x

cover buku Kaya Pakai Otot Miskin Pakai Otak

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 19 Februari 2023 12:52 WIB

Go Ban Hong - Seorang Ahli Tanah yang Kritis dan Disingkirkan

Go Ban Hong adalah seorang Tionghoa ahli tanah. Karena ia mengkritisi Program Swasembada Padi yang menjadi unggulan Pemerintah, ia disingkirkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Kaya Kerja Otot, Miskin Kerja Otak – Kisah Hidup dan Warisan Pengetahuan Prof. Dr. Ir. Go Ban Hong, Ilmuwan Tanah Indonesia

Penulis: Zulkifli Fuad

Tahun Terbit: 2011

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: xxvi + 224

ISBN: 678-602-03-0543-1

 

 

Prof. Dr. Ir. Go Ban Hong adalah seorang ahli tanah yang telah memberi peringatan kepada Pemerintah supaya lebih memperhatikan kelelahan tanah yang diakibatkan oleh intensifikasi. Nasihatnya ini tentu tak digubris karena saat itu Pemerintah sedang getol-getolnya mengeksploitasi tanah demi swasembada pangan. Alih-alih nasihatnya dipertimbangkan, nasibnya malah dipingpong sedemikian rupa.

Go Ban Honglah yang memelopori istilah “kelelahan tanah” untuk menunjukkan tanah yang kehilangan kesuburannya karena terlalu dieksploitasi. Istilah ini kemudian menjadi istilah yang popular digunakan di kalangan ahli tanah, setidaknya di Indonesia.

Pengagum Bung Karno ini semakin semangat untuk mengabdikan diri di bidang pertanian saat menyaksikan Sukarno memberikan pidato dalam rangka pembangunan Kampus Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada tanggal 27 April 1952. Saat itu Go Ban Hong masih menempuh pendiikan di Fakultas Pertanian UI. Ia ingat betul dengan apa yang disampaikan oleh Sukarno. Sukarno menyampaikan amanat bahwa menyediakan pangan bagi rakyat adalah sesuatu yang amat penting. Pidato tersebutlah yang membakar semangat Go Ban Hong untuk menekuni dunia pertanian. Ia memutuskan untuk mendalami ilmu tanah.

Lima tahun setelah peristiwa bertemu Sukarno, Go Ban Hong berhasil mendapat gelar doktor dalam ilmu tanah. Ia kemudian menjadi pengajar Ilmu Tanah di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi Institut Pertanian Bogor atau yang lebih dikenal dengan nama IPB.

Selain sebagai pengajar, Go Ban Hong sangat aktif melakukan penelitian tanah. Aktifitas penelitian ini membawanya menjadi Direktur Lembaga Penelitian Tanah dan Pemupukan. Dialah yang berhasil membuat peta tanah di Pulau Jawa dengan skala 1:250.000. Peta ini adalah peta yang cukup rinci pada jamannya.

Temuannya tentang tanah yang kelelahan karena dipaksa untuk terus-menerus ditanami padi dengan cara intensif membuatnya resah. Penanaman padi yang terus-menerus dengan menggunakan pupuk kimia yang berlebihan akan berakibat pada kesuburan tanah yang menurun dengan cepat.

Ia dengan lantang memeringatkan akan akibat buruk di masa depan. Ahli tanah yang lahir di Gorontalo ini tidak hanya memeringati Pemerintah supaya peduli dengan kondisi tanah yang kelelahan. Ia juga menawarkan solusi, yaitu memberi kompos pada tanah-tanah tersebut, memberi istirahat kepada tanah tersebut dan mengurangi penggunaan irigasi untuk memproduksi padi. Ia paham bahwa saat itu Pemerintah Orde Baru sedang giat-giatnya melakukan program intensifikasi padi. Maka, selain memberi saran untuk menghemat kesuburan tanah, ia juga menawarkan diversifikasi pangan. Sebab jenis tanaman pangan di Indonesia tidak hanya padi.

Namun apa yang disampaikan dalam berbagai kesempatan supaya Pemerintah lebih memperhatikan kesuburan tanah malah berakibat ia tersingkir. Go Ban Hong termasuk orang yang menentang program lahan sejuta hektar untuk menanam padi di lahan gambut. Alih-alih diperhatikan, ia malah sempat “dibuang” ke luar negeri dan dijadikan tenaga ahli di Departemen Pertanian.

 

 

Di buku ini, suami Tji Siok Lan menyampaikan pengalamannya didiskriminasi karena ia adalah seorang Tionghoa. Ia diangkat menjadi Direktur Lembaga Penelitian Tanah pada tahun 1962. Namun SK dan fasilitas tidak segera didapatkannya. Baru pada tahun 1963 SK tersebut turun. Keterlambatan penerbitan SK ini adalah karena masalah kewarganegaraan. Kewarganegaraannya diragukan karena ia adalah seorang Tionghoa.

Diskriminasi tidak hanya dialami oleh dirinya. Saat anaknya kuliah pun mengalami perlakuan diskriminatif. Putri ketiganya, Yemima Mariana mengalami kesulitan saat mendaftar di Fakultas Seni Rupa ITB. Formulir C yang merupakan surat pernyataan sebagai warga negara Indonesia miliknya tidak diakui karena ia menolak untuk berganti nama.

Sebagai seorang ilmuwan yang tekun, Go Ban Hong pernah menjabat di dua lembaga penelitian di bawah naungan Departemen pertanian. Ia menjabat Direktur Lembaga Penelitian Tanah dan Pemupukan dari tahun 1962-1966 dan kemudian menjadi Direktur Pusat Penelitian Pertanian dari tahun 1966-1971. Karena ia sangat kritis terhadap kebijakan swasembada padi, maka ia kemudian “dibuang” ke luar negeri. Ia dikirim ke International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos Filipina. Dia heran karena sebagai seorang ahli tanah, ia malah diminta mendalami agronomi di IRRI.

Sepulang dari bertugas di IRRI, Go Ban Hong terkejut karena posisinya sebagai Direktur Pusat Penelitian telah diisi oleh orang lain. Ia mendapat tugas baru sebagai Staf Ahli di Departemen Pertanian dengan tugas yang tidak jelas. Ia menduga bahwa penugasannya ke luar negeri adalah sebagai upaya untuk menyingkirkannya dari lembaga penelitian. Karena merasa tidak mendapatkan tugas yang jelas, ia minta supaya dikembalikan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ia minta supaya bisa kembali ke IPB. Go Ban Hong pensiun sebagai Guru Besar di IPB. Setahun menjelang pensiun sebagai Guru Besar di IPM, ia membantu Universitas Sintuwu Maroso di Poso. Ia senang membantu Universitas ini karena Go Ban Hong merasa sebagai bagian dari warga Poso. Sebab Poso adalah rumah keduanya setelah Gorontalo.

Harus diakui bahwa diskriminasi yang dilakukan oleh Negara berakibat banyaknya orang Tionghoa yang harus berpikir sepuluh kali untuk bekerja di luar sektor perdagangan. Sebab selain sektor lain memang lebih rumit untuk dijalani, statusnya sebagai orang Tionghoa sering digunakan untuk menghambat karirnya. Lebih lagi kalau berani kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang sedang dijalankan oleh Pemerintah.

Pengalaman Go Ban Hong yang dituangkan dalam buku ini adalah bukti bahwa seorang Tionghoa sangat mencintai Indonesia. Go Ban Hong memilih untuk menjadi ilmuwan dan bukan pedagang. Padahal Go Ban Hong berasal dari keluarga pedagang di Gorontalo. Sebagai ilmuwan, Go Ban Hong yanga adalah seorang Tionghoa bisa sangat kritis menyuarakan kebenaran, meski akibatnya kurang baik bagi karirnya. 734

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB