x

perkembangan teknologi

Iklan

Suryagama Harinthabima

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Juli 2022

Rabu, 8 Februari 2023 15:08 WIB

Mengapa (Sebagian) Startup Bertumbangan

Mendirikan startup yang produknya digital sudah sangat mudah berkat teknologi. Pengembangan aplikasi, kebutuhan peranti lunak dan infrastruktur TI bisa dipenuhi di cloud melalui Amazon Web Service atau sejenisnya. Hambatan mereka untuk tumbuh dan berekspansi jadi jauh berkurang. Para pendiri pun bisa lebih fokus pada gagasan bisnisnya. Tapi kadang skenario bisnis mereka itu disusun dengan asumsi dan riset yang terlalu disederhanakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belum lama ini ada berita tentang mantan direktur utama BUMN tambang yang dihukum penjara 6 tahun karena kasus korupsi. Kasus ini terkait peralihan izin usaha pertambangan di Sarolangun, Jambi, yang melibatkan anak perusahaan BUMN itu dengan perusahaan kontraktor. Ia menyetujui penambahan modal sebesar hampir 122 milyar untuk peralihan tersebut dengan tanpa melakukan kajian internal atau due dilligence yang menyeluruh. Pada prosesnya, peralihan ini melibatkan persetujuan oleh Bupati Sarolangun melalui SK yang, setelah ditelusuri, ternyata diduga fiktif.

Di kasus lainnya, pendiri startup Theranos, Elizabeth Holmes belum lama ini divonis penjara 11 tahun oleh pengadilan di Amerika Serikat atas penipuan terhadap para investor. Berdiri pada 2003, startup ini mendapatkan publisitas luar biasa. Produk mereka yakni mesin Edison katanya bisa menguji berbagai penyakit dengan hanya menggunakan sedikit sampel darah saja. Holmes juga mengemas penampilannya semeyakinkan mungkin: berbusana sweter berkerah tinggi hitam seperti Steve Jobs, dan mengubah suaranya menjadi bariton supaya terdengar lebih berwibawa. Ia pun seorang yang putus kuliah, mengikuti jejak Steve Jobs, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg.

Dengan misi mulia, penampilan meyakinkan serta publisitas luar biasa, Holmes mendapatkan setoran modal dan dukungan bahkan dari keluarga petinggi dan pejabat publik di sana. Tapi antusiasme publik dan investor akhirnya lenyap karena ternyata, mesin Edison adalah mesin tes darah abal-abal.

Ada satu faktor yang sama seperti kasus BUMN tadi yang menjawab mengapa investor startup kerap ‘tertipu’: proses due dilligence yang tidak menyeluruh. Due dilligence adalah kajian yang dilakukan calon investor untuk memeriksa dan menganalisis dokumen dan semua yang berkaitan dengan prospek masa depan serta risiko startup (atau entitas lain) yang mau ia berikan modalnya, dengan hati-hati.

Kadang, calon investor terlalu sibuk untuk melakukan due dilligence. Bila sudah ada beberapa investor lain yang lebih dulu berinvestasi pada sebuah startup, ia bisa berasumsi bahwa mereka sudah melakukan due dilligence dengan cermat. Lalu karena tidak mau ketinggalan, ikutlah ia berinvestasi. Singkat kata, ia merasa FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan. Siapa tahu Theranos tadi kelak akan menjadi sebesar Facebook, misalnya.

Untungnya, berbeda dengan BUMN, tidak ada uang negara yang terlibat di investasi startup (pada umumnya). Jadi, bila ternyata startup yang ia tanamkan modalnya itu gagal atau bermasalah, tidak ada konsekuensi hukum yang ia tanggung. Tidak dipenjara, tapi rugi modal.

Mendirikan startup yang produknya digital (atau produk dan jasa berwujud fisik yang harus diakses melalui aplikasi) memang sudah sangat mudah berkat teknologi. Pengembangan aplikasi, kebutuhan peranti lunak dan infrastruktur TI bisa dipenuhi di cloud melalui Amazon Web Service atau sejenisnya. Hambatan mereka untuk tumbuh dan berekspansi jadi jauh berkurang.

Berkurangnya hambatan ini mempermudah para pendiri untuk lebih fokus pada gagasan bisnisnya. Tapi kadang, skenario bisnis yang ditunjukkan oleh pendiri kepada calon investor itu disusun dengan asumsi dan hasil survei atau riset yang terlalu disederhanakan. Misalnya, startup yang menghasilkan produk berupa aplikasi jual-beli khusus untuk produk pertanian. Katakanlah potensi pangsa pasarnya besar karena jumlah pengguna internet dan gawai di Indonesia sudah banyak. Tapi, apa iya para petani dan konsumen di daerah pada mau repot-repot instal aplikasi itu di gawai mereka?belum lagi kalau gawainya sudah lambat, paketan internetnya cepat habis, dan sebagainya.

Kalau skenario atau gagasan semacam ini tetap dipaksakan dan diberi modal, nanti pendiri akan tetap dituntut untuk tumbuh dan menambah jumlah pelanggan dengan agresif. Lalu, ia buka cabang di lokasi-lokasi lain dan merekrut banyak pekerja. Kemudian, ternyata realita di lapangan jauh berbeda dari skenario yang ia susun. Karena target tidak terpenuhi, akhirnya terpaksa tutup, atau minimal pengurangan pegawai.

 

Ini masih lebih baik kalau para pendiri itu berlapang dada menerima kegagalannya. Di luar negeri sudah ada contoh-contoh startup yang menghalalkan segala cara demi tumbuh dan berekspansi. Satu contoh yang spektakuler adalah Uber. Dari “The Uber Files” yang dilaporkan oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) pada 2022 lalu, terungkap bahwa para petinggi perusahaan ini kongkalikong dengan pejabat tinggi di berbagai negara, memanfaatkan publisitas dari kekerasan terhadap para pengemudinya, menerapkan prosedur ‘kill switch’ untuk menghindari penyelidikan pihak berwajib, dan sebagainya.

 

Di sisi yang lain, akan lebih buruk lagi kalau ternyata due dilligence yang menyeluruh tadi sudah bukan lagi praktik standar yang dilakukan oleh kalangan investor. Saking banyaknya uang yang ada, dan saking mereka berlomba berinvestasi — khususnya di tahap awal, supaya mereka bisa jual ke investor tahap berikutnya dan memperoleh laba, akhirnya yang ada ya benar-benar spekulasi. Apalagi mereka umumnya berinvestasi ke lebih dari satu startup. Mereka berharap bahwa paling tidak ada satu saja yang sukses, karena nilai keuntungannya bisa jauh melebihi total kerugian dari investasi di startup-startup sisanya.

 

Contohnya seperti yang ditulis Peter Thiel (salah satu pendiri PayPal) dalam bukunya, Zero to One pada 2014. VC (venture capitalist) Andreessen Horowitz menanamkan modalnya ke Instagram di 2010 sebesar 250.000 dolar AS. Dua tahun kemudian, Facebook mengakuisisi (membeli) Instagram senilai 1 milyar dolar AS. Dari nilai segitu, porsi laba yang diterima Andreessen adalah sebesar 78 juta dolar, atau 312 kali lebih besar dari nilai modal awal mereka — dalam dua tahun. Luar biasa.

 

Lebih jauh lagi, situasi FOMO di investor bisa dimanfaatkan oleh para founder yang memang niatnya nggak bener. Ia cukup membuat gagasan yang biasa-biasa saja dan tidak terlalu inovatif (tapi terdengar meyakinkan), dapat modal, tumbuh, lalu jual saham kepemilikannya sebelum startupnya itu terbukti menguntungkan secara operasional.

 

Dari sini, mungkin tidak semua gagasan bisnis itu perlu atau patut direalisasikan dengan menempuh rute startup. Rute startup di sini maksudnya dengan pitch di depan investor (baik individu maupun institusi), lalu dituntut untuk tumbuh secara agresif, dan seterusnya. Bahkan mungkin sebagian justru lebih tepat melalui rute seperti UMKM atau wirausaha konvensional, apalagi yang produknya fisik. Meskipun tidak terdengar seksi dan tumbuhnya tidak akan eksponensial, tapi kemungkinan bertahan hidup jangka panjangnya lebih tinggi.

 

Ini kalau pendiri memang serius ingin mengembangkan bisnisnya jangka panjang. Kalau baik pendiri dan investor sama-sama cuma mau laba besar dalam waktu singkat ya, ya sudah. Wajar kalau pada dasarnya, mayoritas startup memang ditakdirkan untuk gagal.

Ikuti tulisan menarik Suryagama Harinthabima lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler