x

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

Bambang Udoyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2022

Minggu, 19 Februari 2023 12:48 WIB

Dunia Kembali Terbelah dalam Dua Kutub, Apa Resikonya Buat Indonesia?

Dulu dunia terbelah dalam dua kutub politik yaitu blok Barat dan Blok Timur. Sejak awal dekade 90an dunia menjadi satu kutub saja. Tapi sekarang dunia kembali terbalah dalam dua kubu politik internasional. Ada kubu Barat dan kubu Cina. Bagaimana resikonya buat Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Bambang Udoyono

Dulu seusai perang PD II dunia terbagi dalam dua kutub ideologis. Amerika Serikat memimpin blok Barat bersama Eropa Barat. Jepang, Australia, New Zealand, dan banyak negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika ikut dalam barisan negara kapitalis ini.  Amerika Serikat bersama Eropa Barat membentuk pakta militer NATO untuk mempertahankan Eropa Barat.  Lawannya adalah kubu negara negara komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet.  Eropa Timur, Kuba, Korut ada dalam kubu ini.  Blok Timur ini lantas membentuk pakta militer bernama Pakta Warsawa. Itulah sebuah episode sejarah yang disebut era perang dingin.

Di awal dasawarsa 90’an Uni Soviet mengalami disintegrasi alias bubar menjadi sebelas negara.  Rusia kemudian menjadi pewaris Uni Soviet. Ukraina, Latvia, Kazahstan,  Uzbekistan, dll kemudian menjadi negara merdeka lepas dari dominasi Rusia.  Sejak itu runtuh juga kekuasaan partai komunis di banyak negara. Pakta Warsawa juga kemudian tamat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah itu Amerika Serikat menjadi satu satunya negri adidaya. Maka situasi dunia sering disebut unipolar alias hanya ada satu saja kutub politik.    

Meskipun demikian sejak dasawarsa 90’an itu negri Asia tumbuh sangat pesat.  Ekonomi dan militer Cina sekarang menjadi adi daya baru.  Cina bahkan mengklaim wilayah laut Natuna Utara sebagai wilayahnya. Cina juga berambisi menguasai lautan Hindia dengan proyek OBOR (One Belt One Road).

Tentu saja ambisi ini berbenturan dengan kepentingan global Amerika Serikat, Jepang, Eropa barat dan banyak negara Asia Timur, Asia Selatan dan Tenggara.  Maka sekali lagi dunia terbelah dalam dua kutub politik. Meskipun demikian faktor ideologi sudah tidak memegang peran penting lagi.  Konflik ini berbasis kepentingan nasional, bukan lagi konflik ideologis.

Amerika Serikat masih tetap didukung Eropa Barat, Jepang, Korsel, beberapa negara Timur Tengah, Australia, New Zealand dll.  Di sisi lain Cina didukung oleh Rusia, Iran, Korea Utara, dan mungkin Pakistan.

Kedua kubu ini sudah rutin saling gertak di Kawasan laut Cina Selatan. Amerika Serikat dan Cina sudah beberapa kali pamer kekuatan di sana dengan armada kapal induknya.  Akibatnya suhu politik internasional di Kawasan ini semakin panas.  Sampai awal tahun 2023 ini kedua pihak masih bisa menahan diri agar jangan sampai pecah bentrokan bersenjata. Tapi pembangunan militer terus menerus dilakukan. Cina sudah memiliki tiga kapal induk yang sudah siap tempur di Kawasan ini. Sedangkan Amerika Serikat menyiagakan armada ke tujuh. Jepang dan Korea Selatan juga terus menerus memperkuat militernya. Kini mereka sudah memiliki pesawat tempur siluman  F 35 dan sebantar lagi Korea memiliki pesawat tempur siluman buatan sendiri Boramae.

Di atas kertas kekuatan ekonomi dan militer blok Amerika masih jauh lebih kuat.  Tapi kalau sampai pecah perang di laut Natuna Utara akibatnya akan sangat katastrofik untuk Asia Tenggara dan Asia Timur.

Indonesia yang sangat tergantung komoditi impor pasti akan sangat menderita karena jalur laut pasti akan putus.  Tidak akan ada kapal dagang yag berani lewat kawasan konflik.  Makanan rakyat seperti tahu dan tempe akan langka karena delenya impor.  Beras juga akan langka karena masih banyak impor. Gandum juga impor. Demikian juga bbm. Maka harganya pasti akan naik dan barangnya langka.  Ekonomi akan kacau. Pendidikan juga akan mundur jauh.   Apalagi kalau Indonesia juga jadi sasaran serangan militer.  

Jalur laut Natuna Utara dan lautan Hindia adalah sangat penting untuk ekspor impor negara Asia Timur dan Asia Tenggara, juga untuk Eropa Barat, Australia, Asia Selatan dan bahkan Amerika Serikat.  Maka kalau pecah perang di kawasan ini dampaknya akan terasa di seluruh dunia.  Inilah PD III.

Perang Rusia vs Ukraina akan memecah konsentrasi Rusia.  Dia tidak akan berani membuka front di Eropa sekaligus di Asia.  Apalagi lawannya di Asia adalah gabungan negara terkuat di dunia.  Artinya Cina tidak bisa mengandalkan bantuan militer Rusia.  Hanya dukungan politis saja yang bisa diharapkan dari Rusia.  Barangkali ini memang lihainya para pemikir blok Barat untuk mengurangi kekuatan Cina di kawasan ini. Banyak pihak meyakini Ukraina diprovokasi agar masuk NATO sehingga menimbulkan reaksi keras Rusia.   

Tanpa dukungan militer Rusia maka mustahil Cina akan memenangi perang di laut Natuna Utara.  Gabungan pasukan Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, Korea Selatan, Australia, New Zealand dan beberapa negara Asia Tenggara masih jauh lebih kuat.  Lagipula perang itu akan menutup jalur laut sehingga menghancurkan  ekonomi Cina sendiri. 

Siapapun pemenangnya perang di Laut Cina Selatan itu akan berdampak sangat buruk buat Indonesia.   Ekonomi Indonesia dan Asia Tenggara sudah pasti akan terpuruk.  Jadi harapan kita tentu perang tersebut tidak pecah.

Semoga saja para pemimpin dunia mampu meredakan ketegangan dan menemukan jalan damai agar semua pihak kalis dari dampak beratnya.

Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler