x

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Selasa, 14 Februari 2023 06:16 WIB

Raubritter Tambang: Era Baru para Robber Baron

Raubritter atau robber baron (bangsawan perampok) adalah para pemilik tanah yang tidak bermoral tetapi dilindungi oleh status hukum wilayahnya. Raubritter terlahir dari tiga kondisi: kemiskinan, keserakahan dan tambang. Tambang mewujudkan adanya keserakahan yang memiskinkan. Jangan sampai cerita Indonesia berakhir muram dengan kekayaan negara habis dirampok para robber baron seperti mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Raubritter terlahir dari tiga kondisi: kemiskinan, keserakahan dan tambang. Kemiskinan melihat kekayaan sebagai minuman yang menghilangkan dahaga, keserakahan melihat emas dan berlian sebagai makanan yang menggiurkan. Dan tambang mewujudkan adanya keserakahan yang memiskinkan.

Eppelein von Gailingen, lahir tahun 1315 di Illesheim, Middle Franconia –sekarang Nuremberg, Bayern, Jerman terkenal sebagai raubritter pertama. Raubritter atau robber baron (bangsawan perampok) adalah para pemilik tanah pada abad pertengahan yang tidak bermoral tetapi dilindungi oleh status hukum wilayahnya, memungut upeti yang tinggi di luar kebiasaan tanpa izin dari otoritas yang lebih tinggi. Pada tahun 1360-an Eppelein memungut biaya tol yang tidak sah untuk setiap kapal kargo yang melintasi Sungai Rhein tanpa persetujuan dari Kekaisaran Romawi Suci. Seringkali dia juga merampok, menyita kapal, serta melakukan penculikan untuk mendapatkan uang tebusan.

Tahun 1369 aksinya terbongkar dan dia ditangkap oleh Persekutuan Rhein Pertama –organisasi yang didirikan untuk mengembalikan kedamaian di sepanjang Sungai Rhein. Raubritter itu diadili oleh pengadilan Nuremberg dan dijatuhi hukuman gantung.

Menurut legenda, ketika hari eksekusi tiba, keinginan terakhir sang baron adalah duduk di atas kudanya untuk terakhir kali. Karena eksekusi dilakukan di dalam kastil Nuremberg, keinginan itu terkabul. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan melarikan diri dengan memacu kudanya sekencang mungkin ke arah benteng kastil dan membuat kudanya melompat. Dalam pelariannya dari Nuremberg, dia bertemu dengan seorang petani yang ingin menyaksikan jalannya eksekusi dan bertanya apakah masih ada waktu sebelum eksekusi dilaksanakan. Konon Eppelein menjawab, "Orang Nuremberg tidak akan menggantung siapa pun - jika mereka tidak memiliki siapa pun!".

"Die Nürnberger hängen keinen – sie hätten ihn denn zuvor!"

- Eppelein von Gailingen

 Konon dia akhirnya tertangkap pada tahun 1381 saat sedang mabuk-mabukan dalam suatu pesta dan akhirnya dijatuhi hukuman mati. Kali ini eksekusinya dengan roda hukuman, sebuah alat di Abad Pertengahan untuk melaksanakan hukuman mati dengan cara meremukkan tulang.

Di abad ke-19 istilah raubritter dipakai untuk menyebut seorang pengusaha yang terlibat dalam praktik tidak etis dan monopolistik, memanfaatkan pengaruh politik yang korup, melewati segala regulasi bisnis, dan menghasilkan kekayaan yang sangat besar. Sebenarnya tidak ada bedanya antara raubritter zaman dahulu dan sekarang. Dua-duanya menguasai tanah. Dahulu tanah pemukiman, sekarang lahan tambang.

Kekayaan alam sejatinya adalah anugerah yang harus di syukuri, bukan untuk ditambang habis-habisan. Eksploitasi secara sembrono semacam itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali musibah. Namun, para raubritter ini tidak takut terhadap musibah, karena kerusakan lingkungan di Sulawesi Tenggara dan deforestasi hutan tropis di Kalimantan Tengah tidak berpengaruh apa-apa terhadap dinginnya AC rumah mewahnya di Jakarta. Atau Singapura.

Puluhan tambang ilegal di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara contohnya. Dengan santai mereka melanjutkan proses penambangan nikel walaupun tanpa penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Rata-rata nikel hasil tambang tersebut dikirim ke smelter dengan dokumen asli tetapi palsu milik perusahaan asal Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Tidak heran, smelter yang ada di Sulawesi ini memang dimiliki oleh kongsi grup besar pengusaha Tiongkok –sebuah negara yang tidak mempermasalahkan legalitas dan asal-usul suatu komoditas.

Dengan menempatkan para pejabat daerah maupun pusat sebagai komisaris, tentu aksi para raubritter ini tidak mendapatkan hambatan yang berarti. Ditambah lagi perusahaan tambang ini sebagian besar memang dimiliki oleh politikus dan keluarga pejabat serta mendapatkan perlindungan dari para jenderal polisi. Usaha mereka sangat lancar, selancar arus Sungai Rhein ketika biaya tol sudah dibayarkan ke baron Eppelein von Gailingen.

Jika sudah seperti itu, masyarakat ada dalam selemah-lemahnya kondisi. Kekuatan monopoli meningkat seiring dengan risiko terjadinya eksploitasi pekerja. Seperti yang terjadi pada perusahaan tambang bauksit di Kepulauan Solomon, Oseania yang meninggalkan begitu saja para pekerja asal Kepulauan Riau setelah aktivitas tambang dihentikan paksa oleh aparat karena tertangkap basah melakukan pemalsuan dokumen ekspor. Untuk kembali ke Indonesia, para pekerja tambang ini sampai harus di jemput oleh Palang Merah Indonesia.

Serangkaian protes digelar namun dibubarkan oleh pihak yang berwenang, puluhan laporan tidak kunjung ditindaklanjuti, dan unjuk rasa selalu dihadapkan dengan senjata. Kondisi ekonomi daerah sekitar juga makin memprihatinkan karena pengolahan limbah yang tidak memenuhi standar. Di beberapa kasus, limbah tersebut malah dialirkan begitu saja ke laut.

Saat ini belum ada organisasi yang tegas, setia, dan terhormat seperti Persekutuan Rhein Pertama yang membawa roda hukuman bagi para raubritter. Jangan sampai cerita Indonesia berakhir muram dengan kekayaan negara habis dirampok oleh para robber baron seperti mereka, –orang kaya mengeruk sumber daya alam sedangkan hukum diam tak bersuara karena mulut aparatnya tak berdaya dibungkam suap.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler