Cerita Setan (10) Episode: Setan Makan Setan
"Sudah kau plester mulutnya?"
"Kenapa harus di plester."
"Supaya tak ngoceh-ngoceh."
"Berbahaya? Jangan risaukan mulut."
"Maksudmu?"
"Biarkan dia bernapas dengan mulut?"
"Jadi?"
"Plester saja hidungnya."
"Kalau dia mati?"
"Tak apa. Kan mati karena mulutnya."
**
"Absurd."
"Lebih bahaya kalau dia mati karena hidungnya."
"Maksudmu?"
"Bisa di pidana kita."
"Miring rupanya otakmu. Sama kawan."
"Tak paham kau."
"Terbalik! Kau, tak paham."
"Apa salahnya kalau dia mati karena mulutnya."
"Sama!"
"Beda, lah."
**
"Apanya beda, lah. Mulut atau hidung, bisa bikin mati. Pidana kita."
"Jadi?" Serentak saling bertanya. Keduanya menghela napas. Lalu keduanya serentak. Menghitung dengan jari masing-masing.
"Hidung?"
"Mati. Pidana."
"Mulut?"
"Mati. Pidana." Keduanya saling melihat.
"Mulut atau hidung. Pidana?" Serentak saling bertanya.
"Ya." Serentak lagi dengan jawaban itu.
"Wah! Rehat dulu kita."
"Keburu dia sadar dari pingsannya."
**
"Makan dulu lah, lapar perut."
"Sama. Bahaya, kalau dia sadar belum di plester salah satunya."
"Mulut atau hidung."
"Salah satu, lah."
"Oke. Mengundi jari, kita. Kau jempol, jika aku kelingking, aku kalah."
"Kalau sebaliknya."
"Kalau dibalik?"
"Iyalah."
"Kau kalah."
"Alamak. Artinya dibalik atau tidak sebaliknya. Aku tetap kalah."
**
"Iyalah. Kau, tadi, baru saja bilang begitu."
"Ini. Bahaya. Setan makan setan, namanya.”
"Ya berbeda, lah."
"Dimana bedanya?"
"Dibalik atau tak sebaliknya."
"Mampus! Kau kalah. Biar aku plester saja hidungnya."
"Stop! Jangan! Tidak bisa. Bagaimana bisa. Itu keputusan sepihak."
"Iya dong!"
"Kan cuma ada, kau, lalu ada aku." Keduanya terdiam. Sementara, si pingsan samar-samar ada gerakkan serupa menggeliat. Keduanya memperhatikan. Temaram, pandangan keduanya.
"Ambil senter aku bilang. Cepat! Dia geliat-geliut. Bahaya!"
**
"Pakai telepon genggammu, ada senter lampunya kan di situ, include." Lantas temannya memperhatikan telepon genggamnya. Dibolak-balik. Diputar-putar, dilihat sebaliknya, di balik lagi dilihat lagi.
"Tak ada." Jawabnya.
"Ada. Coba aku lihat tipe telepon genggammu." Temannya menyerahkan telepon genggam. Penerima terkesiap. Shock, mulai was-was. Lanjutnya.
"Tak ada senter lampunya rupanya model teleponmu."
"Ada! Tak cerdas kau."
"Nih! Lihat! Ada senternya nggak." Seraya menyerahkan kembali telepon itu. Lalu si pemilik dengan cekatan membuka layar, menahan kesal. Blink!
"Nah! Kau Lihat! Nyalakan senter lampunya." Tak berapa lama cahaya di layar telepon itu meredup cepat, seketika padam. Telepon itu mati total.
"Hahaha." Keduanya terbahak-bahak.
Lantas ruangan itupun tak ada temaram, gelap total. Keduanya pun mati. Si pingsan tadi hidup. Bangun perlahan-lahan. Sangat tenang. Lantas dia pun seketika mati, di makan ruangan itu.
***
Jakarta Indonesiana, Maret 01, 2023.
Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.