Barangkali aku terlalu takut atas kehilangan
Barangkali aku terlalu takut atas kehilangan. Bermimpi menggenggam cinta yang utuh, tapi tiba tiba tersadar bahwa pada akhirnya aku tak memiliki siapa-siapa.
Kelak saat senja menjadi penguasa, nada-nada yang kita mainkan melampaui kesedihan. Pucuk-pucuk cemara, sayap-sayap camar, lalu jatuh di bibir pantai; sebuah sajak lahir dari sepi untuk kubaca, berulang-ulang.
Tetapi senyum itu tak lagi kulihat, sebab pertemuan telah diselesaikan waktu, sebab mungkin hanya aku, bukan ia.
***
Temui aku di danau Linau pukul lima
Ketika langkahmu sampai di depan dindingnya yang tersusun dari batu bata yang telah berlumut, duduklah di bangku kayu itu.
Beberapa lentera berjejer rapi siap menjadi terang setelah senja dilahap malam. Remang rembulan jatuh di bias wajahmu, sendu.
Beberapa kunang-kunang bermain di ranting cemara, sebagian yang lain hinggap di meja, mungkin hari telah dibahasakan sebagai saling berbincang.
Di bangku kayu itu, akan kuceritakan padamu tentang rasanya diinginkan atau tentang pertemuan kita yang pernah tertunda.
Dan ketika aku lupa, ingatkan tentang menunggu. Sekiranya waktu terlalu rancu oleh ragu lepaskan saja, biar desau angin membawanya ke tempat paling jauh.
***
Menuju senja di Banggai Laut
Menuju senja di Banggai Laut, kuhela lega rasa yang hampir gagal setelah menjaring hari. Ariku menggigil dibelai angin. Mata terbuka, aku berada di surga. Tuhan, Kau lebih romantis dari puisi-puisi para pujangga. Entahlah, di pelukan-Mu aku asik, tak terusik.
***
Senja kali ini
Senja kali ini beberapa kali bunga-bunga memekarkan cinta, lalu layu, lalu kehilangan wangi dan mati. Sedang pelukan tetap di sana mengekalkan luka. Sesekali menyeka air mata yang tak berhenti mengalir.
Senja kali ini sepasang kaki meragu, jejak-jejaknya ingin dikenang. Atau paling tidak, tak cepat-cepat dilupakan. Pada sudut-sudut ruang yang kesepian, lilin merah beraroma mawar tak sanggup menawar. Kesedihan ini membuat hari begitu hambar.
Senja kali ini di kepalamu senyumku jatuh. Kecemasan demi kecemasan tak henti-hentinya menghantam rasa.
Senja kali ini yang tak begitu jingga, Januari berbisik kepadaku, "Senja kali ini menjelma puisi-puisi, Dien. Buka pintu dan lakukan sesuatu, sebelum luruh angka-angkaku."
***
Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.