Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.

Tiga Pelajaran yang Perlu Kamu Pahami

Minggu, 1 Januari 2023 19:42 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tiga Pelajaran yang Perlu Kamu Pahami dalam menentukan pasangan calon mempelai memiliki kriteria khusus. Ada tentang bibit, bebet, dan bobot. Ada pula perlunya niat. Tak kalah penting adalah bagaimana selanjutnya mendidik anak-anak.

Bergaul dengan para pakar, aku mengistilahkannya demikian, sangat penting buat bujang tua sepertiku. Maka, aku menemui Pak Par pria santun yang memegang adat dalam ragam peristiwa.

Aku bertandang ke Bang Adi, marbot musola dekat rumah. Ia dengan keikhlasannya memastikan musola selalu bersih, melantunkan azan, iqomah,  hingga menggelar dan menggulung karpet para jamaah jelang dan usai solat.

Aku berguru pula ke Pak Dadang yang  mewejangiku tentang kiat mendidik anak. Ketiga anak lelakinya sukses. Sukses buat ukuranku ya sekolah tinggi: sarjana, sudah bekerja, dan sayang sama orang tua. 

 

Pelajaran 1

Kriteria dalam mencari jodoh, kata Pak Par sebaiknya berpedoman pada tiga hal: bibit, bebet, dan bobot.

“Bibit itu maksudnya latar belakang calon bojomu.  Siapa trahnya, garis keturunan dan berasal dari keluarga yang kepiye,“ ujar Pak Par saat sore aku bertandang ke rumahnya.

“Sementara bebet dapat dimaknai sebagai latar belakang seseorang dari segi kematangan dan kemapanan tingkat ekonomi calon pasangan dan juga keluarganya. Sedangkan bobot dapat difalsafahi sebagai kualitas diri dari calon pasangan yang dapat diimplikasikan dari  segi kepribadian, pendidikan, maupun pencapaian dari calon pasangan kita.

 

Piye, Mas? Sudah punya calon yang memenuhi kriteria itu?”

“Belum, Pak” tanggapku singkat.

“Nunggu apalagi sih Mas? Jangan sampai kiamat kamu ndak nikmati yang Gusti Allah limpahkan buat kita.

Aku cuma tersenyum.

 

Sambil meminum teh, ia bangkit memindahkan sangkar burung perkututnya. Pak Par kembali berceloteh.

 

“Dalam agama juga kan begitu. Perempuan itu dinikahi karena empat hal. Hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Rebut dan pilihlah perempuan yang beragama. Jika tidak, kedua tanganmu akan lengket ke tanah.”

Aku mengangguk.

 

Pelajaran 2

“Apa pun, yang menjadi tindakan hendaknya dimulai dengan niat” begitu kata Bang Adi, usai berbenah saat solat duhur dan ngobrol denganku di teras musola Al Ikhlas.

“Kalau niat tapi yang diminta tak kunjung tiba, kenapa ya Mas?” tanyaku.

“Sabar. Allah akan kasih pada saat yang tepat dan pasti tidak akan pernah salah dalam mengabulkan doa-doa hamba-Nya.”

“Saya merasa niat sudah kuat. Bahkan ngebet pengin kawin, Bang!”

“Nikah, maksudmu?”

“Eh, iya nikah.”

“Di masyarakat kita, kedua istilah itu kan beda. Makanya, saya pastikan mana yang kamu mau. Nikah atau kawin?”

“Iya, Bang!”

 

Pelajaran 3

“Assalamualaikum,  Pak. Sehat Pak?”

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuuh. Eh, kamu. Ayo sini … sini. Kemana aja kamu nggak pernah main?” ajak Pak Dadang sambil mengajakku ke terasnya yang asri.

“Biasa, Pak.”

“Biasanya bujangan kan beda sama yang bukan bujangan. Makanya, buruan nikah!”

“Iya, Pak.”

“Bagaimana kabar anak-anak Pak?”

“Kabar mereka baik.”

“Alhamdulillah. Saya kesini sebenarnya untung-untungan ni Pak, karena tahu biasanya Bapak sedang di luar kota.”

“Betul. Betul itu! Kamu tahulah. Anak-anakku kan paham,  kalau orang tuanya  udah dipecat dari negara. Hahaha … Maksudnya, karena usianya sudah kadaluarsa dan dianggap tidak produktif lagi ya kami dipensiunkan. Begitu maksudnya.”

“Ah, Pak Dadang paling bisa.”

“Jadi, kalau akhir pekan begini, ketiga anakku saling berebut. Si sulung maunya, aku dan ibunya anak-anak berlibur di vilanya. Si tengah, selalu ajak dengan agenda keliling pulau Jawa. Nah si bungsu, ambisinya setelah kami dihajikan, selalu ajak wisata ke luar negeri.”

“Bahagianya Pak Dadang. Saya selalu iri sama anak-anak Bapak. Pasti cara mendidik Pak Dadang yang hebat.”

“Ah kamu bisa aja. Ibunya anak-anak yang hebat, pastinya. Oya, kapan ngundang Bapak nih?”

Aku tersipu. Pak Dadang menangkap perasaanku.

“Anak-anak bisa sesukses itu ya Pak. Bagaimana cara Pak Dadang mendidik mereka?”

“Makanya, kamu nikah dulu baru aku ajari sampai rinci.”

Lagi-lagi aku tersipu. Wajahku serasa memerah, jika kau melihatnya.

“Tapi boleh kan Pak, minta kiatnya?”

“Boleh, boleh. Gratis malah.”

Dengan Panjang lebar, Pak Dadang memaparkan sejumlah kiat saat mendidik ketiga anaknya. Berikut kiat Pak Dadang.

 

Pertama, kasih dasar agama.  Dengan basis agama, insya Allah anak-anak akan memahami bagaimana menyelami hidup dan kehidupan.

Kedua, merdekakan anak-anak dalam hal bersikap dan bertindak terutama dalam berkomunikasi saat di rumah. Ketiga, kasih kebebasan dalam memilih minat dan bakat yang anak-anak yakini bahwa itu memang pilihannya.

 

Anak yang pertama yang menyukai bidang teknologi informasi, ya Pak Dadang persilakan. Sebagai orang tua ia bahkan sering membuka celah untuk berdiskusi dengan si sulung.

 

Anak yang kedua menyukai dunia seni rupa. Ya, monggo! Walau Pak Dadang sempat berharap, anak keduanya yang lebih taktis bakal menggantikan Bapaknya di sebuah kantor kementrian.

 

Anak yang ketiga, malah suka urusi wisata. Dulu ia ambil kuliah jurusan manajemen wisata. Nah, usai lulus bersama istrinya, mereka buka biro perjalanan ke seluruh dunia. 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua