x

Sumber ilustrasi: rferl.org

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 27 Januari 2023 10:51 WIB

Risiko Kehilangan

Bukunya kecil, hanya 127 halaman, dan huruf cetakannya agak besar. Tulisannya tidak terlalu bagus, tapi dia hanya membutuhkan waktu dua jam untuk membaca semuanya, dari depan ke belakang. Sekarang tangannya tidak berhenti gemetar akibat dikhianati oleh deskripsi yang jelas mempengaruhi kemampuannya. Dia memasukkan buku itu ke dalam saku dan keluar dari taksi. Saat berjalan melintasi area parkir penjara wilayah, dia tidak dapat mengingat judul buku kecil itu. Tapi dia ingat bahwa sampulnya berwarna biru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bukunya kecil, hanya 123 halaman, dan huruf cetakannya agak besar.

Tulisannya tidak terlalu bagus, tapi dia hanya membutuhkan waktu dua jam untuk membaca semuanya, dari depan ke belakang. Sekarang tangannya tidak berhenti gemetar akibat dikhianati oleh deskripsi yang jelas mempengaruhi kemampuannya.

Dia memasukkan buku itu ke dalam saku dan keluar dari taksi. Saat berjalan melintasi area parkir penjara wilayah, dia tidak dapat mengingat judul buku kecil itu. Tapi dia ingat bahwa sampulnya berwarna biru.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia mulai menangis diam-diam dalam hati pada dirinya sendiri saat mendekati pintu masuk Rumah Tahanan, tempat dia diperintahkan untuk melapor oleh hakim sehari sebelumnya. Apa yang dia baca masih menjerit di dalam benaknya.

Tumpukan bayi kecil? dia bertanya-tanya, diam-diam bertanya pada dirinya sendiri. Bukti kengerian yang tak terbayangkan berputar-putar di benaknya, tiba-tiba membuat masalahnya tampak cukup kecil.

“Ke mana pun kamu pergi adalah surga,” kata lelaki tua itu ketika menyerahkan novella-nya, pagi itu.

Dia telah mengenal lelaki tua itu sepanjang hidupnya, seorang berdarah Minang Pakistan yang baik hati yang memiliki toko kelontong kecil di sudut jalan tempat dia dibesarkan.

Ibu dan neneknya pernah berbelanja di sana. Lorongnya sangat sempit sehingga mereka harus berjalan menyamping atau mereka akan menyenggol sesuatu dari rak hingga terjatuh. Sebagai seorang gadis kecil dia diajarkan untuk selalu sopan kepada orang tua. Dan jangan pernah mencuri, bahkan permen pun jangan.

Dia telah mengalami sesuatu yang buruk sebagai seorang remaja, keluarganya pindah ke kota ini setelah tamat SMA.

Sekarang dia pengangguran purna waktu, menjalani kuliah paruh waktu, tidak menganggap hidup terlalu serius.

Dia indekos bersama beberapa teman sekamar, keluarga pengganti yang berbagi apartemen murah, memanfaatkan masa muda yang manis. Awal pertengahan dua puluhan, murah hati, menarik, dan ber-Facebook. Orang tuanya masih membantunya ketika keadaan menjadi sulit.

Tapi akhir pekan lalu tim tuan rumah memenangkan pertandingan liga, underdog yang bangkit dari ketinggalan untuk mengalahkan rival lamanya, pertama kali dalam setengah dekade.

Dan pesta berlangsung, minuman mengalir, manusia  tumpah ke mal terdekat. Jendela pajangan pecah.

Terbawa hingga ke lantai tiga dan bergerak bersama orang banyak, dia melihat mode trendi yang selalu dia inginkan tetapi tidak mampu dia beli. Karena dorongan hati, dia mengambil busana terbaru dari gerai yang dirusak, lalu pergi ke tempat nongkrong lokal untuk berganti pakaian yang dicurinya. Dia menjadi bagian dari pesta, berdansa semalaman dengan gaun purloin senilai lebih dari upah minimum regional seminggu.

Keesokan harinya peristiwa semalam menjadi berita besar, kerusuhan terekam dalam video pengawasan. Dia diidentifikasi bersama dengan banyak orang lainnya, didesak untuk melapor sukarela dan menerima tawaran keringanan hukuman.

Satu malam di penjara, masa percobaan sebulan di akhir pekan melakukan pelayanan masyarakat. Penangguhan hukuman yang cepat dan memalukan sebagai pengganti keadilan yang lebih lambat dan lebih keras.

Pada hari dia akan menyerahkan diri, dia berhenti di toko kecil untuk membeli rokok, berharap dapat menenangkan sarafnya yang tegang. Orang tua yang baik hati ada di sana.

Awalnya dia mengalihkan pandangannya karena malu, yakin orang tua itu tahu dia pernah tampil di televisi. Tetapi lelaki tua itu tersenyum dan memanggilnya pemberani karena mengakui apa yang telah dia lakukan.

Kemudian dia memberikan buku kecilnya, sesuatu yang dia tulis dengan terpaksa beberapa dekade yang lalu atas desakan orang lain. "Bacaan ringan," katanya, "untuk membantu menempatkan segala sesuatunya dalam perspektif."

Dia lebih muda darinya ketika tentara datang ke desa kecil tempat dia tinggal bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil. Seluruh desa yang berpenduduk kurang dari 300 orang dimuat ke dalam gerbong tertutup dan dikirim dengan kereta api selama berhari-hari dengan kotoran mereka sendiri ke tambang batubara, sebuah pabrik kematian. Di sanalah dia terakhir melihat istri dan anak-anaknya, dan semua keluarga dan teman-temannya. Dia selamat dengan membuang mayat orang-orangnya ke dalam tungku, menjadi satu-satunya yang tersisa dari desa kecilnya pada akhir perang saudara.

Saat dia diambil sidik jarinya, dia mengingat judul buku itu, tiba-tiba memahami artinya: Risiko Kehilangan.

Dan saat petugas menyerahkan baju longgar oranye yang bersih yang akan dikenakannya malam itu, dia memikirkan foto di sampul buku: sebuah monumen dengan nama orang-orang yang meninggal di desa itu dulu berada.

Di belakang ada foto lain: lelaki tua itu berdiri di depan toko bersama keluarga barunya, anak-anak, cucu, dan cicit.

Semuanya tersenyum.

 

Bandung, 27 Januari 2023

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu