x

Iklan

Didi Adrian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Februari 2023

Sabtu, 25 Februari 2023 09:04 WIB

Nenek Penjual Tisu

“Datanglah padaku mereka yang kotor, hina-dina, letih lesu dan berbeban berat. Usapan tisu bersihkan keringat, basuh noda hidupmu, lepaskan penat dan rehat sejenak menjadi pulih dan segar kembali. Simpan aku dan sertakan aku bilamana kau perlu.”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hujan sore baru reda. Langit seperti kesal tak jera-jera menumpahkan air dari siang. Tinggallah sepenggal sore basah menyisakan bercak air disana-sini membuat kubangan cermin tempat cahaya lampu jalan dan toko memantul bersolek. Segala makhluk pacu berpacu, bergegas pulang tanpa lisan karena sudah gelap tanah. Yang ramai bersuara adalah deru kendaraan dan klakson tidak sabar pengendara. Sesekali suara pengamen berebut dengan jeritan burung betet terbang berpindah-pindah dari satu pohon angsana ke angsana berikutnya di jalan utama ibukota.

Setengah berjengket melintasi genangan di trotoar yang rompal bergelombang sampai aku di pintu minimarket. Persediaan odol, sabun dan tisu di kos sudah habis. Selesai mendorong pintu kaca, sambutan selamat datang kasir minimarket seperti suara kaset yang diputar berulang-ulang, datar dan hampa. Tak sampai setengah jam mengelilingi rak demi rak di minimarket, bayar barang di kasir. Ucapan terimakasih saat akan keluar juga sama datarnya.

Dibantu sorot lampu minimarket yang benderang, saat mengecek slip belanja suara lirih perempuan dari samping kiri pintu keluar mengalihkan perhatianku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Tisu pak. Beli tisu murah.”

Pandanganku membentur sosok ibu setengah manula berjongkok di pinggir minimarket, mendongak. Kain slayer pudar warnanya tidak jelas antara hijau atau kuning menutup rambut dan tepi batas telinganya. Siraman cahaya minimarket sedikit memperjelas raut wajahnya. Gurat usia nampak dari kerut di dahi dan kantung mata. Sisanya pucat lesi. Hanya anak matanya yang mulai keruh kelabu seperti menyorotkan harapan dan permohonan masa lalu. Wajah dan penampakan adalah alat rekam yang baik dari perjalanan hidup.

“Maaf bu, sudah beli,” jawabku sekenanya.

 

“Nggak apa-apa, tambah lagi. buat stok pak," pintanya.

 

“Nggak bu, maaf..." aku cepat menutup.    

 

Sembari bergegas menuju halte bus terdekat ke arah tempat kos, aku tak hirau dengan cuplikan perjumpaan tiba-tiba dengan ibu tua menjajakan tisu saat musim hujan begini. Belum lagi di cuaca malam terpapar angin dan hawa malam. Betapa di usia senja begitu, masih harus bersusah-susah mencari uang tak seberapa. Alangkah ganjil petangan nasib seseorang dan pahit nian jika itu pilihan. Ah, sudahlah.

 

Kesibukan kerja, lalu lintas tugas dan penat suasana ibukota membuat aku lupa potongan kejadian tersebut, entah sudah beberapa minggu berlalu. Sampai, nyaris di suasana sore yang mirip-mirip. Udara terasa lebih segar sisa hujan pagi-pagi. Biru langit tinggal sepotong-sepotong karena mulai ditingkahi semburat merah sore hari mengapung-apung menunggu giliran mendesak di ujung langit. Melintas trotoar yang sama, dan pandangan harus banyak menunduk agar tak tertumbuk bagian bergelombang atau menjejak bagian berlubang karena sususan conblocknya hilang atau patah. Seperti koreng tak sembuh-sembuh. Suara lirih yang sama bulan lalu memperlambat langkahku di trotoar busuk itu.

 

“Tisu pak, murah, aja, pak.”

