x

Diskusi Bersama Secara Offline Membahas LKMM-TD

Iklan

trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2022

Rabu, 11 Januari 2023 12:35 WIB

Meningkatnya Kelas Menengah Baru di Indonesia

Di daerah saya yang mayoritas masih agraris, terjadinya peningkatan kelas menengah baru begitu kentara. Orang-orang yang memiliki pekerjaan tetap dan bagus baik ASN maupun non-ASN semakin bertambah. Muncul pula pengusaha-pengusaha baru terutama dari kalangan kaum muda. Termasuk keluarga yang anak-anaknya bekerja di luar negeri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

MENINGKATNYA KELAS MENENGAH BARU DI INDONESIA

 

Dalam lima tahun terakhir, ibukota kecamatan tempat saya tinggal mengalami perkembangan yang begitu drastis. Daerah yang semula sepi, mendadak menjadi sangat ramai. Awalnya kita hanya mengenal pasar tradisional setingkat kecamatan dan beberapa deretan toko-toko di sekitarnya, kini telah berubah layaknya sebuah kota kecil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbagai minimarket maupun supermarket bermunculan bak cendawan di musim penghujan. Minimarket model franchise kelas nasional sudah ada 6 titik. Belum minimarket milik perorangan. Supermarket khusus fashion ada lebih dari lima lokasi. Puluhan restoran dan café. Berbagai toko dan kios yang menyediakan berbagai barang dan jasa.

Kota kecamatan yang tadinya hanya berpusat di sekitar perempatan utama, kini berkembang ke sepanjang jalan raya sejauh 2-3 km. Kanan-kiri jalan yang tadinya berupa hamparan sawah, kini sudah tertutup rapat oleh bangunan kios, ruko, maupun gedung perkantoran. Di waktu-waktu tertentu, jalanan menjadi macet seperti layaknya di daerah perkotaan.

Semuanya ada dan lengkap. Tidak perlu pergi ke kota Solo untuk membeli sesuatu. Yang penting ada duitnya, segalanya telah tersedia. Termasuk berbagai fasilitas pendidikan dan kesehatan. Juga munculnya berbagai obyek wisata, seperti water-boom, kolam renang, umbul pemandian, taman bermain, taman bunga, dll.

 

Kelas Menengah Baru

Menurut Asian Development Bank (2010), antara tahun 2002-2008 terdapat sejumlah 102 juta orang Indonesia (46% dari jumlah penduduk) yang berhasil naik kelas, bergabung menjadi kelas menengah. Sepanjang tahun 2008, mereka per hari rata-rata menghabiskan antara 2-8 Dollar AS untuk konsumsi. Sedangkan pada akhir 2010, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 70 milliar Dollar AS. Ini berarti rata-rata per kapita penduduk Indonesia memiliki pendapatan sebesar 3.000 Dollar AS.

Di daerah saya yang mayoritas masih agraris, terjadinya peningkatan kelas menengah baru begitu kentara. Orang-orang yang memiliki pekerjaan tetap dan bagus baik ASN maupun non-ASN semakin bertambah. Muncul pula pengusaha-pengusaha baru terutama dari kalangan kaum muda. Termasuk keluarga yang anak-anaknya bekerja di luar negeri.

Perubahan nampak pada pembangunan rumah-rumah baru yang bagus (sebagian bahkan mewah). Rumah-rumah yang tadinya terbuat dari bambu atau kayu diganti menjadi bangunan permanen. Sepeda motor setiap keluarga bisa mencapai 2-3 buah. Kepemilikan mobil pun semakin banyak. Anak-anak pun bersekolah tidak lagi di desa sendiri, melainkan ke sekolah IT atau sekolah unggulan yang berada di ibukota kecamatan atau bahkan di kecamatan lain.[1]

Perubahan juga terjadi pada gaya hidup sehari-hari. Mereka tak lagi berbelanja ke warung atau pasar tradisional, melainkan ke minimarket. Mereka lebih suka makan di warung makan atau restoran daripada memasak sendiri. Termasuk juga membeli perabot rumah seperti kulkas, mesin cuci, TV digital, bahkan AC.

Jikalau dulu mereka melakukan piknik paling cepat sekali dalam setahun, yaitu ketika liburan kenaikan kelas atau tahun baru. Kini mereka bisa berwisata sepekan sekali atau kapan pun mereka mau. Hal ini dikarenakan pilihan destinasi wisata yang semakin banyak dan tak jauh dari rumah. Juga karena berwisata semakin murah dan terjangkau. Bahkan mereka bisa jalan-jalan ke tempat yang jauh, sehingga bisa merasakan naik kereta, kapal laut atau malah pesawat.

 

Maraknya Berbagai Platform Belanja Online

Faktor lain yang memicu meningkatnya kelas menengah baru adalah munculnya berbagai platform belanja online. Mulai dari platform media sosial, web, blog, marketplace, maupun berbagai aplikasi lainnya.

Barang-barang yang tadinya harus membeli dengan cara pergi ke kota, kini bisa dibeli dari rumah. Barang-barang yang tadinya tak mampu dikonsumsi oleh kalangan low-end, kini mereka mampu membelinya. Produk atau jasa kini pilihannya semakin beragam dan semakin murah. Bahkan beberapa di antaranya mendekati Freemium, dalam arti produk atau jasa yang sebenarnya berharga premium namun ditawarkan dengan harga nol atau mendekati nol.

Menginap di hotel menjadi murah. Tiket pesawat juga semakin murah. Paket wisata yang kian terjangkau. Barang-barang elektronik terutama smartphone juga semakin murah. Terlebih ketika berbelanja via marketplace, banyak sekali penawaran-penawaran menarik seperti cashback, diskon, COD, bebas ongkir, atau harga supermurah ketika momen tertentu.

Selain itu, juga adanya perubahan sistem ekonomi dari ekonomi kepemilikan (owning economy) menjadi ekonomi berbagi (sharing economy). Tidak harus memiliki aset tertentu untuk bisa menikmati produk atau jasa, cukup memiliki akses terhadap produk atau jasa tersebut. Salah satu contoh, jika ingin merasakan naik mobil, kita tidak perlu membeli mobil. Kita bisa menyewa atau memanfaatkan GO-JEK atau Grab.

 

Referensi:

Rhenald Kasali, Cracking Zone, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011.

 

 

[1][1] Bahkan ada kecenderungan sekolah-sekolah negeri yang gratis semakin berkurang peminatnya, mereka justeru lebih memilih sekolah yang biayanya mahal. Hal ini terbukti banyaknya SD negeri yang akhirnya harus tutup atau di-merger.

Ikuti tulisan menarik trimanto ngaderi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu