x

Mahasiswa KKN Tematik Unej 268 dampingi siswa dan siswi SDN Taman 2 melaksanakan latihan gerak jalan.

Iklan

trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2022

Kamis, 2 Februari 2023 08:49 WIB

Mencoba Logika Terbalik dalam Menyekolahkan Anak

Apabila di rumah sudah menikmati kehidupan yang mewah, bagaimana kalau si anak disekolahkan dengan kondisi yang berkebalikan? Logika terbalik ini patut dicoba untuk membangun karakter anak. Jika orang kaya menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-elit dan serba kerkecukupan, ia akan menilai bahwa hidup itu enak dan mudah. Segala yang diingikan diperoleh dengan cepat dan gampang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Rencananya anak saya mau saya daftarkan di sekolah bertaraf internasional”, ujar seorang ibu kepada teman ngobrolnya.

“Kalau anak saya akan saya masukkan di sekolah IT dekat kantor walikota itu, Bu” jawabnya penuh semangat.

“Berbeda dengan anak saya, Bu. Dia pingin masuk di sekolah Program Unggulan dengan sistem Boarding School itu lho”, sambung yang lain menimpali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

*****

Begitulah sekilas obrolan ibu-ibu di sebuah pusat perbelanjaan di pusat kota. Biasanya awal tahun seperti sekarang ini, sekolah-sekolah swasta sudah memulai membuka pendaftaran siswa baru. Hal ini terlihat dari berbagai spanduk atau baliho yang terpasang di perempatan jalan maupun di sudut-sudut kota.

Bagi kelas menengah-atas, mayoritas mereka memilih sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah terpadu, boarding school, sekolah bertaraf nasional bahkan internasional, dll. Sekolah yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, fasilitas pendidikan yang lengkap dan mewah, tenaga pendidik yang handal dan profesional, dan berbagai kelebihan lainnya.

Sekolah yang demikian sudah barang tentu biayanya sangat mahal. Sering disebut sebagai sekolahnya orang kaya. Wajarlah mereka menyekolahkan anak-anak mereka ke sini karena memang memiliki kemampuan secara finansial. Tidak sembarang orang bisa bersekolah di sini. Jika memiliki uang yang pas-pasan, tidak perlulah memaksakan diri untuk mendaftar.

Dalam keseharian, anak-anak dari golongan kelas menengah-atas ini sudah menikmati kehidupan yang mewah dan wah. Mereka sudah terbiasa makan enak. Tinggal di rumah gedongan yang mentereng. Fasilitas di rumah yang serba lengkap dan serba ada. Jika menginginkan sesuatu, akan dibelikan oleh orang tua mereka.

Anak-anak itu juga lahir dan besar di kota besar. Fasilitas kesenangan dan kemewahan semuanya tersedia. Mal, bioskop, restoran, café, tempat wisata, sarana olahraga, taman, dll. Kemudahan dalam transportasi, prasarana dan sarana perkotaan, akses terhadap berbagai hal.

Logika Terbalik

Apabila di rumah sudah menikmati hidup yang seperti itu, bagaimana kalau si anak disekolahkan dengan kondisi yang berkebalikan dengan kondisi di rumah maupun kondisi lingkungan tempat tinggal dia. Inilah yang saya sebut denganlogika terbalik.  Misalkan anak di sekolahkan di desa ikut dengan kakek-neneknya atau saudara lainnya. Atau dimasukkan pondok pesantren di lokasi yang jauh dari keramaian.

Sekolah atau pondok pesantren yang berada di daerah perdesaan memiliki banyak keterbatasan. Lokasi yang jauh, transportasi yang sulit, prasarana dan sarana pendidikan yang seadanya (standar), fasilitas pendidikan yang minim, daerahnya sepi, dan tentu jauh dari gebyar kemewahan perkotaan.

Demikian halnya di pondok pesantren. Ia harus tidur beramai-ramai dalam satu kamar (ruangan) dengan fasilitas yang seadanya. Makan seadanya juga. Jauh dari orang tua sehingga harus bisa mandiri. Harus pandai mengelola uang kiriman orang tua. Pun harus bergaul dengan teman-teman yang berasal dari latar belakang ekonomi menengah-bawah. Adanya disiplin yang kuat dan peraturan yang ketat. Termasuk tidak boleh membawa smartphone maupun gadget lainnya.

Di sinilah anak akan terbentuk karakternya. Anak akan bisa memahami arti sebuah kesederhanaan. Melatih sikap simpati dan empati. Melatih semangat persaudaraan dan kesetiakawanan. Dia bisa belajar tentang kehidupan orang-orang kecil. Belajar tentang banyak hal yang selama ini belum pernah ia temui di dalam keluarganya maupun di kota tempat tinggalnya.

 

Apabila Masuk Sekolah Elit

Ada kekhawatiran tersendiri apabila orang yang kaya menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-elit. Sepanjang hidup anak tersebut, ia tak pernah merasakan kesusahan. Segala keinginan dan kebutuhannya selalu terpenuhi. Ia juga merasakan berbagai fasilitas dan prasarana-sarana pendidikan yang lengkap dan mewah.

Si anak menilai bahwa hidup itu enak. Hidup itu mudah. Segala yang diingikan akan diperoleh dengan cepat dan gampang. Tidak perlu bersusah-payah dan melalui perjuangan.

Ketika si anak sudah lulus dan mulai masuk ke dunia nyata, dalam hal ini bekerja, realitas yang dihadapi bisa jadi jauh berbeda ketika ia masih tinggal bersama orang tua maupun ketika sekolah. Ketika selama ini ia hidup enak dan punya banyak uang, bisa jadi di dunia kerja ia tak memiliki gaji yang cukup besar, atau tidak memiliki berbagai fasilitas yang pernah ia rasakan sebelumnya.

Sudah barang tentu anak akan menjadi kaget, karena ia tak pernah merasakan kesusahan sebelumnya, tak pernah mengalami kekurangan uang sebelumnya.

 

*****

Pada dasarnya, memilih sekolah yang terbaik buat anak-anak adalah hak setiap orang. Tulisan ini hanyalah mencoba melihat dunia pendidikan dari sudut pandang yang berbeda.

 

Referensi:

Syamsir Abduh dkk, Membangun Karakter Bangsa Menuju Indonesia Maju, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2020.

 

Ikuti tulisan menarik trimanto ngaderi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB