x

Karikatur Tempo

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Minggu, 5 Februari 2023 19:04 WIB

Anonim (8)

Anonim (8) Niskala alegoris. Puisi sederhana, cinta bumi negeri agraris, menulis kejujuran cerita perasaan, menyublim. Hadir, dari kebaikan hati. Salam kasih sayang saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

1/

Keberadaan menjadi pertanyaan. Keramaian, obral saus asam pedas entar aja deh, tak guna kalau tak mencapai manfaat kemaslahatan penonton.

Buat apa ya, kalau sekadar bertukar polusi obral suara ganjil. Masih seputar label podium tentang warna primer. Langit di penuhi awan imitasi soneta fales. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Detik waktu berjalan mundur bak serangga undur-undur tak menggubah cuaca apapun. Tawar menawar singkong bakar, barter ubi jalar, siklus dari itu, ke ini, ke itu, lagi ... 

Puisi atau prosa tak mampu menyuburkan pertumbuhan benih pohon pepaya sekalipun. Kesehatan komunikasi batuk rejan di intip netra raksasa. Deforestasi patah tumbuh hilang berganti.

Siluman, bersiap menerkam dari balik komposisi mega mendung berarak-arakan. Menyirnakan, adaptif, nilai informasi tak mampu menjelma tera, lentera semafor, masuk mangkuk topik utama, bagai kisah, Death of a Salesman-Arthur Miller.

Ada apa sih, sesungguhnya di antara gugusan jernih awan musim penghujan. Apakah langit mencurigai petir, ataukah petir tak mampu melindungi langit.

**

2/

Penyair berjuang bersama matahari agar partitur kepujanggaan tak hanya memainkan harpa di atas gugusan gunungan emas para dewa. Ketika kesatria wayang purwa cuti mati suri di balik bantal guling. 

Pencuri kemaslahatan kenyang mondar-mandir cengar-cengir, menginjak-injak tata krama berbudi luhur tradisi turun temurun.

Lantas, masih perlukah diskonto komunikasi, jika putih tak sebening mutiara dari lautan teduh negeri para sufi. 

Doa, hakikat senantiasa disampaikan kebaikan, keterbukaan, kebenaran lintang kemukus lintas semesta. Membawa kabar cuaca tak jua berubah demi hujan penyubur bumi di pijak langit di junjung.

**

3/

Berbayar atau tidak, tak penting benar. Jika sebab itu cinta digerus massal siluman tak berbudi. Lempar batu sembunyi tangan sulapan siang bolong di depan netra langit. 

Ketakutan apa tengah menghantui para raksasa. Apakah karena ia hipokrisi udang di balik karang, ataukah lipan penyebar kepinding. Menghisap cinta, menggigit kasih sayang. 

Sedih loh cinta, jika tak berbalas kasih sayang. Kalaupun sekadar puisi tentang bulan sepotong di musim serigala, ataupun pelangi di antara gerimis lalu sirna. 

Tercukupkan, kenangan saling memahami. Tak usahlah kata bergurindam. Cukupkan saja kemaslahatan komunikasi. Cinta, mengerling persahabatan antar informasi. 

**

4/

Apakah benar, 
kau datang mengetuk pintu surga. 

Kalamkan cinta.
Makrifatkan kasih sayang. 
Khusyukkan kebaikan. 
Tasbihkan kebenaran.

Cahaya-Nya,
senantiasa hadir 
di jantungmu
di negerimu.

***

Jakarta Indonesiana, 5 Februari, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler