x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Jumat, 3 Februari 2023 18:20 WIB

Percakapan Imajiner (45)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lelah

 

Hey, Gin, sudah seberapa jauh perjalananmu? Berapa batas yang kau retas? Ceritakan padaku. Ceritakan seberapa penuh mimpi yang sudah kau genggam. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hey, Gin, betapa jauh kita berjalan, kadang aku merasa tak ke mana-mana. Tapi kadang aku merasa terlalu jauh meninggalkan realita. Sampai-sampai bingung bagaimana cara untuk pulang. 

So ist das leben. Inilah hidup. Lebih dari seperempat putaran berlalu, ada banyak yang terjadi. Kedatangan juga kepergian yang seringnya kurayakan diam-diam, pada malam ketika hujan sedang deras-derasnya. Menangis pun kadang harus kutahan sekuat tenaga. Aku takut kesedihan akan membangunkan mimpi yang sudah kuninabobokan dengan susah payah. Tapi tetap saja, Gin, beberapa mimpi harus kupatahkan sendiri. Perihnya bukan main. Sampai suatu-waktu aku berada di suatu tempat yang cukup luas, sepi, dari perjalanan jauh dengan perahu kertas. 

Membelah ragu pada putaran waktu. Setengah gelas terisi harap, setengah lagi kosong. Masih harus mengumpulkan tenaga untuk esok yang entah bagaimana. 

“Apa kabar, Dien?” sapanya lembut suatu pagi yang biasa. "Kau, baik-baik saja kan? Terlalu lama sapa kita dibungkam waktu ya, Dien." Aku tersenyum, kau tak berubah Erast, sapamu penuh kasih. Aku suka. Lalu perahu kertas melaju. Tak tergesa-gesa, di bawah terik, di sela-sela riuh angin jauh, yang mengabarkan debar samar di dada. Aku masih menjaring ingin pada gemuruh ombak, di antara sauh dan layarnya. 

Hey, Gin, begitulah kami. Janggal rasanya. Barangkali langit hanya sebatas laut dan pantai dalam penglihatan. Tapi tentang perasaan, cinta kadang tak adil ya. Terkadang ia lebih memilih menjatuhkannya pada seseorang yang tak pernah kita inginkan, bahkan tak pernah kita pikirkan. Sementara untuk ia yang menjadi penghuni ingatan, cinta hanya meninggalkan sayatan yang untuk mengeringkannya saja butuh waktu bertahun-tahun. Jadi kapan luka itu sembuh?

Apa harus menunggu keajaiban untuk cinta yang tak pura-pura? Tak kumengerti, Gin. 

Hey, Gin, aku lelah. Mengapa payah ini tak sudah-sudah. 

 

271116

 

 

 

***

 

 

 

Kita yang mungkin tak pernah ada

 

Bulan setengah lingkaran. Redup. Pendarnya tersangkut di dahan cemara, di tirai jendela. Dan aku terdampar pada sebuah beranda, entah milik siapa. Sepi ini mungkin telah menemukan ingatannya sendiri.

Sofa biru kusam, meja oval berdebu. Sebingkai lukisan besar di dinding yang mengelupas di sana sini, juga nyeri puisi yang tersayat kesedihannya sendiri. Kau bilang, "Kecemasan ini hanyalah keakuan yang ingin dimengerti, abaikan saja." 

Waktu itu kita masih baik-baik saja, atau setidaknya berpura-pura baik sampai segala menjadi benar-benar baik. Itulah mengapa kurasa benar, kita adalah sepasang luka yang belum bosan merawat nyeri. Kesedihan ini memang pernah membawa kita pada seruang lengang berdinding kusam yang dingin. Pada ranting-ranting cemara yang rapuh. Pada meja makan dengan hidangan sunyi dan berlembar-lembar puisi setengah jadi. 

Barangkali benar, kita tersesat dalam pikiran-pikiran kita sendiri. Dalam labirin yang rumit oleh buaian kisah lalu. Oleh lego yang terpasang tak sempurna. Tapi di jendela renta, engsel waktu berderit-derit menahan kacaunya musim. Di halaman hujan tak mau diam, riuh menampar daun, rumput, batu dan tanah yang beraroma payah. 

"Kita adalah akhir dan awal dalam garis tangan," katamu, "Entah menuju kemana, entah pada siapa, entah pada angka keberapa dalam kalender percakapan kita terhenti.

Kita akan saling menyimpan pejam dalam genggam kepergian. Lantas suatu hari sebelum usai merenggut, kita hanya akan mengingat bahwa kita menginginkan dongeng yang sama di atas segalanya. 

Kamu, masih bolehkah aku menyukaimu sekali lagi? 

 

131216

 

 

 

*** 

 

 

 

Kepada yang jauh 

 

Tentang apa-apa yang (tidak) ingin diabaikan kenang. Tiris gerimis. Rindu menemukan bayangannya memeluk dirinya sendiri. Lalu menulis puisi tentang bising omong kosong hari. 

Kuputar ingatan di mana terakhir kita bersua, sembari menyisipkan harap agar saat bersamamu itu bisa kuciptakan dengan seseorang yang bukan kau. Sebab senyummu nyala lilin di mana gelapku menyilaukanmu. Dan kecemasanku menjelma duri dalam tubuhmu. 

Kau, bisakah aku memesan waktu? Sejenak saja. 

 

 

 

*** 

 

 

 

Untuk seseorang yang (mungkin) menyukaiku. 

 

Sesekali duduklah bersamaku, menghabiskan malam dengan kopi atau secangkir cokelat panas atau lemon tea. Kita bisa membicarakan apa saja. Tentang pantai, tentang gunung yang katamu menakutkan, tentang senja yang menyimpan cerita, tentang naskah-naskah yang diburu kisahnya sendiri, atau tentang  pesan-pesan semesta kepada hujan yang seringnya membiaskan waktu, memekarkan rindu. 

Sesekali duduklah bersamaku, menghabiskan malam dengan sepiring rica-rica pedas atau semangkuk wedang ronde. Kau bisa melepaskan penat hari yang selalu membuatmu merasa berada di tempat asing. Tempat yang membuat kerut lelah menumpuk di wajahmu, yang seringnya menjadikan kau tak mengenali dirimu sendiri kan? 

Kurasa kau tak perlu risau jika tiba-tiba aku berbicara tentang sukaku. Tidak. Aku tak akan mengatakannya lagi. Sudah cukup kau tahu itu. Dan aku tak akan meminta lebih, sebab jika suka ini menyakiti, itu untukku. Kau cukuplah dengan segala bahagiamu.

 

 

*** 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB