x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Rabu, 28 Desember 2022 12:06 WIB

Percakapan Imajiner (22)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seminyak, suatu senja.

 

Riak ombak menyisir pasir, membaca takdir dan mencari kesedihan yang bersembunyi dari air mata. Semburat jingga membuat terang tenggelam, pelan-pelan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepi yang kubawa membentur kenangan. Semakin keras, aku kesakitan. Karang-karang diam. Camar-camar ingin lekas pulang. Dari musim yang jauh kepergian membuka pintu yang lain.

Kusayat senja. Kukaramkan kata. Reranting patah. Dedaunan dipungut angin. Dan kau sembunyikan sepasang lengan entah di tubuh siapa lagi. Menyelipkan cinta di ujung ikal rambutnya. Sebuah pelukan, dan kau tenggelam. 

Jam enam di pergelangan tangan. Polselku bernyanyi, sebuah pesan, tak tahu dari siapa, aku tak peduli.

Aku hanya tak ingin kehilangan bayang-bayang rembulan, yang redupnya menawarkan wangi sajak-sajak cinta. Tetapi sekali lagi seseorang meninggalkan jejak sepanjang bibir pantai, diam-diam, dalam-dalam.

 

 

***

 

 

Kau laki-lakiku, aku patah hati

 

Perihal hidup yang berisi ketidakpastian, beberapa pertanyaan tak harus terjawab sekarang. Selayaknya puisi, beberapa merasa begitu paham, beberapa yang lain tidak mengerti. Pun kita, kau dan aku paham bahwa perasaan-perasaan ini juga tak pasti. Ada hati yang tak hanya ingin peduli tapi juga ingin tak melulu diberi janji. 

Suatu waktu ketidakpastian dan kepastian itu sama-sama akan mematahkan. Tak peduli seberapa hebat kita menjaganya. Patah sekali, dua kali atau mungkin berkali-kali. Dan sekarang aku sedang patah hati. Segala tentangmu.. surat-surat, buku-buku, bangku-bangku kayu, hujan, yang kemudian kusebut sebagai kenangan, menjadi sesuatu yang kubenci sekaligus kusuka. 

Sementara hati yang katanya sebagai semesta terluas dan terdalam bisa tiba-tiba menyempit selebar kotak korek api, tanpa pintu dan jendela, pengap. Sebab adamu penuh dalam ketiadaan. 

Sungguh aku patah hati. Patah yang kuciptakan sendiri. Sebab dengan ini aku menerima kepastian yang kutunggu tentangmu. Menyakitkan memang ketika aku harus lupa atau setidaknya menghalau bayanganmu yang seringnya datang tiba-tiba, padahal aku suka. 

Tahun ketiga, sebuah tiket pesawat tergeletak di atas meja sejak semalam. Tumpang tindih dengan tiket bioskop, kacamata dan selembar kertas berisi puisi setengah jadi, nanar di bawah redup lampu kamar.   

Kau, laki-lakiku, aku pergi. Mungkin tak kembali biar aku terbiasa menjadi sendiri. Kelak saat nama kita menjadi epitaf waktu, sekali lagi kita akan percaya, cinta adalah kekuatan atas apa-apa yang telah dilakukan.  

 

 

*** 

 

 

Maaf, tak ada apa-apa hari ini, apalagi puisi

 

Maaf, tak ada apa-apa hari ini, apalagi puisi. Aku sedang sibuk membuka bilah-bilah hatimu, menjelajahi wajahmu. 

Maaf, tak ada apa-apa hari ini, apalagi puisi. Aku sedang bertarung dengan rindu-rindu dengan pijakan waktu dan ruang-ruang yang penuh aroma tubuhmu. Dadaku berdesir, sayang. Jiwaku sedang bersaksi untuk segala indahmu. 

Lima menit berlalu, kuciumi bibir bayanganmu yang berdiri bertelanjang dada dan terbata-bata berkata, "Sayang, boleh kubunuh sepimu?" 

Maaf, sayang, tak ada apa-apa hari ini, apalagi puisi. Aku hanya sedang menikmati cinta yang biasa, tapi tak cukup kata-kata untuk mengungkapkannya.  

Pada petang yang terang dan jalanan yang sesak oleh kenang, aku mengaduh berkali-kali. Ah, sayang, kepadamu biarkan aku jatuh hati berkali-kali. 

 

 

*** 

  

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler