x

Iklan

Christian Saputro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Juni 2022

Jumat, 27 Januari 2023 10:50 WIB

Melacak Jejak Orang Rantai di Tambang Batu Bara Ombilin

UNESCO, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB telah menetapkan dengan pertambangan Ombilin , di Sawahlunto, Sumatera Barat, ditetapkan sebagai warisan dunia kategori budaya. Pertambangan batu bara era kolonial Belanda ditetapkan sebagai warisan budaya situs Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto, setelah dilakukan sidang ke-43 Komite Warisan Dunia UNESCO PBB di Pusat Kongres Baku, Azerbaijan, 6 Juli 2019 lalu. Yang menjadi salah satu daya tarik wisata situs Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto ini yaitu; Situs Loebang Mbah Soero. Lubang Mbah Soero adalah merupakan sepenggal kisah tragedi orang rantai. Lubang penuh misteri ini kini jadi salah satu objek wisata di Sawahlunto yang terkenal dengan emas hitamnya alias batu bara di masa lalu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

UNESCO, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB  telah  menetapkan dengan pertambangan Ombilin , di Sawahlunto, Sumatera Barat, ditetapkan sebagai warisan dunia kategori budaya. Pertambangan batu bara era kolonial Belanda ditetapkan sebagai warisan budaya  situs  'Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto', setelah dilakukan sidang ke-43 Komite Warisan Dunia UNESCO PBB di Pusat Kongres Baku, Azerbaijan,  6 Juli 2019 lalu.

Yang menjadi salah satu daya tarik wisata  situs  'Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto' ini yaitu; Situs Loebang Mbah Soero.  Lubang Mbah Soero adalah merupakan  sepenggal kisah tragedi orang rantai. Lubang penuh misteri ini kini jadi salah satu objek wisata di Sawahlunto yang terkenal dengan emas hitamnya alias batu bara di masa lalu.

Kisah yang melatarinya ini yang menghipnotis  untuk para datang ke Sawahlunto dan tentunya ingin melacak jejak orang rantai sekaligus menjelajah Lubang Mbah Soero yang melegenda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Lubang Mbah Soero inilah konon kisah tragedi orang rantai terjadi. Siapakah orang rantai? Orang rantai --- urang rantai--- orang minang menyebutnya atau Kettingganger dalam bahasa Belandanya adalah istilah yang bukan rahasia umum lagi di Minangkabau. Sawahlunto dan Orang Rantai, dua kata yang selalu berangkai dan memiliki arti yang dalam bagi orang-orang tua di Minangkabau.

Bagaimana kisah dan kehadiran mereka?  Sosok yang lehernya dirantai, tangan dan kaki, mirip pekerja paksa Inggris yang dikirim ke Australia untuk membangun jalan kereta api dan juga pekerja tambang yang tersebar di wilayah itu.

Mereka yang digelari orang rantai adalah tahanan politik, pelaku kriminal dan pemberontak alias orang-orang yang melawan pemerintah Belanda. Mereka didatangkan dari penjara-penjara dari berbagai kota melalui pelabuhan Emma Haven ---kini punya nama Teluk Bayur untuk dipekerjakan di tambang batu bara Sawahlunto.

Napak Tilas Jejak Orang Rantai

Setelah berkeliling menengok Museum Kereta Api dan tentunya tak lupa menengok Kereta Mak Itam yang melegenda, Silo –tower penampungbatubara yang jadi salah satu tengara kota—Sawahlunto,  Gedung UPO (Kantor Pustat PTBA), Museum Tambang, melintasi Batang Lunto, akhirnya sampailah ke Gedung Info Box dan  Lubang Mbah Soero di kawasan Tangsi Baru.

 

Gedung Info Box yang pada awalnya  sebagai tempat stock field (penumpukan batubara) yang digali dari Lobang Tambang Batubara Mbah Soero. Tahun 1947 pada lokasi ini dibangun Gedung Pertemuan Buruh (GPB). Gedung ini berfungsi sebagai tempat hiburan sekaligus tempat bermain judi bagi para buruh pekerja tambang yang tinggal di sekitar kawasan Tanah Lapang dan Air Dingin. Di sinilah dulu para buruh tambang menghamburkan uangnya setelah mereka menerima upah.

Pada tahun 1965 Gedung Pertemuan Buruh (GPB) berubah nama menjadi Gedung Pertemuan Karyawan (GPK). Pada masa ini gedung sempat dimanfaatkan oleh Anggota Partai Komunis sebagai ruang pertemuan dan setiap minggunya Anggota Partai Komunis mengadakan pasar murah dengan tujuan untuk merekrut anggota .Tahun 1970-an, gedung ini dialihfungsikan menjadi perumahan karyawan tambang batubara hingga tahun 2004 dan dari tahun 2004 hingga tahun 2007 menjadi hunian masyarakat.

Dengan adanya penelitian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar pada awal 2007 menyatakan bahwa bangunan GPB tidak termasuk dalam kategori Benda Cagar Budaya (BCB) yang dilindungi.  Maka bertolak dari hal tersebut bangunan akhirnya dirobohkan. Akhir 2007 dengan adanya dana subsidi Pengembangan Kekayaan Budaya Daerah dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia maka pada lokasi bangunan GPB dibangunlah gedung baru (Info Box) yang merupakan cikal bakal pendirian Museum Tambang Batubara Kota Sawahlunto yang kini dijadikan Pusat Informasi.

Setelah melihat-lihat berbagai peninggalan termasuk beberapa rangkaian rantai dan pernik peralatan pertambangan lainnya di Gedung Info Box. Rombongan dipersilahkan untuk menggunakan peralatan safety sebelum masuk Lubang Mbah Soero. Layaknya seperti buruh tambang kami dipandu oleh pak Sudarsono mulai memasuki lubang tambang. Walaupun tak begitu lama dalam lubang sekira 15 menitan ada perasaan was-was juga. Meskipun saat ini lubang ini sudah dipasang CCTV dan Exhaust  sebagai pengatur udara.

Masuk Lubang Mbah Soero (Christian Saputro)

Pemandu kawasan wisata ini, Darsono mengisahkan,  Lobang Tambang Mbah Soero dulunya dinamakan Lubang Soegar. Lubang ini merupakan lubang pertama di kawasan Soegar yang dibuka oleh Kolonial Belanda pada tahun 1898. Pada lubang ini terdapat kandungan batubara yang paling bagus (kalori 7000) dibandingkan dengan daerah-daerah lain, seperti; Sungai Durian, Sigalut, Parambahan, dan Tanah Hitam. Pasalnya, kawasan Soegar terletak di lapisan patahan paling bawah dari permukaan Bumi.

Untuk membuka lubang ini Belanda mendatangkan buruh paksa (orang rantai) dari berbagai penjara di Nusantara seperti Medan, Jawa, Sulawesi, dan Padang. Mereka dibawa dengan kapal melalui Emma Haven---Pelabuhan Teluk Bayur--Padang dan selanjutnya menggunakan transportasi kereta api dari pelabuhan menuju Sawahlunto.

Setelah lubang tambang selesai dibuka dengan 2 buah lubang angin (ventilasi udara) maka Belanda mulai melakukan eksploitasi batubara atau 'emas hitam' yang sangat berkualitas itu.

Jumlah produksi batubara yang dihasilkan oleh orang rantai pada tahun 1892 sebanyak 48.000 ton. Kemudian dengan adanya lubang Soegar ini produksi batubara meningkat drastic menjadi 196.207 ton pada tahun 1900. Hal ini membuktikan keberadaan lubang Soegar sangat berpengaruh pada produksi batubara.

Meningkatkanya produksi batubara juga mendatangkan penderitaan bagi buruh paksa. Nasib mereka sangat menyedihkan, rata-rata tiga kali setahun buruh paksa atau orang rantai mendapat hukuman cambuk. Selain perkelahian diantara sesama buruh untuk memperebutkan barang-barang langka seperti rokok dan uang yang menimbulkan tidak sedikit korban jiwa. Kejadian ini dibiarkan oleh mandor tambang dengan syarat jumlah produksi tidak kurang dari 6 ton/shift setiap kelompok.

Menyampaikan Kisah Tntang Mabh Soro

Pada awal abad ke-20 orang Belanda mendatangkan mandor yang berasal dari Blora, Jawa tengah. Salah satunya Soero Sentiko yang lebih akrab dipanggil Mbah Soero. Mbah Soero yang konon dug deng (sakti) ini diangkat menjadi mandor oleh Belanda karena ilmu kebatinan yang dimilikinya. Ia ditugaskan untuk mengawasi penambangan di Lubang Soegar ini. Dalam kesehariannya ia dikenal sangat rajin bekerja, berperilaku baik dan taat beribadah.

Lubang Sempat Ditutup

Lubang ini sempat  ditutup pada tahun 1920-an karena adanya perembesan air dari Batang Lunto dan kadar gas metana yang terus meningkat. Kemudian pada tahun 2007 sesuai dengan Visi dan Misi Kota Sawahlunto sebagai Kota Wisata Tambang , Lubang Mbah Soero ini kembali dibenahi menjadi objek wisata tambang.

 

Patung Buruh Tambang (Christian Saputro)

Sebagai  penghargaan kepada mandor Mbah Soero yang dipanggil sebagai pahlawan pekerja di masa buruh paksa (orang rantai), maka Lubang Soegar ini lebih di tengah masyarakat Sawahlunto lebih dikenal dengan sebutan Lobang Tambang Mbah Soero. Konon, setelah dilacak makam mBah Soero ini ditemukan di puncak bukit Polan, Sawahlunto.

Hanya sekira 15 menitan kami dalam Lubang Mbah Soero, seperti memasuki lorong waktu, membayangkan kesulitan para buruh dengan rantai ditubuh menggali dan mengusung batu bara ke luar lubang. Padahal kini lubang yang kami jejaki ini sudah dilengkapi CCTV untuk memantau keadaan lubang dan juga Ex Hous untuk mengatur udara. Kami juga sempat terkejut, karena ketika kami keluar di antara rumah penduduk. Ternyata kami keluar lubang tidak di lubang ketika masuk. Sebuah perjalanan yang mendebarkan sekaligus mengesankan. Mau coba !

^)Christian Heru Cahyo Saputro, pejalan, penyuka warisan budaya dan petualngan tinggal di Semarang,

Ikuti tulisan menarik Christian Saputro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB