x

SMA di NTT sekolah jam 5 Pagi

Iklan

Rima Gravianty Baskoro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Maret 2022

Kamis, 2 Maret 2023 09:40 WIB

Menakar Kontroversi Kebijakan Publik Pendisipilinan Anak: Studi Kasus Kebijakan Gubernur Nusa Tenggara Timur

Beredar isu yang hangat di kalangan publik bahwa Gubernur Nusa Tenggara Timur (“NTT”) mengeluarkan kebijakan kepada siswa-siswi pada beberapa SMA dan SMK di Kota Kupang yang diwajibkan masuk sekolah pukul 05.00 WITA terhitung sejak tanggal 28 Februari 2023. Apakah masalah kedisiplinan menjadi faktor yang mempengaruhi anak-anak NTT tidak memiliki daya saing untuk masuk ke beberapa perguruan tinggi tersebut diatas? Ataukah ternyata justru kurangnya fasilitas pendidikan dan akses terhadap pengetahuan, serta kurangnya iklim belajar-mengajar yang menyenangkan sebagai faktor yang mempengaruhi kurangnya daya saing anak-anak NTT untuk masuk ke beberapa perguruan tinggi tersebut diatas? Apakah dikeluarkannya kebijakan ini sudah melalui proses dan tahapan-tahapan yang baik dikeluarkannya suatu kebijakan publik?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh:

Guy Rangga Boro, S.H. (Partner pada GASP & Co Law Office)

Fitriyah Maliki, S.H. (Partner pada Rima Baskoro & Partners Law Office)

Rima Baskoro, S.H., ACIArb. (Wakil Ketua Umum Young Lawyers Committee Peradi)

 

I . Latar Belakang 

Beredar isu yang hangat di kalangan publik bahwa Gubernur Nusa Tenggara Timur (“NTT”) mengeluarkan kebijakan kepada siswa-siswi pada beberapa SMA dan SMK di Kota Kupang yang diwajibkan masuk sekolah pukul 05.00 WITA terhitung sejak tanggal 28 Februari 2023. Alasan yang dikemukakan Gubernur NTT memberlakukan kebijakan ini karena persoalan kedisiplinan para siswa. Terlebih lagi, Gubernur NTT mengemukakan kebijakan tersebut bertujuan agar para siswa di NTT memiliki kualitas dan daya saing untuk mampu mengemban pendidikan lebih lanjut di beberapa perguruan tinggi dalam negeri seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada, maupun pada tingkat perguruan tinggi sekelas Harvard University. Menjadi pertanyaan atas diberlakukannya kebijakan ini adalah apakah masalah kedisiplinan menjadi faktor yang mempengaruhi anak-anak NTT tidak memiliki daya saing untuk masuk ke beberapa perguruan tinggi tersebut diatas? Ataukah ternyata justru kurangnya fasilitas pendidikan dan akses terhadap pengetahuan, serta kurangnya iklim belajar-mengajar yang menyenangkan sebagai faktor yang mempengaruhi kurangnya daya saing anak-anak NTT untuk masuk ke beberapa perguruan tinggi tersebut diatas? Apakah dikeluarkannya kebijakan ini sudah melalui proses dan tahapan-tahapan yang baik dikeluarkannya suatu kebijakan publik?



II. Perlindungan Anak Sebagai Tanggung Jawab Pemerintah

Diterapkannya kebijakan publik tersebut oleh Pemda NTT menuai sejumlah permasalahan, yakni:

Pertama, patut dipertanyakan urgensi dari kebijakan masuk sekolah jam 05.00 WITA. Apakah permasalahan kedisiplinan ini perlu diatur lewat kebijakan publik Pemerintah Daerah (“Pemda”) NTT atau cukup melalui sosialisasi terhadap orangtua dan keluarga siswa-siswi sebagai bentuk tanggungjawab bersama? Mengingat tanggung jawab penyelenggaraan perlindungan anak termasuk mengenai pendidikan juga menjadi kewajiban orangtua dan keluarga dari anak, sebagaimana ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 23/2002”), yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 20 

“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”

Idealnya urgensi kebijakan Pemda NTT diarahkan guna menciptakan iklim belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga menimbulkan daya tarik dan minat yang kuat dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah untuk meningkatkan daya saing anak-anak di NTT dalam melanjutkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Khawatirnya, dengan diterapkannya kebijakan tersebut menyebabkan siswa-siswi di NTT tidak menikmati proses belajar-mengajar yang menyenangkan, dan sebaliknya malah menurunkan daya tarik dan minat untuk belajar. 

Selain itu, seharusnya fokus dan urgensi kebijakan Pemda NTT adalah pada pengadaan dan peningkatan fasilitas pendidikan dan akses pengetahuan, termasuk tenaga pengajar/guru yang setara dengan daerah-daerah maju seperti di Jakarta dan sekitar pulau jawa, guna menjunjung tinggi prinsip-prinsip non diskriminasi sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU No. 23/2002, yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 2

“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

 1. non diskriminasi; 

2. kepentingan yang terbaik bagi anak; 

3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan 

4. penghargaan terhadap pendapat anak.”

Makna mendalam dari prinsip non diskriminasi di atas juga berkaitan dengan kesetaraan dan tidak adanya perbedaan antara fasilitas pendidikan dan akses pengetahuan yang berhak didapat oleh anak-anak NTT dengan daerah-daerah maju di Jakarta dan sekitar pulau jawa. Hak mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi ini harus menjadi tanggung jawab negara.  Bila perlu, Pemda NTT harusnya berfokus untuk meningkatkan mutu dan kualitas universitas-universitas yang ada di Provinsi NTT agar setara dengan universitas-universitas top di Jakarta dan sekitar pulau Jawa. Sehingga anak-anak NTT tidak perlu jauh-jauh pergi merantau untuk dapat mengenyam fasilitas pendidikan dan akses pengetahuan yang setara dengan universitas-universitas di Jakarta ataupun sekitar pulau Jawa.

Kedua, patut dipertanyakan proses berjalannya dengar pendapat yang diadakan oleh Pemda NTT terhadap anak-anak NTT yang terdampak kebijakan tersebut.  Sebelum membuat kebijakan tersebut Pemda NTT harusnya mendengar dan mempertimbangkan pendapat para anak-anak NTT sebagai pemangku kebijakan guna mencapai kepentingan terbaik dari anak-anak tersebut, apalagi kebijakan tersebut jelas menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupan anak-anak NTT tersebut. Kewajiban tersebut sebagaimana diatur dalam bagian penjelasan Pasal 2 Jo. Pasal 10 UU 23/2002, yang mengatur sebagai berikut:

  • Penjelasan Pasal 2
    “Asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak. 

Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. 

Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. 

Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.”

  • Pasal 10
    “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”

Berdasarkan ketentuan di atas, Pemda NTT harus mendengar dan mempertimbangkan pendapat dari siswa-siswi SMA dan SMK sebelum mengambil keputusan pemberlakuan kebijakan tersebut. Pemda NTT seharusnya mengadakan forum komunikasi guna dengar pendapat dengan para siswa-siswi SMA dan SMK terkait. Hal ini penting untuk menentukan layak atau tidaknya diberlakukan kebijakan Pemda NTT terkait kewajiban masuk sekolah pukul 05.00 WITA.

Ketiga, terhadap pemberlakuan kebijakan tersebut perlu dikaji pula mengenai penentuan kebijakan lanjutan yang mengatur kegiatan proses belajar mengajar terhadap siswa-siswi sejak jam 05.00 WITA. Apakah ada kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa-siswi sejak jam 05.00 WITA, atau siswa-siswi hanya datang dan akan menunggu sampai proses jam belajar-mengajar efektif pada pukul 08.00 WITA? Penentuan kebijakan lanjutan ini penting karena negara berkewajiban menjaga hak anak-anak sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 11 UU 23/2002, yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 11

“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.”   

Ke-empat, kebijakan ini pun menghadapi tantangan tersendiri terkait ketersediaan fasilitas publik antara lain transportasi umum yang belum tersedia pada jam 05.00 WITA. Mengingat tidak semua siswa-siswi di NTT memiliki akses kendaraan pribadi, dan banyak diantaranya yang masih menggunakan transportasi umum untuk berangkat ke sekolahnya. Jika belum adanya jaminan ketersediaan transportasi umum ini, maka sudah jelas siswa-siswi NTT yang berangkat ke sekolah menggunakan transportasi umum pasti akan terlambat masuk sekolah. Maka penting bagi Pemda NTT untuk menentukan kebijakan guna menyelesaikan permasalahan kekurangan transportasi publik tersebut.

Menanggapi permasalahan-permasalahan diatas, maka dipandang perlu adanya analisis atas penyusunan kebijakan Pemda NTT ditelaah dari sisi prosedur penyusunan kebijakan publik, serta solusi terhadap permasalahan kebijakan publik yang diterapkan oleh Pemda NTT tersebut.

 

II. Strategi dan Alur Penyusunan Kebijakan Publik

Idealnya dalam membuat sebuah kebijakan publik, Pemda NTT mengikuti prosedur policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) karena policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) merupakan rangkaian proses penyusunan kebijakan publik yang didasarkan pada pemikiran logis untuk menyelesaikan permasalahan publik (Blomkamp, E., et.al, 2018). Rangkaian proses penyusunan kebijakan adalah representasi dari cara penyusunan kebijakan publik sebagai jawaban atau solusi atas permasalahan publik (Lasswell 1956; Bridgman and Davis 1998). Jika permasalahannya adalah kedisiplinan anak, maka kerangka logis yang harus dibangun dalam penyusunan dan pemberlakuan kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi adalah solusi bahwa kebijakan tersebut akan meningkatkan disiplin anak sekolah.  Jika targetnya adalah pendisiplinan anak-anak, apakah Pemda NTT harus turun tangan mengeluarkan kebijakan seperti ini? Apakah kedisiplinan anak menjadi persoalan publik atau persoalan privat (keluarga dan sekolah)? Apakah pernah ada penelitian keberhasilan dari kebijakan publik serupa yang mencapai target untuk mendisiplinkan anak-anak di daerah lain?

Sebagai gambaran, terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan pemda NTT dalam menyusun dan menerapkan kebijakan publik masuk sekolah jam 5 pagi. Berikut adalah diagram policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) (Gambar 1) sebagaimana dijelaskan oleh Althaus, et.al (2018):

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan



Gambar 1. Diagram policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) (Althaus, et.al, 2018)

 

Policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) memberikan penekanan dan pemahaman bahwa pemerintahan adalah sebuah proses, dan bukan hanya terdiri dari institusi-institusi sebagai formalitas. Policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) menunjukkan proses bekerjanya sebuah gagasan dan analisa pada sumber-sumber masalah, pengulangan proses policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan), dan sebuah rutinitas yang tidak akan menyelesaikan masalah hanya dengan sebuah kebijakan, namun berlanjut kepada implementasi dan evaluasi dengan menggabungkan dan menelaah kembali permasalahan yang ada di publik Althaus, et.al (2018). Berikut ini adalah langkah-langkah yang seharusnya dilakukan oleh Pemda NTT dalam penyusunan dan penerapan kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi:

  1. Identifikasi masalah

Lalu apakah kedisiplinan anak merupakan masalah publik sehingga pemda NTT harus mengeluarkan kebijakan publik sebagai instrumen untuk menyelesaikan permasalahan ini? Pemda NTT harus bisa memilah masalah mana dulu yang urgent untuk diselesaikan, apakah tingkat kesejahteraan masyarakat, mutu dan kualitas pendidikan, pelayanan publik, fasilitas publik, atau yang lainnya. Kalaupun pendidikan menjadi masalah yang urgent untuk diselesaikan, harus dianalisa lagi apa yang urgent untuk diperbaiki. Althaus, et.al (2018) menyatakan ketika sebuah isu teridentifikasi, ia menjadi bagian dari siklus kebijakan, tunduk pada analisis, pengembangan instrumen kebijakan, dan seterusnya. Ini adalah momen krusial dalam siklus kebijakan, titik di mana kepentingan pribadi diubah menjadi isu kebijakan. Banyak isu yang tiba-tiba menguasai sumber daya pemerintah, tapi juga banyak sekali masalah lainnya merana hanya sebagai urusan pribadi. Tak heran persaingan di antara para penganjur isu begitu sengit, karena perbedaan persoalan pribadi dengan persoalan publik yang tidak tegas. Jika kedisiplinan anak menjadi isu penting dalam dunia pendidikan, maka pemda NTT harus bisa memutuskan persoalan mana yang harus diselesaikan untuk mencapai target kedisiplinan anak sekolah. Apakah sarana dan prasarana pendidikan, silabus pendidikan, kualitas para guru, atau akses masyarakat ke pendidikan. Jika targetnya adalah peningkatan mutu pendidikan, maka kedisiplinan seharusnya dibiarkan menjadi tanggung jawab sekolah. Tugas Pemda NTT adalah menjamin bahwa mutu pendidik, fasilitas dan prasarana pendidikan sudah cukup baik dan mudah diakses masyarakat untuk mencerdaskan anak-anak sekolah di NTT.

 

  1. Analisis Kebijakan Publik

Pada tahap ini, Pemda NTT harus melakukan analisa ilmiah terhadap penerapan dan efektivitas kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi sebagai solusi pendisiplinan anak sekolah. Pemda NTT seharusnya mampu memberikan penjelasan dan penelitian bersifat ilmiah dilengkapi contoh keberhasilan dari kebijakan serupa, sehingga masyarakat NTT memahami urgensi kebijakan ini. Aaron Wildavsky (1987) menyatakan bahwa pokok bahasan analisis kebijakan adalah ‘masalah publik yang harus diselesaikan setidaknya untuk sementara agar dapat dipahami’. Mencari solusi mungkin diperlukan sebelum benar-benar memahami sifat masalahnya. Menyusun suatu masalah berarti memberinya bentuk dan makna melalui analisis kebijakan. Maka, jika kedisiplinan anak sekolah menjadi permasalahan publik, Pemda NTT harus memiliki strategi untuk membuat publik mengerti bahwa ini adalah masalah penting dan masalah bersama yang harus segera dicari solusinya. Jika pemda NTT berpikir bahwa masuk sekolah jam 5 pagi adalah solusi untuk mendisiplinkan anak, Pemda NTT harus sanggup menyampaikan urgensi ini kepada masyarakat. Pemda NTT harus bisa menjelaskan hasil yang akan dicapai jika anak-anak masuk sekolah jam 5 pagi adalah untuk membangun kesadaran disiplin anak sekolah.

 

  1. Pemilihan Instrumen Kebijakan Publik 

Jika pemda NTT masih bersikeras menerapkan kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi kepada anak-anak di NTT dengan tujuan mendisiplinkan anak, maka pemda NTT harus mengkaji instrumen kebijakan yang akan digunakan. Hal ini berkaitan dengan keberhasilan aplikasi kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemda NTT. Ada 7 instrumen kebijakan yang setidaknya bisa dipilih oleh Pemda NTT dan hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Althaus,et.al. (2018), sebagai berikut: melalui advokasi, jaringan kerja, finansial, tindakan pemerintah, perilaku ekonomi, dan melalui narasi. Untuk persoalan pendidikan, bentuk kebijakan publik yang ideal adalah advokasi, keterlibatan jaringan kerja, dan narasi. Tidak mungkin menggunakan strategi melalui aksi pemerintah melalui legislative power yang outputnya adalah regulasi dan identik dengan hukuman jika kebijakan tidak dilaksanakan. Melalui advokasi kebijakan publik, pemda NTT harus bisa memberikan penjelasan dan argument kuat bahwa kedisiplinan anak sekolah adalah masalah publik sehingga pemda NTT harus mengeluarkan kebijakan publik masuk sekolah jam 5 pagi. Melalui metode jaringan kerja, pemda NTT harus sanggup menggandeng semua sekolah dan tenaga pengajar untuk memahami urgensi bahwa kedisiplinan anak ini berefek panjang dan merupakan masalah publik, sehingga sekolah bisa menyesuaikan diri dengan kebijakan pemda NTT ini dan bisa memikirkan cara paling efektif untuk mendisiplinkan anak. Melalui metode narasi, pemda NTT harus sanggup mensosialisasikan kebijakan ini agar semua masyarakat memahami urgensi pendisiplinan anak sekolah. 

 

  1. Konsultasi

Sebelum kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi ini diterbitkan oleh pemda NTT, Pemda NTT selayaknya melakukan proses diskusi terlebih dahulu dengan masyarakat terutama orang tua murid dan sekolah. Sebuah proses konsultatif menawarkan kepada para pembuat kebijakan sebuah cara untuk menstrukturkan debat, dan untuk mengembangkan solusi yang sanggup 'bertahan' karena mencerminkan realitas masalah dan persaingan kepentingan dari mereka yang terlibat (Althaus,et.al., 2018). Konsultasi juga memberikan kesempatan bagi pembuat kebijakan untuk mengundang dan mendapatkan masukan dari para pemangku kepentingan tentang kelayakan suatu kebijakan. Tahapan konsultasi antara pemda NTT dengan sekolah, tenaga pengajar, dan para orang tua murid ini krusial karena bagaimanapun nanti yang akan melaksanakan dan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini adalah sekolah, orang tua murid, dan murid-murid itu sendiri sebagai pemangku kebijakan. Tahapan konsultasi ini juga akan meringankan perdebatan publik ketika kebijakan ini diberlakukan. 

 

  1. Koordinasi

Pemda NTT harus memastikan ketika kebijakan publik ini diberlakukan, maka seluruh sekolah, para tenaga pengajar, dan para orang tua murid di NTT menyanggupi untuk melaksanakan kebijakan ini. Oleh karena itu penting untuk melakukan koordinasi antara pemda NTT dengan sekolah, para tenaga pengajar dan para orang tua murid. Althaus, et.al. (2018) menyampaikan bahwa Pemerintah bekerja dengan cara yang terkoordinir, sehingga setiap bagian yang dikerjakan masing-masing, dapat menjadi satu kinerja. Pemerintah melembagakan koordinasi melalui rutinitas dan struktur. Struktur termasuk badan-badan pusat yang mengelola rutinitas dan memberikan masukan kepada Pemerintah secara keseluruhan. Oleh karena itu, tanpa koordinasi yang baik, hasil yang diharapkan dari kebijakan publik untuk mendisiplinkan anak ini tidak akan tercapai. Koordinasi yang baik dengan para pemangku dan pelaksana kebijakan akan mampu meringankan beban pemda NTT untuk mencapai target pendisiplinan anak sekolah. 

 

Jika kelima tahapan proses policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) tersebut telah dilakukan, Pemda NTT layak untuk menentukan keputusan pemberlakuan kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi, untuk kemudian diterapkan di masyarakat. Setelah dilakukan penerapan kebijakan publik, Pemda NTT masih harus mengatur penerapan kebijakan publik tersebut agar efektif dan mencapai hasil disiplin yang diinginkan, untuk kemudian melakukan evaluasi efektivitas kebijakan publik tersebut. 

 

III. Saran:

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, maka penting bagi Pemda NTT untuk melakukan inovasi dalam penyusunan kebijakan publik masuk sekolah jam 5 pagi sebagai berikut:

  1. Pemda NTT harus bisa memastikan dan menerangkan ke publik bahwa persoalan disiplin anak adalah masalah publik.

  2. Pemda NTT harus bisa memastikan dan memberi pemahaman ke publik bahwa persoalan disiplin anak jauh lebih penting untuk diselesaikan daripada persoalan kurangnya fasilitas publik (seperti listrik, bangunan sekolah, fasilitas pendidikan, ketersediaan pendidik/guru yang mumpuni, serta akses pengetahuan yang masih kurang).

  3. Pastikan Pemda NTT sudah melakukan proses policy making cycle di atas sehingga pada saat penerapan kebijakan, seluruh aspek masyarakat sudah siap dan perdebatan dapat dihindari.

  4. Pastikan tidak ada anak-anak putus sekolah hanya karena kebijakan ini ternyata memberatkan keluarga atau orangtua para murid. Karena faktanya fasilitas pendidikan masih banyak yang belum mumpuni dan belum tersebar merata, sehingga anak-anak di NTT masih banyak yang harus jalan kaki ke sekolah dengan jarak yang cukup jauh.




Referensi:

Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Bridgman, P., & Davis, Glyn. (1998). Australian policy handbook. Allen & Unwin.

Blomkamp,E., et.al., January 2018, Understanding Policymaking in Indonesia: In Search of a Policy Cycle, Bappenas, Australian Government, and Knowledge Sector Initiatives.

Davis, Glyn, Althaus, Catherine, & Bridgman, Peter. (2018). The Australian Policy Handbook. Taylor & Francis Group.

Lasswell, Harold D. (1956). The decision process. Bureau of Governmental Research, College of Business and Public Administration, University of Maryland, 1956.



Ikuti tulisan menarik Rima Gravianty Baskoro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler