x

Ilustrasi remaja galau. Pxhere.com

Iklan

Aslan Rakhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Senin, 2 Januari 2023 09:39 WIB

Layang-layang

Delika, remaja yang membenci kehidupan miskin dan kumuh bersama ibunya yang selalu menangis diam-diam atas semua hinaan yang mereka terima. Tiba-tiba harus kehilangan sang ibu yang bahkan ia sendiri tak bisa melihat jenazahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Prang!

Pecahan piring hadiah deterjen itu berhamburan di dapur, memenuhi hampir seluruh lantai yang terlihat menjijikkan. Penuh dengan gombal kotor dan berbau amoniak. Gadis berparas indah itu menatap jijik wanita bertubuh gempal di hadapannya. Nafasnya memburu, dalam kepalanya ingin sekali ia melempar piring yang berderai itu pada wanita yang harus ia panggil Ibu.

Kenapa ia harus dilahirkan dari wanita yang begitu menjijikkan? Bertubuh tambun, kotor dan miskin? Kadang dalam  hati ia bertanya, apakah benar wanita itu adalah ibunya? Perbedaan mereka begitu jauh, dia gadis yang terkenal dengan kecantikan yang paripurna. Bahkan tanpa makeup sedikitpun, ia sudah bisa menaklukkan beberapa pria sekaligus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wanita itu hanya terisak ketika ia melewatinya, Delika membiarkannya memunguti pecahan-pecahan yang bertaburan. Entah ia terluka secara fisik, atau hanya terluka secara batin. Yang pasti, rintihan lemahnya mencapai telinga Delika. Gadis itu melirik dari pembatas dapur dengan ruang utama mereka yang kecil dan kumuh.

Setiap kali selalu begitu, perempuan itu selalu hanya menangis dan menangis. Apa dia tidak bisa menegakkan tubuh tambunnya itu di hadapan semua orang? Bahkan ketika saudara-saudaranya menghina karena kekurangannya, karena tubuh besarnya, ia tetap hanya tersenyum dan kemudian menangis diam-diam. Sungguh  menyebalkan.

Lalu ia akan berkata, ‘sabarlah, Nak,’ ketika Delika meminta sesuatu yang bahkan hanya sebuah benda kecil yang harganya tak seberapa. Selalu sabar, sabar dan sabar. Apa dia pikir, gadis seperti Delika harus selalu bersabar ketika teman-temannya bisa dengan mudah pergi kemanapun. Mendapatkan apapun yang mereka mau.

Delika harus menahan hinaan setiap kali ia harus kembali ke sekolah. Saat teman-temannya diantar oleh orang tua mereka, Delika harus merendahkan diri meminta bantuan saudaranya. Kadang harus menerima tatapan mengerikan mereka yang merasa tidak dihargai atau muak karena harus selalu direpotkan. Keadaan ini sangat memuakkan bagi Delika, membuat mood remajanya selalu bergolak.

Delika pernah menerikkan kebodohan ibunya. Perempuan bertubuh tambun itu hanya menghela nafas ketika Delika mengatakan bahwa tubuhnya yang menjijikkan itulah yang membuat ia ditinggalkan suaminya. Ayah Delika. Bahwa ketidakmampuan dia membuat pria itu bahagialah yang membuat hidup Delika seperti di Neraka Jahannam. Tapi, semua kata-kata kejam itu tak pernah membuat wanita itu menyerah. Ia hanya akan tersenyum sedih, lalu diam-diam mengisak di kamar mandi.

Delika muak!

Seminggu setelah kejadian piring terbang Delika, ibunya pergi. Seperti yang selalu terjadi di akhir tahun, pekerjaan akan membuatnya terbang ke kota lain untuk uang yang menurut Delika tidak seberapa. Dia akan sendirian di rumah kumuh mereka. Rumah mungil yang selalu memberi kehangatan pada Delika, sekalipun tak pernah menenangkannya.

Hari ke lima, tetapi Ibu tidak kunjung pulang. Dia sudah berjanji untuk kembali di hari kelima, tetapi hingga menjelang tengah malam tidak ada kabar. Ponselnya bahkan tak bisa dihubungi. Delika mulai gelisah, berkali-kali mencoba melakukan panggilan, mengirim pesan dan bahkan mulai bertanya pada orang-orang yang mengenal ibunya. Apakah mereka tahu kenapa ia belum kembali.

Pagi yang gelisah, Delika terpaksa bangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Sejumlah pertanyaan mengapa ibunya belum kembali, apa yang terjadi dan dimana dia sekarang, memenuhi kepalanya hingga ia tertidur menjelang dinihari. Gadis itu membuka pintu dengan wajah menahan kantuk. Seorang pria dengan jas rapi berdiri di hadapannya, dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

“Delika?”

Delika tidak mengenalnya dan ia selalu diingatkan Ibu untuk tidak membiarkan orang yang tidak ia kenal masuk ke rumah kecil mereka. Apalagi seorang pria.

“Tidak apa-apa, kita bicara di luar saja,” ujar pria itu, menunjuk kursi di teras yang sudah lima hari tidak tersentuh sapu. Delika yang bahkan belum mencuci muka mengikuti duduk di kursi rapuh itu. Perlahan dan bingung.

Sejenak kemudian keempat saudara ibunya datang, duduk bersama mereka di teras kumuh Delika. Tidak biasanya mereka datang bersamaan. Delika semakin gelisah, apa yang terjadi? Kenapa mereka datang bersamaan disaat ibunya tidak ada.

“Delika, saya Zahran, pengacara ibumu.”

Pria itu membuka pertemuan kecil itu dengan kalimat yang mengejutkan semua orang. Pengacara? Bagaimana bisa seorang perempuan seperti Zaidah, yang seumur hidupnya bergumul dengan penderitaan dan kemelaratan memiliki seorang pengacara? Kebohongan apa yang sedang disodorkan pria ini pada Delika?

“Kamu mungkin tidak akan percaya dengan ini, tetapi ibumu telah meninggalkan ini.”

Delika menatap map berwarna abu-abu itu, tak berniat sedikitpun untuk menyentuhnya. “Dimana Ibu?”

Pertanyaan itu tercetus dari bibir Delika. Ia harus tahu keberadaan ibunya, sebelum orang-orang ini menyatakan tujuan mereka datang bersamaan. Pria yang mengaku sebagai pengacara itu menatap Delika, terlihat sangat prihatin.

“Ibumu meninggal dalam kecelakaan kemarin sore,” kata-kata itu dicetuskan tanpa perasaan oleh salah satu kakak ibunya.

Hati Delika mencelos mendengar kalimat tidak masuk akal itu. Kenapa mereka tidak memberitahunya dan dimana ibunya sekarang? Setidaknya, dimana jenazahnya?

“Kalian pikir aku akan percaya?” kalimat kekanakan itu meluncur dari bibir Delika yang bergetar, kecewa, terluka dan marah.

“Kau pikir penting bagi kami untuk bercanda tentang hal yang sesulit ini?” kakak tertua ibunya menatap Delika, itu bukan rasa prihatin, kasihan atau kasih sayang. Itu kemarahan.

Delika balas menatapnya. “Lalu dimana Ibu sekarang?”

“Laut menelannya. Ombak besar membuat kapal yang membawanya tenggelam. Tidak satupun yang bisa diselamatkan.”

“Aku ingin melihatnya…,” Delika mulai terisak.

“Tenggelamkan saja dirimu kalau ingin bertemu dia!”

Pengacara itu berdiri, melotot pada saudara yang baru saja mengeluarkan kata-kata kejam itu. “Kalian adalah keluarganya yang tersisa. Bagaimana mungkin bisa mengeluarkan kata-kata sekejam itu pada seorang gadis remaja yang bahkan belum bisa menerima takdirnya?”

Hening, teras itu seketika menjadi sesepi kuburan. Suara angin yang berhembus perlahan membuat Delika merasa sedang diiris-iris perlahan di seluruh permukaan kulitnya. Ibunya yang selalu menangis diam-diam itu, bagaimana bisa ia meninggalkan Delika sendirian? Apa yang bisa dilakukan gadis sepertinya untuk bertahan dalam kesendirian?

Mereka semua pergi, meninggalkan map abu-abu itu di tangan gemetar Delika. “Itu adalah seluruh aset ibumu, yang sengaja ia simpan agar bisa kau miliki jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Dia sengaja tidak memberitahumu tentang semua harta ini, karena ia ingin kau memahami sulitnya hidup, kerasnya kenyataan. Agar kamu mengerti bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa sesuai dengan keinginanmu, Delika.”

Kata-kata itu mengiang di telinga Delika sekarang. Saat ia sendirian berdiri di teras yang penuh dengan angin dingin. Delika memilih pergi, meninggalkan rumah kumuh yang selalu memberinya rasa hangat dan kasih sayang yang tak terbatas. Kemana gadis remaja seperti ia bisa pergi? Harusnya ia berlindung dalam kasih sayang keluarganya yang tersisa. Tetapi Delika tidak bisa.

Ibunya meninggalkan sepucuk surat yang membuat hati Delika penuh luka sekarang. Surat yang membuat seluruh keluarga mereka murka. Bahwa ia menginginkan Delika mewarisi sejumlah aset dalam jumlah besar. Jumlah yang membuat mata semua orang akan bersinar dan berhasrat menguasainya.

Apa artinya harta yang begitu besar, jika Delika kehilangan perlindungan? Kehilangan bujukan setiap kali ia murka karena perlakuan buruk orang-orang di sekitar mereka? Apa artinya rumah besar yang menunggu Delika sekarang jika ia harus sendirian di sana?

“Kenapa Ibu membuatnya begitu sulit? Tidak bisakah kita bersama disini?”

Delika menatap rumah besar itu dengan hati sesunyi kegelapan malam. Seorang wanita paruh baya menghampirinya dan membawa ia masuk. Menuntunnya ke sebuah kamar yang membuat air mata Delika mengalir begitu saja. Kamar ini persis seperti yang ia impikan selama ini, detail terkecilnya pun sama persis dengan yang pernah ia teriakkan pada ibunya.

“Ibumu mendesainnya sendiri. Dia tidak membiarkan kami membantunya bahkan untuk menempatkan sebuah benda kecil pun disini,” ujar wanita separuh baya itu. “Dia adalah arsitek, tetapi terpaksa menyembunyikan diri karena orang-orang yang membenci ayahmu masih terus mencari kalian. Dia harus membawamu ke tempat selama ini kalian tinggal demi keselamatanmu, Delika.”

“Mereka berhasil menemukan ayahmu. Sekalipun untuk itu, ibumu harus kehilangan hidupnya. Tetapi sekarang, mereka tidak akan menganggumu lagi. Karena itulah, Tuan Zahran berani membawamu ke rumah ini. Rumah yang disiapkan ibumu sepanjang hidupnya.”

Delika tergugu, kasih sayang Ibu jauh melebihi besarnya rumah ini. Tetapi, Delika terlambat menyadarinya. Sebuah buku tebal yang diberikan Tuan Zahran, catatan ibunya semasa hidup. Semua rasa sakit, semua kemarahan semua lukanya, tertuang di buku itu.

Sebuah layang-layang melintas di atas kepala Delika yang berdiri di balkon. Layang-layang besar berwarna gelap seperti hati Delika saat ini. Remaja itu menatap layang-layang yang meliuk-liuk dalam pelukan angin, merasa dirinya sama persis seperti benda tipis itu.

Sendirian, menatap ke dalam kekosongan. Masa depan Delika di mata semua orang mungkin akan terlihat cerah, karena ia menggenggam aset yang teramat besar. Bahkan jika ia hanya berfoya-foya sepanjang hidupnya, warisan yang ditinggalkan ibunya tidak akan habis. Tetapi, bagi Delika, masa depan itu hanya kekosongan.

Ia seperti layang-layang yang sendirian dalam tiupan angin. Bertahan pada seutas tali yang bisa putus kapan saja dan ia akan berakhir dimana saja tanpa ia bisa memilih.

Sembawa, 01 Januari 2022

Ikuti tulisan menarik Aslan Rakhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler