x

Digital Photography by Tasch

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Jumat, 3 Maret 2023 22:57 WIB

Mati Sunyi (9)

Cerpen Mati Sunyi (9) Episode: Matamu Milik Siapa. Kau selalu kesal setiap kali tim investigasi senat mahasiswa kala itu, menemukan noktah narahubung penyusup, ujungnya kepelimbahan jua, ketika interior tembok tebal membisu, tak mampu memberi putusan akademis. Sekalipun fakta di lapangan memotret sosok alien itu, di barisan belakang lempar batu sembunyi tangan, lantas sirna di telan massa. Salam baik saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mati Sunyi (9) Episode: Matamu Milik Siapa.

Setelah era simpangsiur kala itu, tak lagi jumpa dengan mata indahmu. Kekasih di awan. Kekasih sederet gigi cantikmu di tawa lepasmu. Kekasih di senyum cantik bibirmu. Kekasih di angan pelangi sore mungkin juga siang bolong, tali kasih terikat janji almamater sesama kemaslahatan tak secantik impian. Ruang antar khasanah, bak pixel kelabu tua laiknya pabrik tekno sains instan.

Hujan peluru tak lagi jadi tantangan keadilan cinta, tampaknya baik-baik saja. Apa iya begitu, katamu di bahasa matamu, tiarap di aspal panas, gemetar melindungimu, di antara sekian banyak persaudaraan almamater tercinta, kau tak bergeming, tak takut peluru katamu, jika itu untuk sesama, berbalik erat saling merengkuh bahu, ada air mata haru di jiwa ini perempuan kuat, kau bukan seikat mawar putih kesukaanmu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bawakan aku mawar hitam hari ini, suatu kali kala itu, katamu. Setelah pasukan keren, hadir melindungi demonstran merangsek tank-tank baja membelah dua sisi perlawanan. Gedung megah itu mendadak sepi, kembali jadi berhala di hamparan sampah plastik mineral, bekas botol molotov, spanduk orasi yel-yel, selongsong peluru berserakan, kau, pungut satu dua jaket almamater, terserak terkoyak-koyak. Lagi, mata indahmu memberi sinyal bermakna padaku kekasih.

**

Hari ini, beberapa dekade lalu, papan reklame tak semarak kini. Lampu-lampu jalanan tak seterang kini, kendaraan lalu lalang semarak padat gaya hidup. Cerita cinta tentang kita tersimpan didalamnya, sepanjang trotoar taman kota, angkutan kota, dulu, kau selalu menunggu di simpang jalan itu. Alamak, cerita bisu milik kita, apa kau masih mengenangnya. Manusia populer, aku masih di sini di tepian berita digital news di antara numerik algoritme teknologi berita kebintanganmu.

Rindu menggigit, meski tak mungkin lagi, terlampau jauh nampaknya jarak kultural di antara kita. Meski kala itu bukan kehendak bunda mengandung, juga mungkin bukan kehendak Ilahi. Keputusan wajib segera disampaikan menempuh jalan berbeda, meski nurani berkehendak lain. Pilihan, ketetapan hati pada komitmen cita-cita, lagi, untuk kelangsungan pergerakan perubahan, berbeda, tak serupa punguk rindu akan bulan.

Perjalanan mungkin perubahan musim berganti, di antara jejak masa lampau, atau barangkali, tiba-tiba terlalu cerewet oleh kehandak cinta, di balik slogan perubahan musim tak dikehendaki hati nurani. Apa masih ada nurani, persis ketika slogan perjuangan keadilan berkumandang menentang rezim monorel. Apa betul begitu, kau atau aku, telah terlibat hipokrisi tanpa partitur akibat rentang abstraksi budaya perubahan terlalu kuat tarik ulur tak sebagaimana mestinya. 

Cinta tak harus memiliki, tak pernah percaya dengan kalimat jelek itu. Tapi, iya juga ya, barangkali loh, ketika dihadapkan pada pilihan hati nurani atau logika strategis, korban harus jatuh, kau bagai sirna dari gelaran hatiku. Nyaris politis, apa iya. Ego manusia barangkali, iya juga, enggak juga. Ketika itu pula the reform of an era, mengangkasa, segala hal terpaut seakan-akan kait berkait hal ihwal paradoksal anonim. Runtuh segala sebutan cinta sejati Romeo and Juliet. Porakporanda beranda kasih sayang, bersama massa mengambang, peluru melintas di atas cinta kita mencapai keadilan kala itu.

Hihihi ... Kau selalu kesal setiap kali tim investigasi senat mahasiswa kala itu, menemukan noktah narahubung penyusup, ujungnya kepelimbahan jua, ketika interior tembok tebal membisu, tak mampu memberi putusan akademis. Sekalipun fakta di lapangan memotret sosok alien itu, di barisan belakang lempar batu sembunyi tangan, lantas sirna di telan massa.

**

Kini, dulu atau 'kan datang, sang waktu tetap di tempatnya melaksanakan penetrasi daya tempuh tanpa terasa kelangsungan perubahan musim terus berganti. Aku, hanya mampu memandangimu di etalase jiwa semesta. Entah, apa masih sama cinta itu. Meski selalu saling berkabar lewat sosok-sosok senantiasa berganti dari balik bilik niskala pintu langit. Ya, tau atau mungkin soktau, kemana arah mata angin membawa angan. 

Pelukan hangat kecupan di kening, akhir dari impian citarasa dayajuang. Selesai tugas kemahasiswaan, tak ada lagi demonstran era itu, selesai pula cinta di hati. Meski dengan cinta pula, membuka hari baru melindas imperium monorel kala itu. Gegapgempita realitas impian mengkanvaskan ekspresionisme citarasa berkedok demokrasi impor, menjadi illustrasi taman bunga.

***

Jakarta Indonesiana, Maret 03, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler