x

Traveling Backpacker

Iklan

trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2022

Minggu, 1 Januari 2023 19:21 WIB

Berwisata: dari Kebutuhan Bersenang-senang Menjadi Demi Eksis

Pada awalnya plesir (piknik) hanya bertujuan sekedar untuk bersenang-senang (basic need). Kemudian wisatawan menginginkan kualitas pelayanan yang baik. Lalu, di era digital ini orang pergi ke tempat wisata butuh aktivitas berfoto-foto untuk diunggah ke berbagai paltform media sosial sebagai bentuk aktualisasi diri agar tetap eksis, sekaligus narsis (self actualization).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di berbagai platform media sosial, setiap saat kita jumpai netizen yang mengupload foto-foto atau video sedang berada di obyek wisata tertentu, terutama di momen akhir pekan maupun akhir tahun seperti saat ini. Di dasboard, status, story, reel, bahkan live. Aktivitas berfoto-foto seakan telah menjadi suatu keharusan. Bahkan, terkadang menikmati keindahan dan nuansa di tempat  wisata tidaklah terlalu penting. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk berfoto ria. “yang penting bisa eksis sekaligus narsis, hehe…”, begitu kata mereka.

Dulu, pergi ke tempat wisata disebut plesir. Tapi istilah ini sekarang sudah jarang dipergunakan. Sekarang orang lebih suka menggunakan istilah piknik, travelling, atau jalan-jalan. Plesir sendiri berasal dari kosakata bahasa Inggris pleasure, yang berarti senang atau bersenang-senang. Harusnya dibaca “pliser”, namun di lidah orang Indonesia menjadi plesir.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Level Basic Need

Plesir pada awalnya bertujuan hanya untuk bersenang-senang. Setelah sekian waktu bekerja atau setelah setahun belajar di sekolah, maka diadakanlah plesir untuk menghilangkan kepenatan atau kejenuhan. Di tempat wisata, mereka menjalankan berbagai aktivitas yang menyenangkan. Seperti permainan, makan bersama, berpesta, menyanyi, berolahraga, dll untuk memperoleh kesenangan semata. Bolehlah era ini saya sebut sebagai pleasure-based tourism.

Pleasure based tourism sekedar memenuhi Basic Need dalam Teori Maslow (1943). Yang penting bisa kumpul, bersenang-senang, dan murah meriah. 

 

Level Self Esteem

Kemudian, datanglah era di mana orang mulai membutuhkan kualitas pelayanan yang lebih baik di tempat wisata. Mereka membutuhkan penginapan, makan enak di restoran, pemandu wisata, serta berbagai fasilitas dan layanan yang membuat mereka merasa puas dan nyaman. Oleh karena itu, menyediakan “kenikmatan” kepada para wisatawan dianggap suatu hal yang sangat penting. Maka muncullah hotel maupun restoran standar internasional. Dari mulai menu, cara penyajian, penyaji, maupun nuansanya dibuat ala Barat.  

Karena mengedepankan kualitas pelayanan, era ini dapat disebut sebagai service-based tourism.

 

Level Self Actualization

Akhirnya datanglah era disrupsi, di mana dunia pariwisata harus mampu beradaptasi dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Tempat wisata dituntut untuk menyediakan fasilitas dan layanan yang berhubungan dengan dunia digital, seperti free-WiFi, spot foto selfi, atau mendesain tempat wisatanya yang Instagrammable. Para pengunjung butuh aktualisasi diri untuk tetap bisa eksis.

Selain itu, di era disrupsi, para wisatawan tak harus menginap di hotel atau menyewa pemandu wisata. Mereka justeru lebih tertarik untuk menginap di homestay atau di rumah penduduk yang menyewakan kamar kosongnya. Mereka bisa mengobrol santai dengan pemilik rumah, disuguhi makanan-minuman lokal khas daerah tersebut, bahkan si pemilik rumah bisa menjadi guide dadakan. Para turis ini memilih untuk dilayani ala lokal. Mereka ingin belajar banyak tentang daerah yang dikunjunginya. Belajar tentang budaya, bahasa, mata pencaharian, dan tempat-tempat yang belum ada di daerah asal mereka.

Kelompok wisatawan jenis ini menganggap bahwa pengalaman lebih penting daripada yang lainnya. Mereka berwisata untuk mencari kebahagiaan, pengayaan diri, dan pengetahuan baru. Mereka mendapatkan nuansa lokal, kearifan lokal, dan nilai-nilai kelokalan lainnya. Buat apa mereka datang dari ratusan bahkan ribuan kilometer jauhnya jika justeru dilayani ala mereka.

Inilah era yang disebut sebagai knowledge-based tourisme. Bahwa berwisata tidak hanya bertujuan untuk bersenang-senang, mencari kepuasan, namun sekaligus sebagai sarana untuk belajar, memperoleh pengetahun baru, dan mendapatkan pengalaman.

 

*****

Dulu, kalau pingin berwisata, saya harus pergi paling dekat ke kota Solo (sekitar 25 km). kini, seiring dengan tingginya permintaan akan kebutuhan aktualisasi diri, di sekitar desa saya bermunculan tempat wisata bak cendawan di musim hujan. Mulai dari kolam renang, umbul pemandian, danau, agrowisata, desa wisata, taman bunga, edupark, taman bermain, mini-zoogarden, wisata sungai, wisata pegunungan, wisata pemancingan, tubing, dan masih banyak lagi.

Kalau dulu piknik paling cepat setahun sekali, kini bisa dilakukan setiap akhir pekan. Untuk bisa plesir, tidak perlu menjadi kaya terlebih dahulu atau punya banyak uang. Berwisata bisa dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun. Dunia pariwisata kini semakin banyak pilihannya, semakin mudah, dan tentu semakin murah.

 

Referensi:

Henky Hermantoro, THINK - Tourism Without the Box, Aditri Publishing, Depok, 2018;

Rhenald Kasali, Disruption, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2017.

 

Ikuti tulisan menarik trimanto ngaderi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler