereta tengah sibuk di malam natal. Gerbong kereta yang mondar-mandir selalu terlihat sesak. Pengawas peron berjaga-jaga melindungi para penumpang yang tengah berdesakkan. Anak kecil yang bergandengan pada tangan ibunya melihat-lihat sekeliling stasiun. Matanya berakhir pada halte bus yang berdiri kokoh di luar stasiun. Ia melihatnya, wanita dengan dress merah merekah yang melilit tubuhnya yang tengah duduk pada bangku halte menunggu kedatangan bus. Wajah wanita itu menghadap pada stasiun di mana anak kecil itu terdiam. Tapi matanya tak memandang ke sana, melainkan jauh tenggelam pada pikirannya yang keruh.

Wanita itu, yang akan pergi menuju gereja untuk misa, melintasi ruang dan waktu di dalam pikirannya. Ia terbang jauh menuju tujuh belas tahun yang lalu. Ketika ia masih belia, masih gadis tanpa dosa, dikelilingi ayah ibunya beserta kakak perempuannya. Ia tertawa di satu ruangan luas dalam rumahnya pada malam yang sama seperti saat ia duduk di halte bus. Mereka menikmati hidangan yang tersedia di atas meja besar. Gadis kecil itu lahap memakan potongan ayam. Sedangkan kakaknya asik mengunyah steak yang ia potong kecil-kecil. Ayahnya masih terus berkelakar dan membuat ibunya terus tertawa. Mereka bercerita layaknya keluarga harmonis pada umumnya. Dan satu jam kemudian mereka berangkat untuk misa.

Kesadaran wanita itu kembali pada halte yang mulai terkena cipratan air. Hujan mulai turun tanpa permisi. Orang-orang di jalanan mulai berhamburan menghindari hujan. Ada yang melipir ke minimarket, ada yang terus menerabas hujan, dan ada juga yang bergabung dengan wanita itu di bawah naungan halte bus. Hujan terus jatuh. Genangannya mengalir menuju selokan di belakang halte dan terus berjalan hingga ia temukan hilir yang baik untuk  mengendap. Mata wanita itu mengedip dengan perlahan. Ia sudah menyiapkan payung kalau tiba-tiba ia membutuhkannya. Tapi payung itu masih ia sekap di dalam tas mahal yang masih ia pangku di kedua pahanya. Matanya melirik pada langit yang menjatuhkan hujan.

Hujan di saat misa. Aku akan anggap ini adalah keberuntungan dan juga berkah meskipun mungkin saja ini adalah air mata Tuhan, batinnya.

Ia percaya Tuhan. Ia percaya takdir. Ia percaya pada apa pun yang dianggapnya tidak ada. Semua berawal dari kepercayaan, ucapnya pada satu hari. Meski begitu, ia pernah tak percaya Tuhan apalagi takdir. Ia pernah membencinya sampai mengutuknya. Di kota yang dia anggap muram ini.

***

Ketika gadis kecil dan keluarganya menuju gereja dengan mobil pribadi, ayahnya memberi nasihat bijak kepada dua anaknya di sela-sela obrolan mereka. Janganlah kalian berbuat jahat ketika hidup. Hiduplah dengan apa yang kalian genggam, bukan dengan apa yang kalian harapkan. Kalimat itu menginspirasi dirinya. Wanita kecil itu akan selalu mengingatnya pada malam misa di mana mereka bergegas dengan perlahan menelusuri jalanan yang dikawal cahaya-cahaya lampu kota yang agak redup bersamaan dengan beberapa spanduk tokoh politik di selasar trotoar. Mereka menuju ke sana, katedral.

Katedral itu adalah katedral yang sama yang akan ia kunjungi malam ini. Di sana ia akan berdoa bagi dirinya dan juga keluarganya. Setelah menunggu sekitar 15 menit, bus datang menjemput wanita itu. Langkahnya hati-hati ketika melewati pintu bus. Bus itu pun melaju meninggalkan halte. Mata wanita itu melirik ke luar jendela pada kursi yang terletak di samping kiri bus. Matanya menatap hujan yang terus-menerus jatuh. Ia berpikir tak akan pernah mau menjadi hujan, terjatuh dan kembali lagi ke langit hanya untuk terjatuh lagi. Biarlah satu luka ini saja yang membekas.

***

Tangan mungil gadis kecil itu membuka pintu mobil mewah milik ayahnya dan langsung turun sambil berpegangan pada tangan ibunya. Baru pertama kali ia bertandang ke Katedral. Kakaknya menghampiri dan ikut juga menggandeng tangan adiknya yang masih kecil itu. Ayahnya pergi mencari tempat untuk memarkirkan mobil BMW hitam yang setiap minggu ia cuci. Hiasan-hiasan terpampang di luar gereja. Wanita kecil itu terkesima pada apa yang ia lihat pertama kali. Dan ketika langkah pertamanya melewati pintu Katedral, ia melihat jelas  ada patung Tuhan Yesus di depan sana. Tak luput juga patung Bunda Maria yang diukir oleh seniman dari Bali yang terpampang kokoh di atas altar. Ia duduk bersama ibu dan kakaknya menunggu ayahnya menyusul. Senyum milik gadis itu melebar.

***

Di halte seberang gereja, wanita itu turun dari bus. Ia harus membalikkan badan untuk melihat Katedral itu. Ini adalah kunjungannya yang kedua kali. Wanita itu selalu berada di luar kota. Tumbuh besar sedari kecil di luar kota bersama om dan tantenya. Tapi kini ia kembali ke kota tempat di mana dia lahir dan berkunjung lagi ke Katedral yang hidup dalam kenangannya. Ia sampai di halte seberang Katedral bersamaan dengan selesainya hujan. Gerimis kecil yang mewarnai dinginnya malam. Orang-orang masih tak banyak yang berlalu-lalang. Beberapa melangkah menuju Katedral itu. Beberapa lainnya menuju taman kota yang berada tak jauh dari Katedral. Lampu kota yang berjajar tak kalah terang dengan lampu kota di tempat ia menaiki bus. Gelapnya tak sepekat pada apa yang ia simpan dalam kenangannya.

Ia masuk ke dalam Katedral dengan langkah yang sangat perlahan. Ia berhenti di depan pintu dan menatap sekitar. Hiasannya masih indah sama seperti dulu ketika pertama kali ia ke sini. Senyumnya yang dulu hilang kini kembali di wajahnya.

Letak patung yang ia lihat dulu juga masih sama. Bangku-bangku yang berbanjar ditata rapi sama seperti terakhir ia berkunjung. Ia duduk lagi di tempat terakhir kali ia bertandang ke Katedral ini. Wajahnya sangat tenang dan matanya mulai terpejam. Ia melantunkan doa-doa untuk keluarganya dan juga dirinya. Misa belum dimulai dan ia kembali pada tujuh belas tahun yang lalu. Pada saat ia mulai meragukan Tuhan.

***

Ayahnya datang berlarian tunggang-langgang dari pintu depan. Wajahnya tampak ketakutan dan sangat cemas. Ia mencari keluarganya. Dan gadis kecil itu memanggil ayahnya. Sang ayah mencoba menarik keluar semua keluarganya. Orang-orang dalam gereja juga mulai panik. Ada api yang terbang memecah jendela. Api itu menjalar ke kursi-kursi yang dijajarkan. Tak hanya api, bebatuan dan barang-barang berat lainnya ikut menerjang ke dalam Katedral. Orang-orang yang melemparkan ialah orang-orang dengan gamis dan peci di kepalanya. Gadis kecil itu mendengar riuh suasana di luar. Sangat jelas di telinganya. Orang-orang di dalam Katedral berusaha kabur. Lari dari kepungan api yang dengan sangat cepat sudah mengurung mereka. Si ayah melempar wanita kecil itu keluar pada kesempatan yang ada dan beruntung gadis kecil itu ditolong oleh orang-orang yang sudah berhasil selamat. Katedral itu pun runtuh menimpa orang-orang yang masih ada di dalamnya, tak terkecuali keluarga gadis kecil itu. Ia menangis. Bahkan berteriak hingga pingsan.

***

Wanita itu tahu semua akar masalah itu berawal ketika Idul Fitri. Saat itu ada beberapa orang yang mengganggu ibadah agama lain karena diperintahkan dari orang yang katanya tak dikenal. Akibatnya, selama setahun lebih perselisihan agama ini berlangsung dan menyebabkan intoleran dalam beragama di kota yang pernah ia cintai ini. Banyak kejadian telah terjadi, tapi kejadian pembakaran Katedral adalah kasus terbesar yang dialami. Setelah kejadian Katedral itu, semua diselidiki. Orang-orang yang mengganggu saat Idul Fitri adalah preman-preman yang dibayar, orang-orang yang melayangkan api dan bebatuan pada katedral juga orang yang sama, tapi orang yang tak dikenal itu tak pernah ditemukan. Pun dengan segala ceramah perihal kebebasan. Lenyap. Ia tahu keluarganya hanya korban dari keegoisan manusia. Ia juga belajar bahwa Tuhan tak mungkin sejahat itu.

Wanita itu masih terduduk di atas bangku Katedral dan terus berdoa untuk dirinya dan juga untuk keluarganya. Katedral ini adalah Katedral yang telah dibangun kembali oleh uang amal yang terkumpul dari kedua agama itu. Mereka berkembang, mereka menjadi dewasa. Gerimis sepenuhnya telah berhenti. Orang-orang kembali memenuhi jalanan tanpa payung di atas kepalanya. Tapi mereka tak pernah tahu gerimis di hari misa itu telah beralih menuju kelopak mata Misa yang terpejam.

Ikuti tulisan menarik Yudha Prasetya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB