x

Keputusan atasan yang melahirkan baris perlawanan

Iklan

Yayan Hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Januari 2023

Selasa, 10 Januari 2023 15:41 WIB

Tantangan Demokrasi Kita: Memperkuat Agensi Politik

Kita sedang terjerembab ke dalam fenomena the rise of Illiberal Democracy atau demokrasi kosong. Situasi seolah-olah demokratis, namun rakyat tidak mengetahui aktivitas pemegang kekuasaan sesungguhnya. Efektivitas partai politik melemah. Partai menghindar dari upaya membangun basis ideologi yang jelas. Lalu ada deformasi politik dimana ahnya para elite yang menguasai permainan. Terkahir ada upaya menghilangkan publik sebagai subjek aktif dalam ruang politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Krisis kepercayaan terhadap jalannya praktek demokrasi terjadi sepanjang tahun 2022. Kita dikejutkan dengan berbagai fenomena politik yang mendistorsi semangat demokrasi seperti; upaya mensiasati konstitusi untuk masa jabatan presiden tiga periode, penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden, kekuasaan kehakiman diintervensi secara kasatmata, hingga lahirnya berbagai regulasi yang kontradiktif dengan kepentingan rakyat.

Apalagi dalam tahun-tahun menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 demokrasi di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan seperti; disrupsi digital, politisasi identitas hingga polarisasi politik yang belakangan menguji reseliensi demokrasi.

Agaknya kita sedang terjerembab ke dalam fenomena apa yang disebut oleh Fareed Zakaria (1997) sebagai the rise of Illiberal Democracy atau demokrasi kosong – situasi dimana kita seolah-olah demokratis, namun rakyat tidak mengetahui aktivitas pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Ada beberapa penanda dari terjadinya illiberal democracy; pertama, melemahnya efektivitas partai politik. Partai menghindar dari upaya membangun basis ideologi yang jelas karena berorientasi pada catch all party. Kedua, mendeformasi politik sekedar pertunjukan para elite dan ketiga adalah dampak paling serius yakni menghilangkan publik sebagai subjek aktif dalam segala ruang politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berkembangnya illiberal democracy menandai sebuah episode khusus perkembangan demokrasi di Indonesia. Di balik itu saya melihat adanya dislokasi politik (political dislocations) atau terlepasnya muatan-muatan substansi politik demokratis dari bekerjanya kelembagaan politik. Partai Politik misalnya, terlalu disibukkan dengan agenda rutinan jelang Pemilu, namun abai terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi.

International IDEA mendefinisikan situasi demokrasi saat ini sebagai demokrasi yang stagnan, bahkan mengalami kemunduran. Stagnasi dan kemunduran bahkan terjadi di negara-negara yang demokrasinya masuk kategori mapan. Hal tersebut dipertegas oleh Freedom House yang menyatakan bahwa terjadi kemunduran demokrasi selama 16 tahun berturut-turut.

Sesungguhnya demokrasi seperti apa yang sedang kita jalani? Sejauh mana semua ini justru berdampak buruk bagi segala upaya kita mendorong demokrasi yang berkualitas?

Peralihan Demokrasi

Era pasca pandemi ditandai dengan peralihan interaksi sosial secara massif dari dunia nyata ke dunia maya (internet). Peralihan tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia yang telah mencapai 205 juta pada Januari 2022. Artinya, ada 73,7% dari populasi Indonesia telah menggunakan internet.

Dalam dua kali pelaksanaan Pemilu terakhir, kita melihat proses demokrasi seolah beralih pada ruang maya. Percakapan politik, kampanye hingga kontestasi tidak saja berlangsung di dunia nyata atau offline, namun juga berkembang massif di dunia maya atau online. Fenomena peralihan ini didefinisikan oleh John Hartley (2010) sebagai cyberdemocracy – demokrasi yang hidup di dunia maya dengan mediasi internet.

Cyberdemocracy di satu sisi akan menjadi nilai surplus bagi demokrasi, namun di sisi lain dapat menjadi nilai defisit. Nilai surplus seperti makin meluasnya kedaulatan dan kebebasan masyarakat dalam berkoneksi, berekspresi, berkelompok, berkontestasi dan bertukar informasi. Ini tentunya menjadi peluang bagi penguatan demokrasi substansial di Indonesia. Sementara itu, nilai defisit bagi cyberdemocracy adalah ancaman disinformasi, manipulasi informasi atau berita bohong, hingga politisasi identitas yang berujung pada polarisasi sosial.

Di Amerika pada pemilihan presiden 2020, disinformasi di media sosial bahwa pemilu curang sampai memicu penyerangan terhadap Gedung Capitol pada 6 Januari 2020. Selain itu, di Indonesia pada Pilpres 2019, disinformasi di media sosial bahwa Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin curang memantik unjuk rasa di muka Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang kemudian berubah menjadi kekerasan.

Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa segala hal yang berkembang di dunia maya mempengaruhi preferensi politik di dunia nyata dan memiliki konektivitas yang saling kait berkelindan. Artinya, apapun informasi yang disebarkan oleh elite dan kelembagaan politik di media sosial akan menentukan dinamika politik di dunia nyata.

Memperkuat Agensi Politik

Tahun politik kali ini menghadapi realitas politik yang kompleks. Realitas pertama adalah terjadinya perubahan politik yang cepat pasca pandemi dan realitas selanjutnya adalah krisis demokrasi hingga melemahnya efektivitas partai politik dan agen-agennya sebagai ‘penjaga’ demokrasi. Artinya, ancaman seperti politisasi identitas, disinformasi, hingga polarisasi sosial bukan tidak mungkin terjadi, bahkan dengan eskalasi yang lebih meningkat daripada pelaksanaan Pemilu sebelumnya.

Hal yang penting dilakukan saat ini adalah pembentukan subjek politik sebagai subjek kekuasaan atau agensi politik merepresentasikan kepentingan publik dan konstituen. Sebab, dalam banyak kasus krisis demokrasi terjadi akibat agensi politik yang lemah. Kerap elite politik justru menjadi aktor penyebar disinformasi. Apabila tak menjadi aktor penyebar hoaks, elite sekurang-kurangnya membiarkan pendukung mereka menebarkan hoaks di media sosial.

Agensi politik yang dimaksud dalam hal ini adalah bakal calon presiden dan wakil presiden serta partai politik yang akan menjadi representasi kepentingan publik pada Pemilu 2024. Agensi harus menjadi teladan politik bagi para pendukungnya dengan berkomitmen untuk menjadi corong kebenaran informasi, memastikan sistem demokrasi bekerja secara inklusif tanpa eksklusi politik, mengakui perbedaan pandangan politik sebagai sesuatu yang sah dalam demokrasi serta menjaga etika-politik demokrasi. Sebab, realitas politik menunjukkan bahwa agensi politik menjadi penentu dari terwujudnya demokrasi yang berkualitas.

Oleh Yayan Hidayat

Direktur Eksekutif The Strategic Research and Consulting (TSRC)

Ikuti tulisan menarik Yayan Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler