Percakapan Imajiner (23) - Fiksi - www.indonesiana.id
x

Pinterest

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Kamis, 29 Desember 2022 16:45 WIB

  • Fiksi
  • Topik Utama
  • Percakapan Imajiner (23)


    Dibaca : 913 kali

    Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

    Mereka (saling) menunggu

     

    Seorang laki-laki di depan pintu, mengetuk-ngetuk pelan, seperti ragu. Ia membawa setumpuk rindu di saku baju dan sekerat senja yang jingganya menyala hingga ke matanya. Ia terus mengetuk sambil mengutuk hujan yang tiba-tiba datang, deras sekali. 

    Seorang perempuan mengintip dari balik jendela yang tirainya terbuat dari sulaman rindu yang sebagian basah terkena air mata. 

    Kilat dan petir jatuh di halaman, terangnya menembus kepalanya yang gulita semenjak janji ingkar di lingkar ke lima. Ia kewalahan, detak jantungnya melompat-lompat tak beraturan. Kedua tangannya saling menggenggam, erat, lalu berdoa... hujan, janganlah cepat reda, jangan. Lalu hujan juga jatuh dari kelopak matanya, deras dan semakin deras. 

    Mereka (saling) menunggu. Menunggu sajak-sajak pulang kepada kata-kata yang tersesat di labirin luka. Pada malam kesekian kepingan bulan mengambang di kolam. Ikan-ikan diam, dedaunan diam, reranting berderak mencari apa-apa yang disisakan angin kepada ketiadaan.

     

     

    ***

     

     

    Aku dan kebodohan-kebodohanku yang (masih) baik-baik saja. 

     

    Erast, engkau serupa puisi yang pecah di lidah lalu tumpah menjadi apa-apa yang menyesatkan. 

    Dan bodohnya aku suka tesesat di dalammu yang sempat kupikir baik-baik saja, seperti perkenalan kita waktu itu. Entahlah, sepi yang kau genggam membuatku menemukan waktu. Hingga satu demi satu peristiwa bisa kurinci, sambil berharap ada seruang untuk kita menikmati rindu yang utuh meski luka-luka tak akan berhenti mengalirkan perihnya. 

    Ya aku tahu, Erast, tak ada yang abadi, tapi kupastkan perasaan-perasaan ini tak sia-sia. Kurasa kita sepakat, ketika cinta yang pernah kita tabur di ladang harap masing-masing kita hanya meninggalkan kosong di dada, kadang hanya perih tak terkira. Tetapi selayaknya kedatangan yang dirancang setelah sebuah kepergian ia akan selalu tumbuh dan hidup di mana pun, kapan pun. 

    Dan setelah sekian lama, aku masih tetap bodoh bertahan dengan perasaan-perasaan yang kadang membuatku terbang tinggi menembus batas langit yang entah lapis ke berapa. Sekaligus menjatuhkanku pada dasar jurang yang paling dalam. Aku benar-benar kesakitan. 

    Satu jam sebelum tulisan ini selesai, aku masih bodoh dan keras kepala menunggu kau datang. Kau tak pernah berjanji apa-apa. Jangankan berjanji datang, menyapa saja tidak. Ah Erast, khayalanku penuh tentangmu, menyesaki dadaku. 

    Tetapi, Erast, kau tak perlu melakukan apa-apa. Cukup nyalakan semestamu untuk segala yang lebih berarti. Kembangkan senyum di antara pucat kulitmu. Dan tetaplah berada di sana, di mana aku leluasa melihatmu seraya menerbangkan doa-doa terbaikku. 

     

     

    ***

     

     

    Senja terakhir 

     

    Selain sendu yang terlalu, kutemukan senja terakhir di matamu.⁣ 

    Sementara di buku-buku, kata-kata sibuk bercerita tentang pelukan perpisahan dan kenangan yang berkali-kali menyala lalu padam, lalu tangis pecah, sepi terbaca sudah. ⁣ 

    ⁣Pada senja kutitipkan segala dari deras rindu yang tak menentu muaranya.⁣ Dan seperti kemarin-kemarin, Desember kali ini masih sama, menjelma kabut bagai selimut atau bentang sayap malaikat maut.⁣  

     

     

    *** 

     

    Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.



    Suka dengan apa yang Anda baca?

    Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.


    Oleh: Frank Jiib

    1 hari lalu

    Untuk Adikku

    Dibaca : 91 kali









    Oleh: Frank Jiib

    5 hari lalu

    Aisyahra

    Dibaca : 241 kali






    Oleh: Frank Jiib

    5 hari lalu

    Aisyahra

    Dibaca : 241 kali