x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Senin, 30 Januari 2023 19:19 WIB

Percakapan Imajiner (43)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

See you when I see you

 

Dua puluh derajat celcius. Bulat purnama. Langit terang. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kamu tahu nggak aroma laut itu menyenangkan?" . 

“Iya, tahu.” 

“Terus kenapa kamu lebih suka ke gunung?” 

“Ya gunung juga bikin nyaman, tenang. Kamu tahu kan aku nggak suka keramaian, bikin pusing. Lagian deketnya ke gunung, mau ke pantai jauh." 

"Suka ngebayangin lagi di pantai nggak?" 

"Iya, kadang-kadang, sama kamu. Jangan tanya kenapa, aku tahu kamu suka pantai." 

"Tapi ngebayangin mulu kan nggak asyik." 

"Iya emang. Tapi beberapa keasyikan kadang hanya semu, sekadar angan-angan. Tapi di situlah kepala diajak merasakan sensasinya, sepaket suka dan luka imajinasi. 

"Wuiih.. imajinasi segala." 

"Haha tapi emang gitu kan, kita ini mahluk yang demen mereka-reka, berandai-andai. Sering kejahuan mikirnya, padahal belum tentu nanti kejadian seperti itu, malah kadang beda banget dari ekspektasi." 

“Hmm iya sih. Tapi, pergi ke pantai sama kamu bukan imajinasi kan?" 

"Haha tentu saja nggak sayang. Sabar ya, kerjaan numpuk nih. By the way kamu udah nulis?" 

"Hmm hari ini belum. Beberapa keribetan bikin ide mampet." 

"Oh.." 

 

Lalu diam, hening, sibuk dengan pikiran masing-masing. Yang satu menengadah langit, mungkin membayangkan terbang ke bulan. Yang satu sibuk menenangkan hati yang tiba-tiba berdegup kencang serupa genderang perang. 

Setelah malam ini mungkin semua akan berubah. Yang satu kembali dengan tumpukan pekerjaannya, yang satu terbang ke tanah seberang. Berharap menemukan sesuatu yang baru tapi tidak berharap melupakan ia yang membuat hatinya haru biru. Alarm ponsel bernyanyi, tepat jam 12 malam. Dingin yang semakin. Mungkin lima belas derajat celcius atau lebih rendah. Andai waktu membeku di situ, maka kehilangan hanya sekadar cerita.  

 

“Aku harus pergi.” 

“Hmm.. Dien.." 

"Ya." 

 

Sebuah pelukan jatuh, untuk rindu dan hal-hal yang tak sanggup dikatakan. Tak ada drama apalagi air mata. Perasaan-perasaan cukup dibiarkan ada untuk menemukan jawabannya sendiri. 

 

"Dien, see you when I see you.” 

“See you when I see you."

 

 

*** 

 

 

Seperti biasa 

 

Seperti biasa, hujan tak datang sendirian. Kadang bersama kenangan, kadang bersama wangi rindu yang memabukkan. Dan kali ini ia benar-benar kewalahan. Ia ingin menikam malam lalu tak peduli, atau setidaknya terlihat seperti itu.  

23.17  

Pada lirih gemerisik dedaunan sajak-sajak dituliskan, dongeng-dongeng dibacakan, beberapa luka mencoba menyembuhkan dirinya sendiri. Beberapa yang lain terasa semakin nyeri.  

23.25 

Lewat celah pintu dan jendela, kesedihan mengalir tipis-tipis ke arinya, ke lelah debar dadanya.  

00.55  

Ingatan jatuh pada ucapan terakhir di telepon dengan seseorang, "Berpura-pura itu melelahkan, sayang, maka akan kuselesaikan."  

Dan seperti biasa, kemudian ia tertidur sambil menggenggam hatinya. Berharap esok luka baru tak lagi ada. 

 

170118 

 

 

*** 

 

 

Sebelum tidur

 

Sebelum tidur, malam menghidangkan secangkir kopi dan sepotong sajak yang pada bait terakhirnya gamang kehilangan jejak. Sementara hujan sedari tadi tak juga berhenti. 

Kau, entah sampai di mana. Mungkin berada di kota yang jauh, jauh sekali, tak kutemukan di mimpi. Tetapi tadi kulihat bayanganmu tak ke mana-mana, duduk diam di beranda. Yang tiba-tiba membuat dada ini sesak, detaknya tak beraturan, riuhnya serupa gedung-gedung akan runtuh. 

Kau, pada putaran waktu menjelma keganjilan demi keganjilan yang selalu ingin diceritakan angin. Mengabarkan segala yang tak terkatakan ingin, menyimpan rapi setiap ingatan pun pada hal-hal yang seharusnya dilupakan. 

 

 

*** 

 

 

Percakapan di kepala

 

“Kau ke mana?” tanyaku pelan.

Ia diam. Sedikit menunduk. Tangannya sibuk dengan ponselnya. 

“Kau ke mana saja?” Aku mengulang pertanyaan.

Ia masih diam. Melihatku sebentar seperti ingin mengatakan sesuatu, lalu menunduk lagi dan kembali sibuk dengan ponselnya. 

“Kau kemana, Je?” Suaraku meninggi. Ia masih juga diam dan menunduk. Tak lama berselang, diletakkannya ponsel di atas meja. Secangkir cokelat yang tak lagi panas, diteguk hingga tinggal setengah. Beberapa saat pandangannya beralih kepadaku. Dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca ia berkata, "Aku lelah, Dien." 

Jika sudah begini, aku tak tahu harus bagaimana. Mati gaya. Ingin rasanya menggenggam tangannya atau memeluknya sekadar menguatkannya, tapi takut ia tak suka. Yang aku tahu, aku benci keadaan ini. Aku juga membenci diri sendiri mengapa sukaku padanya sekeras kepala ini.

 

 

*** 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler