x

Ilustrasi: agefotostock.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 27 Februari 2023 13:13 WIB

Babad Pancajiwa 9. Satu Nusa Terbuka Berduka

Pagi yang dingin ditangisi rinai hujan gerimis tak hentikan manusia-manusia berbusana hitam dibawah payung sewarna pertanda bela sungkawa berdukacita yang menyemut mengantarkan jenazah pria perkasa pendiri Satu Nusa Terbuka tuan Suryadilaga ke liang kuburnya yang masih digali di areal pemakaman umum padat penghuni meski berdesakan hanya bisa diam tak bernyawa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi yang dingin ditangisi rinai hujan gerimis tak hentikan manusia-manusia berbusana hitam dibawah payung sewarna pertanda bela sungkawa berdukacita yang menyemut mengantarkan jenazah pria perkasa pendiri Satu Nusa Terbuka tuan Suryadilaga ke liang kuburnya yang masih digali di areal pemakaman umum padat penghuni meski berdesakan hanya bisa diam tak bernyawa.

Di tepi lubang berdiri anggun Lili, yang sembab tersamar kacamata gelap tanpa riasan tetap menawan di usia yang tak muda lagi meski tampak rapuh nyata sekokoh pulau karang bersandar pada putra semata wayang Taufan Suryadilaga.

Pemuda yang serupa pinang dibelah dua dengan almarhum semasa muda tak kalah bisu beku tenang seakan tak peduli pada isak tangis yang menyertai rombongan, memeluk bahu Lili khawatir ibunda pingsan, mencoba mencerna apa yang dirancang alam semesta untuknya.

Menyeruak ke depan menghampiri Lili dan Taufan seorang lelaki tua berjenggot putih panjang terlihat arif sekaligus kejam di balik fedora hitam: tuan Lionardo Wongsonegoro, ayahanda Lili yang pada suatu waktu tak ingin dibenam dalam ingatan namun tak pernah terlupa.

Di belakangnya mengiring Leo junior, dokter bedah jantung ternama anak lelaki tertua suku Naga dengan setia memayungi pria panutan keluarga yang berjalan gagah menuju tempat berdiri putri kesayangannya yang telah dibuang secara hina.

Lili menghormat takzim lelaki yang pernah dipanggilnya papa sambil menyembunyikan sejuta rasa sakit yang menusuk di jiwa, terbayang peristiwa puluhan tahun silam dan derita ditanggung mendiang, yang sebentar lagi tertanam di liang untuk selama-lamanya—tidak sekarang, bukan saat yang tepat menumpahkan air mata.

Kerumunan menyibak membuka jalan untuk sekumpulan pendatang baru berjumlah lima, pancajiwa dari Media Lima dipandu Tiwi mungil, turut hadir di mendung pagi basah, menghaturkan penghormatan terakhir kepada pejuang lihai yang meninggalkan dunia fana secara tiba-tiba.

Dari balik kacamata hitam Taufan mengamati Tiwi, masih seperti diingatnya dulu: memancarkan gairah pesona daya takluk penuh kalkulasi menggilas segala rintangan tanpa rasa jerih bertempur di dunia lelaki mencengkeram bola baja laksana empuknya busa.

Dirasakan dalam pelukannya mendadak tubuh Lili kaku seakan melihat hantu, namun tak terbaca paras muka Mamanya, hanya terasa aura kebencian yang menguar hitam di ubun-ubun pertanda bencana kan datang, menimbulkan tanya: mengapa?

Di mata Lili yang belumlah lamur, Tiwi bukan rupa seorang gadis remaja belia dalam masa puncak gemilang, tapi seorang pesaing dari masa lalu yang datang dalam setiap mimpi buruk yang mengganggu nyenyak tidur malamnya.

Mengapa bayangan puluhan tahun lalu tak jua mau pergi, terus menghantui, hadir di saat jiwanya hampa berduka di sisi lubang gelap yang akan mengambil lelaki yang dicintanya, yang bahkan sampai saat maut menjemput masih membisikkan nama si iblis wanita?

Pada detik yang sama, puluhan ribu kilometer jauhnya di belahan bumi berbeda, sang iblis wanita baru saja memasuki limusin hendak memulai malamnya, tersedak terbatuk-batuk begitu meriahnya hingga berurai air mata, dan selintas pikiran menyelinap suatu pertanda: kehilangan seseorang yang sangat istimewa....

 

 

BERSAMBUNG

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler