x

cover buku 100 tahun kwee tek hoay

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 19 Januari 2023 06:50 WIB

Kwee Tek Hoay - Pemikir, Sastrawan dan Budayawan Tionghoa

Buku "100 Tahun Kwee Tek Hoay" memuat tulisan berbagai pakar tentang tokoh Tionghoa kelahiran Bogor tahun 1886. Tulisan-tulisan dalam buku ini membuktikan kepakaran Kwee Tek Hoay di bidang sosial politik, kesusastraan, agama dan budaya tionghoa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: 100 Tahun Kwee tek Hoay – Dari Penjaja Tekstil Sampai ke Pendekar Pena

Penyunting: Myra Sidharta

Tahun Terbit: 1989

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Pustaka Sinar Harapan

Tebal: 330

ISBN: 979-416-040-7

 

Kwee Tek Hoay (KTH) adalah seorang cendekiawan Tionghoa yang menaruh minat luar biasa terhadap kehidupan orang tionghoa di Indonesia, khususnya Jawa. Seperti ditulis di bagian punggung buku ini, KTH bukan hanya mengamati dan mengkritik, tetapi ia juga memberikan sumbangan pemikiran terhadap bagaimana sebaiknya orang tionghoa hidup di Indonesia. Sayang sekali tokoh yang lahir di Bogor pada tanggal 31 Juli 1886 ini tak dikenal oleh orang tionghoa di Indonesia masa kini.

Sumbangan pemikiran penjaja tekstil ini sangatlah luas. Sumbangannya tidak terbatas pada aspek sosial politik tentang bagaimana orang tionghoa harus hidup bersama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. KTH juga sangat aktif dalam kesusastraan, keagamaan dan kerpibadian. Buku “100 Tahun Kwee Tek Hoay – Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena” adalah buku yang dipersembahkan oleh para pakar di bidangnya masing-masing, untuk memperingati 100 tahun KTH.

Buku yang disunting oleh Myra Sidharta ini terbagi dalam empat bab, yaitu tentang (1) Peran KTH di bidang sosial dan politik; (2) Peran KTH di bidang kesusasteraan; (3) Peran KTH di bidang keagamaan; dan (4) Kehidupan pribadi KTH. Selain keempat bab tersebut, buku ini dilengkapi dengan sinopsis karya-karya KTH Hoay di bidang kesusasteraan dan daftar karya KTH.

 

Bidang Sosial Politik

Ada tiga penulis yang menyoroti peran Kwee Tek Hoay di bidang sosial dan politik. Ketiga penulis tersebut adalah Leo Suryadinata, Claudine Salmon dan Myra Sidharta. Ketiga penulis ini adalah orang-orang yang menggeluti masalah cina secara mendalam.

Leo Suryadinata menyampaikan bahwa pemikiran Kwee Tek Hoay sangat diwarnai oleh ajaran Konghucu (hal. 19). Itulah sebabnya Leo Suryadinata mengatakan bahwa pandangan Kwee konservatif dan menekankan ketertiban. Leo memberikan contoh sikap Kwee terhadap pemberontakan PKI 1926 dan penangkapan orang-orang PNI tahun 1929. Tentang dua peristiwa itu Kwee tidak menyokongnya. Ia lebih mengutamakan keamanan jangan sampai terganggu.

Dalam hal pendidikan, Kwee mengkritik penyeragaman kurikulum. Sebab di mata KTH, orang tionghoa di Hindia Belanda adalah beragam (hal. 22). KTH kecewa dengan sistem pendidikan bagi anak-anak tionghoa karena sistem pendidikan tersebut membuat anak-anak tionghoa kalah bersaing dengan para imigran baru (hal. 25). Sedangkan tentang kedudukan ekonomi orang-orang tionghoa, KTH mengatakan bahwa orang-orang tionghoa kalah karena belum memiliki perkumpulan yang bisa digunakan untuk memperkuat kedudukan eknomi (hal. 27).

Tentang kedudukan politik, KTH cenderung mendorong orang-orang tionghoa mendukung Hindia Belanda karena di tempat inilah orang tionghoa mencari nafkah. Hal ini berbeda pandangan dengan kelompok Sin Po yang mendukung nasionalis Tiongkok yang mengarahkan orang tionghoa ke pangkuan Tiongkok (hal. 27). Meski mendorong orang tionghoa untuk mendukung Hindia Belanda, tetapi KTH tidak setuju orang tionghoa mengadopsi kebudayaan Belanda (hal. 29). Orang tionghoa harus mempertahankan kebudayaan nenek moyangnya.

Secara lebih mendalam Claudine Salmon menguraikan pandangan KTH tentang pendidikan bagi anak-anak tionghoa. Pemikiran KTH tentang pendidikan anak-anak tionghoa sangat berhubungan dengan sistem sekolah yang didirikan oleh Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) dan sekolah yang didirikan oleh Belanda untuk anak-anak tionghoa Holland Chinese School (HCS). Seperti telah disinggung oleh Leo Suryadinata di atas, Claudine Salmon juga mendapati bahwa KTH sangat memperhatikan keberagaman kebutuhan orang tionghoa dalam hal pendidikan. Ada lima kategori orang tionghoa sesuai dengan kebutuhan pendidikannya. Golongan tersebut menurut KTH adalah (1) orang peranakan yang kaya, (2) orang peranakan yang miskin, (3) orang peranakan nasionalis, (4) orang peranakan dan totok practical nationalist,  dan (5) orang tiongha totok (hal. 42). Meski menyadari bahwa tidak mungkin mendirikan sekolah yang mampu melayani semua kepentingan golongan tionghoa, KTH sangat mendukung pendidikan yang tidak meninggalkan budaya tionghoa, termasuk bahasa Tionghoa (hal. 48). Claudine Salmon menyimpulkan bahwa pemikiran pendidikan KTH sangat mirip dengan pemikiran Ki Hajar Dewantoro. Keduanya sama-sama berdasarkan prinsip kebangsaan dan kebudayaan leluhur, pelajaran kesenian dan praktik dalam pengajaran (hal. 54).

KTH mempunyai kepedulian yang tinggi pada isu perempuan peranakan. Myra Sidharta menyampaikan pandangan KTH tentang perempuan. Ada dua pandangan tentang keududkan perempuan di kalangan orang tionghoa saat itu. Satu pandangan adalah memberi keluasan kepada perempuan untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Sementara pihak satunya berpendapat bahwa anak perempuan sebaiknya dididik supaya bisa menjadi istri dan menantu yang baik. KTH tidak berada di salah satu ekstrim tentang kedudukan perempuan. KTH berpendapat bahwa perempuan harus mendapat pendidikan yang baik namun juga harus terus menjaga tradisi supaya tidak mengalami “krisis identitas” (hal. 56). KTH sangat menganjurkan para perempuan untuk rajin membaca dan menulis.

KTH menggunakan karya fiksinya untuk mengungkapkan pendapatnya tentang perempuan. KTH bahkan menyediakan rubrik khusus tentang perempuan yang diberi nama “Halaman Perempoean” di majalah Panorama yang diasuhnya (hal. 56). Tokoh-tokoh perempuan yang muncul dalam karya fiksinya adalah perempuan-perempuan yang memiliki ketangguhan dalam menghadapi situasi. Tidak semua tokoh perempuannya berpendidikan. Tokoh yang tidak berpendidikan pun bisa tetap menjadi perempuan yang bermartabat (hal 82).

 

Bidang Kesusasteraan

KTH lebih banyak mengungkapkan pemikirannya melalui karya-karya fiksi. Jakob Sumardjo menilai kekuatan karya fiksi KTH adalah pada kemampuannya membangun suasana cerita dengan teknis deskripsi yang membuat para pembaca ditempatkan dalam suasana yang hidup. Kekuatan lainnya adalah pemasangan gaya realis dengan setting cerita actual dan riil. Ceritanya berpijak di bumi sehingga seperti benar-benar pernah terjadi (hal. 98). KTH juga sangat kuat dalam membangun ketegangan (hal. 104). Sedangkan kelemahan yang ditunjukkan oleh Jakob Sumardjo adalah KTH sering memasukkan uraian tentang gagasan-gagasannya secara panjang dalam karya fiksinya.

Tema-tema yang dipilih adalah percintaan dengan menggunakan latar belakang sejarah. Contohnya adalah percintaan berlatar belakang meletusnya Merapi (hal. 105) dan pemberontakan PKI 1926 (hal. 108). Banyak karya sastra yang ditulis KTH berhubungan dengan masalah-masalah orang tionghoa, khususnya pendidikan dan perempuan.

Thomas Rieger mengapresiasi betapa pentingnya roman berjudul “Drama di Boven Digul” karya KTH. Rieger menyampaikan bahwa “Drama di Boven Digul” adalah karya monumental sastra Indonesia yang baru tertandingi oleh Boemi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (hal. 123). Sedangkan John B. Kwee mengagumi novel Boenga Rose dari Tjikembang karena dalam bentuk drama sangat sering dipentaskan; novel ini adalah satu-satunya novel yang masih diterbitkan (tahun 1963) saat novel-novel melayu tionghoa sudah berhenti (tahun 1942); ditinjau dari antropologi, novel ini mengungkap fakta bahwa orang peranakan adalah keturunan dari etnis china dan leluhur Indonesia asli; serta novel ini mempunyai unsur Indonesia, Cina dan Barat (hal. 172).

 

Bidang Keagamaan

Salah satu peran penting, kalau tak bisa dianggap yang terpenting adalah peran KTH dalam memandu keberagamaan orang tionghoa. Sam Kauw Hwee atau gabungan tiga agama adalah karya KTH di bidang keagamaan (hal. 187). Michone van Reyes menyampaikan bahwa Sam Kauw Hwee adalah untuk menegaskan kembali agama tionghoa di Hindia Belanda yang merangsang hidupnya kembali agama dan kebudayaan tionghoa. Keberadaan Sam Kauw Hwee adalah untuk mencegah perkembangan agama Kristen di kalangan orang tionghoa (hal. 187).

Kuatnya pengaruh Kristen, termasuk melalui tokoh-tokoh pendiri THHK membuat debat tentang apakah orang tionghoa mempunyai agamanya sendiri. Kelompok Kristen mengungkapkan bahwa orang tionghoa tidak mempunyai agamanya sendiri, sehingga mereka memilih Kristen. Sementara di pihak lain, termasuk KTH mengatakan bahwa agama sangat erat hubungannya dengan budaya leluhur (hal. 188).

KTH menyampaikan bahwa Sam Kauw Hwee, yaitu bahwa ciri-ciri tiga agama (Budha, Daoisme dan Konghucu) telah menjadi  satu dalam kehidupan orang Cina, sehingga secara lengkap telah memenuhi kebutuhan mental dan fisik orang-orang tionghoa. KTH mengatakan bahwa Sam Kauw Hwee adalah “satoe philosofie agama jang paling lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia” (hal. 205).

Munculnya Sam Kauw Hwee diharapkan menjadi pemicu munculnya kembali kebudayaan dan tradisi tionghoa (hal. 216). Michone van Reyes menyimpulkan bahwa Sam Kauw Hwee didirikan sebagai organisasi untuk bertarung di dua bidang, untuk memelihara dan mengembangkan apa yang terlepas dari agama tionghoa di Indonesia, dan sebagai bagian dari proses yang lebih luas untuk merangsang suatu kebangkitan kebudayaan (tionghoa) (hal. 218). 729

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler