x

Iklan

Didi Adrian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Februari 2023

Minggu, 19 Februari 2023 12:55 WIB

Mak, ke Mana Matahari?

Saban pagi, melek mata Sangkot mencari matahari:”Mak, kemana matahari?” Puluhan tahun kata ini bergaung kembali lewat anaknya, Mak, kemana matahari?” Sangkot yang belajar meniru atau anaknya yang mengajarkan. Entahlah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Mak, ke mana matahari?”

Ubun-ubun Nia seperti ditokok alu, disergap pertanyaan Tumpal sepagi itu.

“Aneh pula, matahari masih di tempatnya kau cari-cari. Tengok ke langit sana!” Nia menjawab tak hirau sambil meniup-niup bara api di pendiangan. Benda yang biasa dicari Tumpal setiap pagi sebelum ke sekolah biasanya tali sepatu. Apa yang dicarinya kali ini berbeda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nia tak hirau karena harus lekas menyiapkan bekal untuk suaminya. Hari itu Sangkot, suaminya kena shift pagi melangsir buah sawit dari kebun. Ratusan ton buah sawit perlu dibawa dengan puluhan truk untuk digiling di pabrik. Sangkot salah satu pengemudi truk.

“Mak, cobalah kemari...” Tumpal tak sabar.

Nia mendekat ke arah Tumpal yang berjinjit di amben kecil ruang tengah agar bisa melongok keluar lewat  jendela. Lebih tepatnya kisi-kisi angin. Posisinya lebih tinggi daripada badannya. Tumpal baru kelas 2 SD.

Buram.  Satu kata untuk penampakan di luar jendela. Berkabut dan bau sangit sisa kebakaran dedaunan dan serasah gambut. Matahari hanya membundar  remang-remang. Tenaganya tak cukup bolongi langit. Sorot cahaya terhalang  kabut asap. Bulan itu bulan Agustus.

Sangkot pulang lebih  cepat dari biasanya. Tauke bilang, pabrik libur, kuli kebun libur, semua libur dulu. Petak-petak kebun sawit mulai ada yang terbakar. Lahan gambut desa tetangga mulai membara. Kabut asap mengepul keluar dari tanah-tanah kosong dan ladang gambut. Menghambur menyergap mata dan membekap hidung. Udara tak bisa dihirup. Sebagian kuli-kuli dikerahkan memadamkan api, Sekuat tenaga, sedapatnya. Air susah didapat.

Pabrik berhenti, kuli kebun tak bekerja, truk-truk sawit terparkir diam, tauke mulai pusing. Lebih pusing lagi kuli dan pekerja yang diupah harian. Alamat dapur tidak berasap akibat kabut asap kebakaran gambut.  Selang beberapa putaran tahun, Sangkot sudah mengalami ini. Mau diterima sebagai nasib, karena tak ada pilihan.

Sudah 3 minggu lebih, desa Gelam Asri tak hujan. Kodrat desa di lahan gambut pedalaman Riau, mulai Agustus adalah bulan-bulan waspada serta kecemasan. Selain cuaca panas, mereka cemas karena air menghilang. Parit-parit yang menetak petak kebun kering, sumur bor galian juga sama. Kalaupun ada kotor keruh berlumpur.

Gambut yang tadinya berlimpah  sebagai kantong air dan bersahabat,di musim kemarau menjadi menakutkan dan bisa menyala sewaktu-waktu. Banyak bahan bakar di dalamnya. Jika sudah menyala, amarahnya tak lekang waktu menyemburkan kabut asap kapanpun dia mau. Tanpa ketahuan dimana nyala apinya. Merayap perlahan di bawah permukaan.

Gambut awalnya memang kaya air. Digali sedikit air membuncah, tinggal cedok. Kendati warnanya serupa teh dan rasanya masam. Kemudian, penduduk dan pendatang yang lapar lahan merangsek masuk ke desa Gelam Asri, membuka hutan gambut. Memangkas hutan sejadinya. Mereka menjawab sederhana: cari kerja susah, perut lapar.

Seingat Sangkot, ayah dan pamannya juga ikut. Sekadar sesuap nasi dan sebatang rokok kata mereka. Jerih payah tak seberapa,  kadang habis untuk taruhan kartu atau minum-minum. Keluarga mendapat bagian keringat dan rasa letih. Besoknya begitu lagi.

Mereka buat parit-parit. Tadinya untuk mengalirkan balok-balok kayu hasil balakan liar. Hidupan liar masih begitu kaya, pokok-pokok kayu bertumbangan. Setelah kayu mahal habis, tunggul-tunggul kecil juga disikat. Hutan yang terpangkas habis, ditinggal merana, tak lagi asri dan lembab.  Sisa hutan yang telanjang dan kering, kembali coba ditanami tumbuhan pendatang yang tak kuat lembab dan genangan air.

Air gelap gambut terus dikuras habis secara perlahan tapi pasti. Kebun-kebun besar artinya paritnya makin besar. Tak sadar, menggali lubang jebakan sendiri. Tatkala kemarau tiba, tanah gambut pembawa berkah menjadi sumber bencana.

Sangkot yang sejak kecil hidup di desa Gelam Asri, di musim kemarau acap tertegun dan bertanya kepada  orang tuanya. Siapa  gerangan rajin bakar sampah setiap pagi. Mengapa banyak jerebu melayang-layang masuk ke dalam rumah, menempel di jemuran, tirai, dedaunan, dinding rumah dan atap. Bahkan dia acap meraup jerebu dari talang air. Jerebu yang disebut penduduk setempat terbawa angin, melanglang jauh mampir ke rumah-rumah. Sepanjang gambut terus mengepul, sejauh itu pula jerebu datang.

Nyala apinya merayap perlahan di bawah permukaan. Sabar dan pasti. Kesabaran nyalanya bukan hambatan jika hanya dihalangi parit-parit kecil. Api kecil yang nampak akan berdesis padam disiram sejenak, untuk kembali menghimpun kekuatan berasap lagi pindah tempat. Celakanya, kompleks gambut yang sudah kering kerontang akan saling memanasi antar tetangga, bergiliran menyala.

Tatkala musim kabut asap, Sangkot kecil antara senang dan cemas. Sekolah banyak liburnya karena kabut asap. Bernapas saja susah, bagaimana mau belajar. Masker lapis dua dan perlu tempo-tempo membasuh muka dengan air agar mata tak pedih. Tapi entah dia senang, karena tak banyak PR sekolah mungkin. Guru-guru mereka sudah lama menyepi ke kota, paling-paling ke Pekan Baru. Menjauh dari kabut asap dan jerebu. Sama saja.

Pagi, siang dan sore nyaris terasa sama. Buram dan tak bisa melempar pandang jauh-jauh. Sorot matahari susah payah menembus tirai asap.  Hangatnya suam-suam kuku. Biasa di sore hari, Sangkot dan teman-temannya senang membunuh waktu di ladang desa, kebun sawit atau parit-parit berair gelap di sela kebun. Mencari ikan betok atau baung kecil-kecil.

Di musim asap, mereka tak berani jauh-jauh dari rumah. Bergerombol di dangau atau pondok kebun. Berbagi rasa cemas bersama. Ketika puncak kemarau dan kabut asap menjadi-jadi, langit siang bahkan  sangat menakutkan. Dinding cakrawala berlamur kuning jeruk hingga merah membara. Bias cahaya bertarung sejadi-jadinya melepas sisa pita warna tersisa membentur tirai asap kebakaran. Merah padam. Sangkot menukas diam-diam, warnanya mirip kuah sampade, makanan kesukaanku. Hidangan berkuah merah cabe dan asam Jawa yang digiling halus, biasanya dicemplungi ikan.

Saban pagi, melek mata dia mencari matahari: ”Mak, ke mana matahari?” Puluhan tahun kata ini bergaung kembali lewat anaknya, "Mak, kemana matahari?” Sangkot yang belajar meniru atau anaknya yang mengajarkan. Entahlah.

Butiran hujan menghambur turun dari langit. Tipis dan renyah. Mirip sisa butiran beras hasil tampian, berserakan baru dikibaskan dari tampah. Apalagi disergap angin pergantian musim. Berderai-derai. Sebagian menghantam muka Tumpal dan teman-temannya. Mereka ramai-ramai sedang duduk berselonjor di dangau pinggir kebun sawit.

Hujan pembukaan pergantian musim, tapi sudah cukup sedikit mengurangi kecamuk kabut asap. Hembusan angin juga membantu menyibak kepungan asap. Aparat desa, petugas siaga bencana bukan tak berjuang memadamkan api, meredam amarah di bawah gambut sebisanya. Kendati siram pagi, sore kembali menyala, Dua bulan terus begitu. Sampai kodratnya ditentukan oleh hujan juga. Entah doa penduduk mujarab atau amarah gambut mulai mereda. Aroma asap lembab  berjumpa air menguar bergentayangan.

“Mak, kemana matahari?”

“Disini Nak, sudah kusimpan dalam hati. Agar semangat kita terus menyala!” Nia menukas singkat.

Ikuti tulisan menarik Didi Adrian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler