x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Jumat, 27 Januari 2023 10:50 WIB

Percakapan Imajiner (41)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akan aku ceritakan

 

Entah bagaimana persisnya aku menyukainya. Mungkin sejak percakapan-percakapan sederhana dengannya setelah lelah menjaring hari. Tahukah kamu, suka ini menjelma endorphin, yang membuatku sedikit melayang banyak senyumnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akan aku ceritakan… 

Saat memandangku, senyumnya tertangkap mata. Bukan senyum layaknya model-model pria di majalah atau poster iklan, tetapi cukup membuat dunia berhenti berputar beberapa detik, mungkin lebih. Membawaku pada seruang lengang yang teramat tenang. 

Aku suka caranya memandang dunia, menjauhkan kerumitan mendekatkan kenyamanan. Aku suka caranya bicara yang apa adanya. Tak ada puisi-puisi. Ia romantis dengan caranya sendiri. Aku tahu suka ini tak masuk akal dan seharusnya aku tak seserius itu memikirkannya, sebab cinta tak pernah bisa semasuk akal ini. Eh tunggu.. bukan, ini bukan cinta, aku tak seharusnya jatuh hati padanya. Tidak! 

Kamu tahu? menyukainya serupa menghisap rokok di malam hari bersama kopi dan si sepi, menenangkan. Jika rindu datang, sekelebat bayangannya seperti derit pintu yang ganjil, membuatku terjaga. Selanjutnya kuingat matanya yang menyembunyikan kemurungan, dan rambut ikal panjangnya yang sering diikat dengan karet merah atau hitam. 

Iya, sampai detik ini aku sendiri masih tak mengerti mengapa aku menyukainya. Kadang aku merasa perasaan-perasaanku padanya hanyalah hal-hal ganjil yang akan membawaku pada masalah. 

Betapa tidak, sebab yang aku tahu ia tak memiliki perasaan yang sama kepadaku. Tapi, lima menit sebelum kuselesaikan tulisan ini ia datang lewat sebuah pesan. Katanya, "Aku tak tahu lagi bagaimana cara menyembunyikannya. Aku kangen, Dien." 

Akan aku katakan padamu, sekarang aku tahu—ia punya rindu untukku. 

 

 

*** 

 

 

Jarak 

 

Hey, apa kau masih setia menatap jendela sebelum tidur yang selalu larut malam? Menyeduh kopi hitam setelah sebelumnya meminum segelas air putih hangat yang dicampur lemon di pagi hari? Atau menggambar sketsa lalu kau pajang di dinding kamar, dan sesekali memainkan gitar sambil membaca puisi-puisi yang kau tulis sendiri? Apa kau juga masih kesulitan berdamai dengan keresahan yang diam-diam kau sembunyikan dan berpura-pura semua baik-baik saja? 

Kau bilang hidup ini bagai gelap lorong-lorong yang untuk melewatinya tak hanya butuh cahaya, tapi otak yang terus menerus bekerja dan hati yang menjadi penyeimbangnya. 

Ratusan kilometer, sayang. Tak hanya butuh berjam-jam perjalanan untuk bertemu atau sekadar ngopi, tapi juga butuh mood yang baik untuk menciptakan tawa dalam obrolan kita nanti. Atau setidaknya tak meninggalkan kecewa. Berat, katamu. Itulah mengapa semua menjadi berbeda. Mungkin kau lelah kemudian memilih menyerah, sebab rindu ribut begini begitu, mengacaukan waktu. 

Sampai seseorang berkata, yang bisa terus hidup, tumbuh dan berkembang adalah dia yang bisa mengkondisikan dirinya dengan perubahan. Dan kini aku dan kamu tak lagi sepaham dengan keadaan. Lalu kemana mimpi-mimpi? Telah remuk dalam kesedihannya sendiri. 

 

 

*** 

 

 

Membaca Desember 

 

Beberapa membaca Desember sebagai kisah dari kesuyian yang dikepung ketidakpastian. Sebab rindu tak berpihak dengan waktu. Menjauhkan lengan, menjauhkan pelukan. 

Beberapa yang lain menganggap, sebagai ruang-ruang hangat yang menguatkan senyum yang dibangun dengan susah payah di antara carut-marutnya hidup. Saling menggenggam. Saling menguatkan. 

Sudah jam 10.10 di kotaku. Selamat pagi menjelang siang. Selamat bertemu Rabu. Terberkatilah rindu-rindu yang sabar menunggu temu, meski kadang semesta hanya menjawab, "Iya, sabar, nanti dulu."

 

 

 

*** 

 

 

 

Barangkali jatuh hati seperti ini

 

Kugenggam karcis di tangan kiri, tangan kanan sibuk membalas chat dari seorang teman. Suasana bioskop terlalu ramai, aku benci. Meski sebenarnya harus kumaklumi bahwa yang akan diputar film adaptasi novel yang fenomenal. 

Kuputar pandangan ke segala arah. Serombongan anak baru gede di pojokan ruang, tertawa-tawa dan tentu saja berswafoto dengan gawai mereka. Beberapa perempuan usia tigapuluhan duduk berderet di bangku bludru merah marun. Tak jauh dari tempatku berdiri sepasang remaja mesra sekali, mungkin sedang merasa cinta seindah surga. Ah ramai yang semakin ini membuatku sesak. Tiba-tiba pandanganku jatuh pada seseorang yang sepertinya pernah aku kenal. Pucat kulitnya, jangkung, dan sorot mata itu. 

Jauh bertahun lalu hingga detik ini, sorot mata itu begitu istimewa. Berkali-kali bertamu di ingatanku. Cukup mengganggu, tetapi aku begitu menikmatinya, meski karenanya waktu istirahatku tersita. Hanya masalahnya ia tak pernah tahu. Kusimpan rapat-rapat semua mimpi hanya untuk diri sendiri, sampai aku memutuskan untuk pindah ke kota yang jauh untuk sebuah pekerjaan yang sesuai dengan keinginanku. 

Tak pernah menemukan jawaban setiap bertanya pada diriku sendiri mengapa aku jatuh hati pada kedua bola matanya, padahal ia tak selalu menatapku. Jangankan menatap, peduli saja tidak kurasa. Selalu aku yang mencuri-curi celah demi memandangnya. Menatap takjub mata dan lengkung senyumnya. Ia pernah dan telah menjadi candu. Dan atas semua rindu, padanya segala tertumpu meski tak ada lagi temu. Tapi kemudian ia dihadapanku, tersenyum seraya berkata., "Aku menunggumu, Dien, jadi jangan pergi lagi. Tegakah kau membiarkan aku jatuh hati sendirian?" 

 

 

*** 

 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu