x

Foto Kegaduhan

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Minggu, 5 Februari 2023 07:56 WIB

Kegaduhan yang Tak Pernah Bertepi

Aura hidup manusia memang ditandai dengan kebisingan. Manusia sudah terjajah oleh varian gelombang suara. Entah lembut, entah ceper menganga pekakan telinga. Entah dipahami atau pun tak dimengerti. Semuanya menjejali gendang telinga. Mengumpan reaksi rasa di hati. Sejuk kah? Atau sebaliknya bikin mendidih suasana di hati?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kegaduhan Yang Tak Pernah Bertepi
(satu permenungan)
 
“Baik dan benar adalah nilai yang selalu saja hendak diakali dan diuji oleh satu momentum sesaat dan terlebih oleh kepentingan”
(Anonim)


P. Kons Beo, SVD


Momentum sunyi yang mahal



Ternyata, musuh terbesar itu adalah sunyi. Mungkin tak mudah lagi untuk berdiam sejenak. Sekedar nikmati sedikit dari apa yang telah berlalu. Yang sudah digapai sebagai cita-cita. Sebab, segala ribut dan kegaduhan di babak berikutnya sudah pada antri. Manusia, sepertinya, sudah membenci sunyi. Ia, kini, telah terbiasa menghirup dan hembuskan kegaduhan.


Aura hidup manusia memang ditandai dengan kebisingan. Manusia sudah terjajah oleh varian gelombang suara. Entah lembut, entah ceper menganga pekakan telinga. Entah dipahami atau pun tak dimengerti. Semuanya menjejali gendang telinga. Mengumpan reaksi rasa di hati. Sejuk kah? Atau sebaliknya bikin mendidih suasana di hati?



Bising itu memang sungguh mencekik. Mulai dari rana paling sederhana. Itu seperti pertengkaran soal sepele antar tetangga. Hanya karena  ada salah kata sedikit saja. Ada lagi ribut-ribut dalam keluarga (besar) sendiri. Pun bisa berlanjut pada titik-titik kehidupan yang lebih luas.


Ketagihan kegaduhan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan




Sulit ditemukan isi penuh stadion yang hening total. Keramaian pasar hanya bisa disenyapkan dengan kesepakatan harga. Saat penjual dan pembeli sudah pada acc transaksi sebagai ujungnya. Sebelumnya, tawar-menawar harga sudah jadi kebisingan tersendiri.



Di jalur pengadilan? Kebisingan bisa jadi lebih menggelegar lagi. Ruang sidang itu tak ubah bagai muara endapan rasa. Namun, sesewaktu ia bisa meledak seketika. Sebab, di situ, imperium emosi lebih berkuasa. Bukan logika akal sehat.


Yang hadir di ruang pengadilan, pada akhirnya, adalah menebalnya rasa tidak adil dan dicurangi. Tidak kah ini adalah titik-titik permulaan kegaduhan? Dan nantinya bisa segera membesar? Sebabnya? Iya, itu tadi, emosi yang terbit yang menentukan, bukan isi yang dicerna.



Kegaduhan yang dirakit




Mari masuk pula pada area politik. Inilah gelanggang yang padat bising numero uno. Awali saja dengan kompetisi untuk tiba di tampuk kekuasaan. Atau katakan saja untuk bisa masuk pada satu lahan basah mana saja. Demi dapatkan sedikit remah-remah keuntungan politis.


Tidak ada yang salah dari pertarungan penuh bising di jalan demi dapatkan suara. Tetapi, mungkin kah ini akan luput dari kecipratan lumpur politik penuh gaduh? Rasanya sulit. Kita tak pernah senyap dari segala baku ambil yang bikin bising dan sesak di dada tak karuan.



Ukur saja aura sebuah ajang kampanye. “Kampanye politik,” kata seorang penulis, “adalah kata, adalah gambar, adalah kata-kata, dan selebihnya sinisme.” Dan, persis karena sinisme itulah kegaduhan jadi tak terhindarkan.


Para kandidat pemimpin lupa pada logika visi-misi-program. Sebab semuanya sekian keasyikan dalam berbinis untuk harus tenggelamkan kompetitornya.



Di awal dan pada tahun H politik nantinya, suasana alam tungku api yang membarakan pijaran kegaduhan dipastikan bergelora sengit. “Bagaimana menang dan berkuasa?” Itu adalah agenda tertutup internal. Dan bagaimana mencekal yang lain? Itulah yang mesti disiasati sejadi-jadinya. Trik nan piawai mesti dimainkan.


Demokrasi penuh gaduh



Pola kampanye bakal tetap seperti yang itu-itu. Sekretariat Umum pemenangan memang dipastikan di satu lokus tertentu. Namun, itu tidak berarti ia sungguh tunggal riak-riaknya. Sebab, pos-pos senyap pemenangan selalu ada di mana-mana. Tak peduli di tempat kerja, tempat umum, pun di ruang sana dan ruang sini. Yang sering diendap-endap untuk dirahasiakan. Dan, hebatnya lagi, selalu ada waktu barengan untuk bersiasat.


Kita gaduh oleh aksi saling serang dan baku terjang. Yang bukan kita wajib kita kuliti. Tidak kah ini sebenarnya adalah tindakan kasar nudisasi terhadap yang bukan kita itu? Iya,ekspresi dislike itu, sebenarnya, tak lari jauh dari nafsu untuk menelanjangi yang lain, yang, sekali lagi, bukan punya kita. Sudah terlalu jamak konten-konten publik, yang isinya hanya saling serang. Dan itu sungguh-sungguh bikin gaduh!



Ketidakramahan dan kekasaran sepertinya jadi salah satu syarat wajib untuk berkuasa. Harga mahal sebuah demokrasi lalu mesti dibayar mahal. Sebab, keretakan relasi sudah tak terhindarkan. Ada saatnya nanti, ketika sua kita sungguh-sungguh penuh tensi. Dan apa kah yang mesti dibayangkan selanjutnya? Kita bisa mudah pecah.


Demokrasi a-moral dan kontra nilai




Demokrasi itu adalah narasi politik, yang katanya, tak ada hubungan dengan moral dan nilai. Di alam politik tak boleh berpayah-payah untuk buang waktu untuk temukan kebaikan, keindahan dan kebenaran. Politik, sebagai perang, harus siap brutal. Seperti itulah.



Tak cukup di situ. Katanya lagi, “Segala tipu daya harus dipakai: tangis palsu, berita palsu, janji palsu. Jangan gentar jika akibatnya adalah kaburnya mana yang patut dan tak patut, benar atau tidak benar, adil atau tidak adil.”


Demokrasi sudah diawali dengan sekat-sekat sporadis-framentaris. Kita hendak berpesta-rakyat ceriah. Namun semuanya bisa tak bersenyawa di ruang jiwa. Jadinya, orang bisa memang berkelakar. Namun itu sekadar basa-basi. Bahkan, bukan tak mungkin bahwa sebuah jumpa ceriah dan spontan bakal terkubur. Tak jadi mesrah seperti dulu lagi. Sebab orang sudah pada pasang muka asam dan muka bebengkak.



Masih adakah harapan?




Kita memang tak boleh pesimistik untuk satu perhelatan akbar demi kehidupan bernegara dan berkebangsaan. Apa pun terjadi, langkah-langkah pesta demokrasi harus dilewati. Entah ditatap penuh nalar, atau sebaliknya hanya dikuasai dan diseret arus rasa (emosi), semuanya mesti ditapaki.


Bagaimana pun, segala pesta raya pemilihan adalah sebuah alam demokrasi yang terluka. Jarang sekali ada pemimpin yang terlahir lewati persalinan demokrasi normal. kebanyakan harus lewati satu operasi cesar sebagai risiko.



Mungkin ini yang disebut playing victim. Bikin diri, partai, kelompok, grup, sekian terluka dan berdarah-darah agar darinya dimunculkanlah mandat belaskasih untuk berkuasa.


Jika terus begini, dan nampaknya sulit untuk berhenti total, maka kegaduhan periodik sudah bisa dipastikan. Sebab itulah, sepantasnya kelendar hari kegaduhan mesti dipastikan. Agar kesunyian, ketenangan, serta damai bisa mencari jalannya sendiri.



Akhirnya




Sungguh! Kegaduhan ini tak pernah bertepi. Entah kapan dan di mana saja. Entah di rana sekular pun di ruang agamis sekalipun. Dan herannya? Itulah yang tetap diusung dan digemari. Dan sepertinya oleh orang-orang dan kelompok yang itu-itu saja. Entah sampai kapan? Tak ada yang bakal dapat menghitung…



Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro-Roma


 
" />
 
" />
" />

" />
" />

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler