Di negeri ini musim tak lagi seperti waktu bergulir
Tanah rekah tetiba bersiram arus, rumah bertadah hujan
Pada sawah yang ditumbuhi rumah, sungai yang berkuah sampah
Mungkin rasa kehilangan cangkang, hasrat menjerat
Ambisi tersulut gunung berapi
Ketika ini, bumi begitu rapuh
Tangan-tangan semena tak lagi bersalam alam
Betapa negeri ini dalam kesedihan
Perih yang memuncak hulu panas dan dentam hujan
Beriring tak beraturan, segitiga remuk
Kita menjadi saksi atas segala wujud semesta
Di jejak kaki yang terhapus amis aroma got
Sepanjang jalan musim hujan
Tak berbatas
Seperti tangan-tangan yang menebas, mengibas
Negeri ini dalam sepi,
Pada sunyi yang paling dalam
Dia menghela penat mengguncangkan akar-akar tubuhnya yang lelah
Musnahlah rumah, musnah sekolah
Lalu kita tafakur alam telah tua dan itu musibah
Doa-doa baru mulai dibacakan, Ya Allah, Ya Rasullullah
Allahu Akbar
Masjid dan surau kembali terisi pengungsi
Kita adalah
Adalah kita yang tak selaras lagi dengan semesta
Dan doa-doa yang luput di baca dalam eforia bahagia
Pesta-pesta di cafe dan alunan musik
Itukah rasa syukur ?
Lalu kita bicarakan musibah dan takdir yang kuasa
Bukankah segalanya berawal dari perbuatan
Tiap perbuatan dari niat dan nurani
Kembalilah bangunkan rasa dan nurani menjadi manusia
Dan semesta untuk manusia
Bandung, 2 Pebruari 2023
Ikuti tulisan menarik Rizal De Loesie lainnya di sini.