x

Hasil literasi siswa dipajang di papan pajang dan menjadi mading sekolah.

Iklan

Slamet Samsoerizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Maret 2022

Jumat, 10 Februari 2023 15:52 WIB

Pers Sekolah Seharusnya Menyumbang Gairah Berliterasi,  Sayangnya Kurang Greget

Pers sekolah seharusnya mampu menyumbang gairah berliterasi peserta didik. Sayangnya dikemas tanpa greget. Apa pasal?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pers sekolah seharusnya mampu menyumbang gairah berliterasi peserta didik. Sayangnya kurang greget. Apa pasal?

Pers sekolah yang merupakan ekstrakurikuler atau ekskul yang dulu bernama mading (majalah dinding) dan kini berubah menjadi jurnalistik itu, selain kurang diminati peserta didik juga kurangnya pembinaan yang memadai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penampakan yang bisa ditemukan, geliat jurnalistik itu hanya sebatas tulisan berupa cerpen, puisi, sejumlah artikel yang kualitasnya dipertanyakan karena lebih banyak kopi paste artikel milik penulis lain, daripada karya orisinal dan terpampang pada majalah dinding seukuran 150 x 200 cm.

Selebihnya mading yang ada di sekolah,  hanya berisi sejumlah brosur iklan dan sedikit ilustrasi berupa komik.

Penyebab kurang gregetnya peserta didik menekuni jurnalistik di sekolah, dapat digolongkan menjadi dua.

Pertama, budaya membaca di kalangan peserta didik kita yang masih belum sesuai harapan. Laporan dari Alibaca atau Aktivitas Literasi Membaca di 34 Provinsi (2019) menyimpulkan Indeks Alibaca nasional masuk dalam kategori aktivitas literasi rendah.

Masih dalam laporan tersebut dinyatakan, pada indeks provinsi sebanyak 9 provinsi masuk dalam kategori sedang, 24 provinsi masuk dalam kategori rendah, dan 1 provinsi masuk dalam kategori sangat rendah. Artinya, baik secara nasional maupun provinsi tidak ada yang masuk kategori tinggi.

Modal utama seorang jurnalis yang berkecimpung di pers sekolah adalah membaca, meskipun aktivitas yang dihasilkannya adalah tulis-menulis.

Tanpa bekal membaca yang baik, mustahil sebuah tulisan dalam teks apa pun: fiksi dan non-fiksi akan dihasilkan oleh peserta didik yang giat di ekskul jurnalistik tersebut.

Kedua,  banyak sekolah yang melimpahkan pembinaan ekskul jurnalistik ini kepada guru –biasanya guru Bahasa Indonesia.

 

Jurnalistik yang diniatkan akan menghasilkan sebuah rekaman tertulis dari para pesertanya, seharusnya tidak dilimpahkan hanya kepada guru.

 

Pengemasan jurnalistik sesederhana apa pun di sekolah, perlu adanya pelibatan pakar pers seperti wartawan.

 

Dengan pelibatan ahlinya, peserta ekskul secara otomatis akan tertantang dan utamanya jadi paham bagaimana dia bertindak dan bersikap sebagai jurnalis.

 

Agenda rutin seperti saat kepala sekolah menyampaikan pidato pada upacara bendera yang dilaksanakan setiap Senin dan hari besar nasional, dapat diliput wartawan sekolah yang dilakukan oleh wartawan teks (berita) dan wartawan foto.

 

Sajiannya ketika menjadi sebuah liputan upacara bendera, akan sangat berarti bagi wartawan sekolah yang memang sudah dipahamkan dengan kaidah kejurnalistikan sekaligus pembaca yang menikmati tulisannya.

 

Penampakan pers sekolah yang diawaki oleh wartawan- wartawan yang berasal dari peserta didik tentu akan lebih berwarna, karena mereka jadi paham bahwa mading sekolah dapat dikemas sebagaimana media yang seharusnya.

 

Awak media pers sekolah  yang piawai dalam mengemas mading sekolah, bisa dipastikan menyumbang giat literasi media yang ada di sekolah lebih greget. ***

 

  

 

 



 

 

Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu