Banyak mata yang melihat dan akal yang tahu bahwa kita sempat mendaki puncak sukacita sebelum terjun ke lembah dukacita.
Tak jarang kau bagi air mata pada sejawat atas usainya sebuah kisah mulia dan tak jarang sejawat menghardikku atas gerutu yang kusyiarkan pada mereka.
Kita bukan makhluk lemah dan rendahan hanya sebab air mata dan gerutu, bukan?
Kita rajut masa depan dengan lawai kepercayaan dan kesetiaan. Belum tuntas rajutan kita, Dia punya rajutan sendiri untuk kau pun aku. Kuakui, tidak mudah untuk menerima itu.
Mungkinkah Dia tak menyukai kisah kita--kisah yang masih meluhurkan moralitas dan tata krama peradaban?
Kujadikan kopi dan anggur sebagai pelampiasan; surau dan diskotik sebagai pelarian, tetapi sia-sia saja: bayangmu masih menghantuiku.
Tiap purnama berpendar di bumantara, kulihat jelas sketsa wajahmu di sana. Tiap kicauan burung kala pagi, yang kudengar justru rengekanmu.
Apakah aku sudah menjelma Qais dan kau sebagai Layla? Atau kita hanya pemeran tolol yang mengira mampu melawan kisah Sang Sutradara?
Sekarang kutak tahu kau dimana namun aku di sini, kedai kopi-tempat dimana kita mengusir sepi-dan memperhatikan petuah yang dipajang pada dinding
: kisah mungkin usai namun kasih(Nya) pasti abadi.
Ikuti tulisan menarik Muhammad A lainnya di sini.