 

Ada perintah alami mendorong otot leherku untuk menengok ke asal suara. Baiklah. Ibu tua yang sudah uzur, mungkin pantas disebut nenek, kini berdiri memegang sebungkus tisu. Bungkus plastiknya sudah kusut masai, kelamaan dipegang bolak-balik tak laku-laku. Bahkan di samping nenek itu, ada sekantong besar tisu-tisu untuk dijual. Mungkin isinya sekitar 10-20 bungkus. Tampilannya masih sama dengan kain slayer hijau lemon pudar diselempangkan setengah jadi. Kali ini ada segaris tipis lengkung di bibirnya, dia mencoba senyum.

 

“Beli pak, buat makan," pintanya.

 

Sejumput kalimat terakhir seperti genta bertalu-talu membangunkan kesadaran manusiawiku. Buat makan. Tak ada salahnya aku berhenti sejenak, sambil cari posisi duduk dekat gerobak martabak. Memang rencana beli, pengganjal tambahan biar kuat begadang. Nenek itu juga sedikit mendekat pada jarak aman. Tangannya agak terulur menyorongkan bungkusan tisu. Sambil menyongsong bungkusan tisu, aku bertanya tanpa memandang wajahnya.

 

“Berapa?”

 

“Delapan ribu," jawabnya sambil bersicepat meraih bungkusan tisu baru di kantong besar, seolah aku akan beli banyak tisu. Aku menolak dengan halus sementara hanya perlu tisu secukupnya. Tapi aku menangkap rona yang menyala tiba-tiba dari parasnya, senang dagangan tisunya laku sore ini.

 

“Ibu jualan sendirian?” aku bertanya memecah suasana. Ibu tua itu kemudian menunjuk ke seorang gadis tanggung bersandar di tiang listrik trotoar, agak menjauh dan malu-malu. Dia bersama cucunya saban sore hingga sesudah maghrib berjalan kaki menjajakan tisu berharap ada satu dua pegawai kantor atau rumah tangga yang perlu beli. Dapat sekadarnya untuk makan dan tambah-tambah uang jajan cucunya yang masih di bangku SMP.

 

“Terimakasih. Rejeki sudah ada jatahnya pak. Tidak bisa dikejar-kejar, tidak bisa diperbesar atau diperkecil. Semua sudah pas berapa banyaknya, kapan waktunya dan untuk siapa-siapa. Gusti Alloh sudah atur..,” ujar ibu tua berfalsafah. Terdiam aku. Ada suara adonan gandum berdesis di loyang martabak, tanda aku masih hidup.

 

“Kenapa ibu memilih jualan tisu?” sergap aku ingin tahu.

 

Pertama, tisu itu enteng dibawa, kendati itupun cucunya yang memanggul sekantong besar tisu-tisu isi 20 bungkus lebih. Kemudian lebih gampang dijual dan laku karena tiap saat orang perlu tisu. Tisu alat pembersih apapun. Istilah dia adil tak pilih-pilih. Keringat, daki, air, kotoran, sisa makanan, noda, bercak, sampah bahkan kalau noda dosa kelihatan bisa dibersihkan dengan tisu, tambah dia sambil tersungging simpul. Tisu rela mengorbankan mengotori dirinya sendiri demi kebersihan dan kesucian yang lainnya, siapapun itu. Satu lagi petuahnya melekat erat bak kaki cecak di dinding ingatanku. Aku curiga nenek ini bukan orang biasa-biasa, kendati tampilan dan perawakannya mulai biasa-biasa karena dimakan usia.

 

“Jadi istilahnya begini," kata ibu tua itu. “Datanglah padaku mereka yang kotor, hina-dina, letih lesu dan berbeban berat. Usapan tisu bersihkan keringat, basuh noda hidupmu, lepaskan penat dan rehat sejenak menjadi pulih dan segar kembali. Simpan aku dan sertakan aku bilamana kau perlu.”

Waduh, kalau tidak suara abang martabak menyetop obrolan tanda aku harus bayar, akan makin tak tepermanai rasa aku dibuat ibu tua ini. Sempat aku tawarkan martabak jika dia berkenan untuk dibawa pulang. Santun dia menolak. Minggu ke minggu berikutnya, ibu tua itu sudah jadi semacam penasihat batin dengan warna warni kisah pengalaman hidupnya. Dulu, dia memang bukan orang biasa-biasa. Istri pejabat eselon I jaman Orde Baru di satu kelembagaan pemerintah. Kendati berslogan abdi negara, pejabat jaman itu tercebur dalam sistem setengah aristokrat, yang alih-alih lupa melayani atau dilayani.

Jalan nasibnya jadi istri pejabat tak selalu berlimpah suka. Suaminya yang kemudian sakit-sakitan, harus cuci darah seminggu dua kali, kemudian terpaksa pensiun dini. Kebanggaan, posisi, kehormatan dan harta habis demi mengobati suaminya atau sedikit memperpanjang jalan usia. Kendati di ujung hari semua sudah tahu hanya membeli waktu. Suami wafat dengan tanggungan utang dan beban tak sedikit. Tinggallah dia terlunta sendiri, setelah keempat anaknya pun berbalik badan. Kasih anak hanya sepanjang galah, kasih ibu sepanjang sungai. Karena aku kelihatannya pandai jadi pendengar yang baik, ibu tua itu meluruhkan kata demi kata dari koleksi ingatannya seolah buku yang menemukan pembacanya. Buku yang baik jika terus ditutup hanya akan jadi setumpuk kertas.

Dari situ juga aku tahu nama ibu itu Mardiani, Sri Mardiani tepatnya. Dia tinggal di rumah jompo di kampung belakang perkantoran pusat kota. Cucunya kadang-kadang menghampiri dia saban sore sepulang sekolah untuk sama-sama curi kesempatan jualan tisu. Akhir pekan ini aku berencana mampir ke tempat ibu tua itu, satu-satunya rumah jompo yang ada di kampung pusat kota. Aku harus membayar pesanan beberapa bungkus tisu yang kubawa duluan, karena ibu itu tidak ada kembalian uang kecil.

 

Sesampai di gerbang rumah jompo, mula-mula aku agak ragu. Rumah lama model bangunan gaya Belanda, halamannya cukup luas, ada pohon rambutan di sisi kiri gerbang. Sisanya disemaki rumput-rumput panjang dan perdu liar. Jalan setapaknya semen yang sudah pecah-pecah. Ada kolam yang sudah mengering, sisa tumpukan air berbaur daun busuk. Melangkah aku ke pintu utama, di atasnya ada papan nama dengan cat sudah kusam, terbaca “Tresna Rahayu”. Aku menyapa  dengan kencang beberapa kali, permisi berkunjung. Muncul ibu setengah baya, hanya berdaster batik. Entah perawat atau pembantu di rumah jompo. Menanyakan ada perlu apa, mau ketemu siapa.

Kusampaikan semua keperluanku, harus bayar barang pesanan kepada ibu Sri Mardiani. Ibu itu tidak menjawab, hanya diam menatap, udara seperti beku sesaat. Hembusan napas dan gerik tubuhnya menjadi jawaban tatkala dia mengajak masuk, melewati aula dan lorong-lorong rumah jompo dimana ada beberapa manula duduk-duduk setengah melamun dan ada pula yang melambai-lambai sambil tersenyum senang ada yang datang.

Lepas melewati ruangan dapur dan seperti kamar mandi, sampai di halaman belakang. Lebih tak terawat dan banyak tanaman dan pohon besar. Mulai mangga, belimbing, pisang , kamboja dan kelompok mawar. Aku mengekor di belakang perawat tersebut menapaki tanah berlumut sampai dia berhenti dan berbalik badan. Tanpa suara, arah tangannya menjawab siapa yang kucari. Setengah jongkok kubaca lamat-lamat nama yang terukir kasar di batu nisan doyong : Sri Mardiani.

Dingin  sekali  siang  itu. Aku  menunduk  tepekur. Sembap  rasanya,  satu tangan  bertumpu di batu nisan  berlumut  itu.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Didi Adrian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

3 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB