x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Selasa, 3 Januari 2023 05:55 WIB

Percakapan Imajiner (26)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di hari itu 

 

Pada akhirnya ada saat di mana kehilangan menjelma hidangan hangat di atas meja. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di hari itu tak ada derit pintu dan ucapan, "Dien, aku pulang!" Barangkali tempatmu kembali hanyalah keakuanmu sendiri. 

Di hari itu tak ada sarapan, hanya setengah cangkir kopi sisa malam yang nyeri. Barangkali keahlianmu memang seperti ini, menyajikan hangat pagi dengan sebuah pergi. 

Di hari itu tak kutemukan apa-apa selain ingatan yang pecah di sana sini. Barangkali cinta itu tak benar-benar ada, serupa dongeng kanak-kanak menuju lelapnya. 

Di hari itu hanya ada nyeri, aku benci. Seharusnya tak perlu ada rindu-rindu yang terlalu, jika pada akhirnya kita tak satu tuju.

 

 

***

 

 

Posesif 

 

Katamu teori tulisanku merumitkanmu. Penjelasan sederhana saja tetap tak bisa kau terima. Entah kau sedang berpura-pura tidak mengerti atau kau memang hanya ingin paham apa yang ingin kau pahami, kebenaran mutlak milikmu. 

Tapi kau salah, sayang, ada hal yang sebenarnya jauh lebih rumit dari teori tulisanku, pikiranmu. Pikiranmu serupa labirin yang kau bangun sendiri dengan banyak ruang, jendela dan pintu, yang sesungguhnya tak mengarah kemana-mana. Semua jalan kembali ke ruang sempit tempat egomu tinggal, tempat ribuan urat-urat amarahmu meledak kapan saja kau mau. 

Pikiranmu mungkin sama rumitnya dengan pikiran Einstein. Bedanya Einstein berhasil membuka mata tentang apa-apa yang memang seharusnya manusia ketahui, sedangkan kau hanya mematahkan hati. Pikiranmu penuh kemelut, kusut. Dan percayalah, mengurainya akan jauh lebih lama dari usia dunia jika kau tak segera menghentikannya. 

Malam ini kita bertemu lagi, berharap ada yang baik-baik di akhir obrolan kita. Jika tidak, mungkin ini yang terakhir kali. Kuseduh tiga cangkir kopi luwak kesukaanmu, tanpa gula. Satu untukmu, satu untukku dan satu lagi untuk keras kepalamu. Nikmati saja pahitnya, yang tak lebih pahit dari seduhan cerita yang kau suguhkan. Selebihnya kita akan membuat kesepakatan, meredakan keakuan atau melepaskan pelukan. Sebab aku kelelahan. 

 

 

***

 

 

Perasaan kita mungkin sama, yang berbeda adalah pikiran-pikiran kita 

 

Perasaan kita mungkin sama, yang berbeda adalah pikiran-pikiran kita. Aku pikir menikmati rekah langit pagi pukul enam menyenangkan. Kamu pikir meringkuk hingga mentari mulai terik lebih mengasyikan. 

Aku rasa mengumpulkan semangat yang sempat tercecer semalam lalu menyimpannya di saku baju itu bisa menjadi bekal saat kita menjaring hari. Tetapi katamu, "Tak perlu buru-buru, waktu akan selalu menunggu. Ngopi-ngopilah dulu, aku bersiap siang nanti." 

Aku menyisihkan rindu di antara tumpukan kesibukan, kamu bilang, "Kamu terlalu kekanak-kanakan." Sayang, kita tak sama seperti yang selalu kamu katakan. Aku bukan kamu dan kamu bukan aku yang harus selalu sama serupa sepasang kembar. Kita berbeda, jangan paksakan. Semua tak semudah yang kau pikirkan. 

Perasaan kita mungkin sama, yang berbeda adalah pikiran-pikiran kita. Jadi biarkan aku pergi, aku membawa impianku, kamu dengan keakuanmu. Kelak pada suatu pagi dengan pikiran-pikiran dan kota yang berbeda, doa kita sama, untuk bahagia.

 

 

***

 

 

Menunggu 

 

Suatu waktu aku bertemu dengannya di sebuah pesta sepi di tepi pantai. Kemeja hitam yang digulung sebatas lengan memperlihatkan kulitnya yang bersih. Carpe Diem, tertulis di tangan kanannya. Tangan kirinya memegang sebotol bir yang masih penuh. 

Pukul sebelas malam waktu itu. Pesta sepi semakin riuh, memekakkan telinga. Sedang kami tak banyak bicara, hanya sesekali saling bertanya, lalu diam dibungkam pikiran masing-masing. 

Dua jam sudah, angin membuat gigilku menjadi-jadi. Dan sebelum kakiku menjatuhkan langkah untuk meninggalkannya, ia berkata dengan sedikit gemetar, "Rindu itu bagus, Dien. Aku hanya harus terus menunggu, menunggu, menunggu. Dengan menunggu hidup terasa penuh harapan, dan itu memberiku kekuatan." 

Aku terdiam, tak tahu harus bicara apa. Ia melihatku tanpa bicara lagi, bibirnya mengatup menahan perasaannya yang entah apa. Tiba-tiba ia berdiri, menarik tubuhku seraya berbisik, "Dien, kutawarkan hatiku. Pikirkanlah, aku mau menunggu." 

 

 

***

 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler