Manusia: Hati Seluas Samudra – Sebentangan Langit
Teringat lagi ketika masih di ruang kuliah STIKES St Paulus - Ruteng. Saat bicara tentang ciri-ciri Kecerdasan Spiritual (SQ). Satu dari sekian litania ciri kecerdasan spiritual itu adalah kecenderungan untuk lebih banyak bertanya: “Apa Sebab?” Katanya, bertanya: “Mengapa” itu selalu lebih mulia ketimbang untuk cepat “menyatakan dan menegaskan” tentang sesuatu atau apalagi tentang seseorang!
Penjara Tafsiran
Selebihnya? Itu hanyalah tafsiran sana-sini. Itu sekedar menangkap sederhana apa yang dimaksudkan oleh Friedrich Nietzsche. Bahwa pemahaman tidak lebih lebih dari sebatas interpretasi. Terdapat pula opini yang paparkan seperti apa sosok seseorang itu.
Manusia adalah rekam jejak yang dipegang sesamanya. Yang selanjutnya bisa dipagar mati dalam keyakinan pribadi. Berimbas pada sikap batin bahkan pada sikap lahir sebagai reaksi terhadap sosok seseorang itu.
Akan tetapi, tidakkah terdapat kekeliruan, kesalahan atau bahkan ketersesatan mengenai seseorang yang telah dipagarmati dalam keyakinan itu? Ternyata atau “Padahalnya” sering jadi ungkapan spontan dari kenyataan kekeliruan itu.
Padahalnya....
Yang semula diyakini baik, benar santun dan meyakinkan pada titiknya bisa berujung pada ternyata atau padahalnya berseberangan atau meleset jauh dari nilai yang diyakini itu. Yang tak sesuai dengan kenyataannya.Pada titik sebaliknya, yang dipastikan bejat, huru hara, sesat, dengan segala litania minus-negatifnya, sering bisa menjadi jawaban pas yang tak terduga. Bagaimana pun, semudah itu kah di antara manusia sendiri bisa segampang untuk bergeser dari kepastian tentang sesamanya?
Baik, benar, jujur, solider, tanggungjawab, saleh serta sekian banyak bobot nilai positif sungguh adalah positif pemaknaannya dalam nilai itu sendiri. Namun, saat dihubungkan pada sosok seseorang, nilai-nilai itu bisa menjadi kabur-kabur, samar dan terlindung.
Tergantung Siapa dan Dari Mana?
Hasil fit and proper test bisa pastikan sederetan kelayakan atas dasar barisan nilai-nilai positif itu. Namun, baik, benar, saleh atau layak sering jadi buah manis dari upaya pengagungan dengan cara apapun demi seseorang tertentu.
Terhadap seseorang tertentu terdapat lukisan-lukisan semanis madu yang lancar dibentangkan. Sementara tentang seseorang yang lain, gambaran sepahit empedu bisa ditiup deras mengalir ke sana-kemari. Hal ini, dalam tataran pragmatis-eksperiensal, bisa dipahami (namun tidak boleh dibenarkan). Mengapa kah demikian?
Ada banyak faktor yang berpengaruh di balik semuanya. Manusia itu bukanlah persona dan peristiwa yang mutlak tertutup bagi apa dan siapapun. Artinya, manusia itu selalu kaya dalam aneka latarnya. Namun, kelompok manusia sering, misalnya, terjebak dalam apa yang disebut rawa-rawa kesesatan menilai seseorang.
Perangkap Etnosentrisme (bangsa, suku sebagai pusat)
Etnosentrisme berkenaan selalu dengan sudut pandangan. Terarah pada kelompok kultural lain, kebangsaan dan etnis lain, dari sudut pandang etnis, kebangsaan atau kultur pengamat (Shiraev & Levy, 2016). Sayangnya, etnosentrisme selalu memperkecil cara dan isi pikiran kita mengenai orang dari budaya lain, bangsa lain atau kelompok sosial yang bukan kita.
Tak ditampik kenyataan bahwa setiap kita, lahir dan berkembang hidup dalam tataran budaya yang khas. Pun dalam cara berelasi atas dasar segala macam kekayaan situasinya. Saat kita merasa unik dan bahkan istimewa dalam latar belakang punya kita, seperti itulah yang juga dialami oleh sesama atau orang lain.
Syndrom Superioritas ethnos?
Sebab itu, setiap kita dituntut untuk membongkar panggung selalu merasa superior pada ‘budaya dan kelompok sendiri sembari tanpa beban memperkecil budaya dan kelompok yang lain. Tentu, hal bukanlah soal gampangan. Mencintai budaya sendiri terkadang disalahkaprah sebagai pemujaan mutlak pada budaya dan etnis sendiri sambil mengkerdilkan yang lain punya.
Dalam kerangka seperti ini sungguh mudah bagi seseorang atau kelompok orang untuk mengangkat diri sendiri sebagai penentu, pengendali, penguasa bahkan hingga sebagai jaksa dan penghakim terhadap yang lain. Terhadap yang bukan se-golongan, se-kaum atau pun se-kelompok.
Pressure Group: Kelompok Tanpa Solusi
Tidak kah sering terhimpun apa disebut pressure group (kelompok penekan)? Inilah group yang sering bikin onar, suka ribut, rajin protes, muka asam dan muka bengkak. Hanya karena cita-cita, hasrat dan gejolak ambisi tak kesampaian.
Inilah kelompok yang rajin dan gemar mengeluh ini-itu namun buta total dalam solusinya (jalan keluar). Barisan Sakit Hati bisa termasuk dalam kelompok ini. Pressure group mudah terhubung dengan perasaan senasib yang sungguh malang. Yang dipertebal lagi dengan aroma solidaritas negatif!
Di Keseharian Hidup yang Nyata?
Kata si bijak, “Anda sungguh miliki kecerdasan spiritual, ketika Anda lebih cenderung untuk dekati dan sebisanya lembut dan tulus bertanya: apa sebab atau mengapa?’ Di situ, selalu ada kemungkinkan untuk dapatkan jawaban personal dan sepenuh hati.
Mari Hilangkan Kegemaran Menyatakan Tentang Orang Lain
Akhirnya
Maka, sekali lagi, sepantasnya kita buka wawasan kita tentang sesama dengan segala latar kisahnya. Sebab di situ, selalu ada jawaban luas yang kita dapati. Di situ pun, kita tidak terjebak lagi dalam tahu sambil lalu tentang orang lain.Tetapi bahwa kita sungguh mengenal dan memahami seseorang di dalam segala keunikan, keistimewaan, dan dalam segala suka dan duka yang dialaminya! Hanya dengan itu, kita sanggup untuk mendekapnya sebagai saudara-saudari dengan sepenuh hati.
Verbo Dei Amorem Spiranti



Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.