x

Gambar oleh Hong Manh dari Pixabay

Iklan

Almanico Islamy Hasibuan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 November 2021

Selasa, 7 Maret 2023 17:21 WIB

Aku Bersamamu dan Aku Tanpamu

Seorang anak laki-laki dan ibunya. Seorang anak laki-laki tanpa ibunya. Dan sebuah kembang api.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

             “Aku tidak membutuhkanmu! Kau bisa membawa anak berantakan itu bersamamu!” Ibuku terdiam memegang pipinya yang berubah warna. Dia kemudian menatap ke arahku dan tersenyum. Mengapa kau masih bisa tersenyum setelah menghadapi makhluk bejat itu? Ibu?! Aku sadar, di hari itu, kami bertiga bukanlah orang yang sama lagi. “Maaf nak, hari ini mie goreng saja ya,” ujar ibuku. Setiap hari selalu sama. Kau diam, menangis sendirian, mie goreng, dan aku yang berubah. Malam di waktu itu menjadi semua puncaknya. Ayahku, aku, dan ibuku.

            “Randi, mau ke mana?” Ibuku bahkan sudah bangun pagi-pagi buta seperti ini. Aku berniat membantu dia walaupun hanya sedikit, namun dia malah memarahiku. Aku pasti kelelahan di sekolah jika sebelumnya harus bekerja mengantarkan koran-koran ke rumah warga. Aku tidak mengerti. Bukannya seharusnya ibu senang? Merasa terbantu? Aku malah mendapatkan omelan darinya.

            Setiap hari. “Beban! Pergi beli rokok!” Aku selalu menjadi bulan-bulanan di sini. Aku salah mengira tentang mereka semua. Siapa juga yang ingin bergaul dengan orang-orang kotor seperti mereka? Bukan di sini lah tempatku. “Sini kau bocah!” Nasibku hampir saja tamat jika tidak ada polisi yang datang. Kau seharusnya senang membiarkan beban sepertiku pergi. “Di mana rumahmu nak? Ibumu?” Mengapa mereka semua menanyakan itu? Berhentilah! “Apa yang terjadi dengan anak ini?” Seorang wanita paruh baya dengan seikat bunga menghampiri aku dan polisi itu. “Bocah ini baru saja memecahkan mobil para preman di dalam sana. Aku tidak tahu mengapa dia melakukan itu.”, ujar polisi. Wanita itu menatapku dengan iba. Aku tidak butuh itu. “Ibumu di mana nak?” Aku sudah tahu. Mereka semua sama. “Tunggu!” Aku kabur dari tempat itu. Kabur dari semua tempat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            “Ibu, waktu itu, mengapa ibu membiarkan ayah pergi bersama wanita itu?” Ibuku hanya tersenyum dan mengatakan kalau dia dan ayah sudah tidak bisa akrab lagi. Siapa yang percaya omong kosong itu? Jika aku memberitahukan apa yang kulihat selama ini, apakah keadaan kami sekarang akan berubah? “Ibu, sebenarnya….”, ibuku hanya mendengarkanku seperti biasa, namun aku yakin jika di dalamnya pasti berbeda. Buktinya, malam itu, ibuku kembali menangis.

            Aku rasa di sini sudah aman. Aku melihat sekelilingku yang hijau dan asri. Aku tidak pernah menemukan tempat ini saat masih kecil. Pohon ini bisa jadi rumah pohon yang keren. Pemikiranku langsung aku laksanakan untuk mengalihkan perhatianku, terutama untuk esok hari.

            “Ibu berangkat dulu ya? Maaf ibu tidak bisa menemanimu.”, ujarnya yang masih terus memegangi erat tanganku. Aku melepaskannya dan membiarkan ibuku pergi. Aku tidak ingin merepotkan dia lebih banyak lagi. Aku harus cepat sembuh, apalagi hari esok adalah hari yang tidak boleh kulewatkan dan harus dalam kondisi badan yang sehat. Hari itu, ibu tidak pulang sama sekali.

            Berjam-jam kemudian, aku berhasil membangun rumah pohon yang bisa dihuni dengan kemampuanku seadanya saja. Hebat juga aku. Aku kemudian menaiki rumah pohon itu dan melihat sekelilingku. Semua hijau tanpa ada seorang pun. Hening dan sunyi, membuatku pikiranku kembali ke masa-masa itu. Aku memang membenci keheningan yang membuatku merasakan kehidupan itu lagi, namun hari ini aku harus mengingatnya. Harus.

            “Iya, dengan rumahnya bu Lina. Ada apa?” Hari yang diguyur hujan itu juga ikut mengguyur hatiku yang paling dalam. Aku berlari dengan sekuat tenagaku, mengingat ibuku yang sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Hingga mencapai saat ini. “Apakah kamu Randi? Ibumu ada di dalam nak.”, ujar seorang suster. Aku melihat ibuku yang sudah tak berdaya. Sejak kapan dia seperti ini? Woy. Sejak kapan dia sekurus ini? Dia kemudian menyadari keberadaanku dan tersenyum diselimuti warna senja. Kau serius? Dia masih bisa tersenyum?

            “Besok ya? Apa yang harus kuberikan di tahun ini? Aku bahkan sudah tidak punya tempat tinggal lagi?” Aku akhirnya memutuskan untuk mencari bunga-bunga yang bagus di sekitar rumah pohonku. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk ditukarkan. Uangku ketinggalan di tempat preman-preman itu. Sialan. Pencarian di hari itu membuahkan dua tangkai bunga mawar dan satu buah manga. Beruntung, aku bisa menahan laparku dengan ini. Mangga ya?

            “Randi, mau mangga?” Mengapa ibu? Mengapa kau masih bisa bersikap seperti ini? “Randi, apakah punya keluarga lain?” Tanya seorang dokter. Aku mengatakan hanya aku satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh ibuku. Tidak ada seorang pun. Hanya aku dan ibuku. “Saya tidak ingin memberitahukan ini ke anak SMP sepertimu, tetapi Randi, kamu harus tahu ini.”, ujar dokter itu. Suara hujan seakan mengeras saat dokter itu mengatakannya. Hujan, apakah kau sengaja menutup telingaku? Namun, maaf, usahamu kurang maksimal. Aku masih bisa mendengar perkatannya, sialan.

            Orang-orang mulai bergegas dan berias di hari itu. Aku melewati sebuah kalender besar. “Malam tahun baru ya?” Aku melewati semua kerumunan itu. Aku rasa, aku memang seperti ini. Selalu ingin kembali ke hari itu, tidak bisa melangkah ke depan lagi. Betul kan, ibu? Aku akhirnya sampai di batu nisannya. “Bungaku yang kemarin sudah layu ya?”

            Hari-hari itu selalu aku habiskan bersama ibuku. Sekolah dan semuanya aku tinggalkan. Ibuku tidak punya energi lagi untuk menasehatiku. Dia juga seperti menerima, jika hari-harinya dihabiskan bersamaku. “Bagaimana bu? Makan malam apa kita bu?” Dia selalu menyerahkan pilihannya kepadaku, padahal dia jauh lebih penting. “Yaudah, ibu lagi ingin bakso.”, ujarnya. Malam itu, ibuku menikmatinya dengan lahap. Bakso kesukaannya. Dia mengatakan kalau sudah lama tidak memakan bakso ini. “Ibu juga ingin makan bakso ini besok.”, ujarnya. Berapa kali pun akan aku belikan bu.

            “Benar, berapa kali pun aku belikan bu.”, ujarku sambil menaruh bunga mawar itu di dekatnya. Aku melihat ke arah kota, di mana semua orang sedang menunggu dengan sukacita. Aku menatap ke arah mereka dengan perasaan iri dan cemburu. Sejak kapan kami tidak bisa menikmati momen-momen seperti mereka lagi? Sejak malam itu? Apakah betul? Ibu?

            “Ibu, sebentar lagi akan tahun baru, apa yang ibu inginkan di tahun baru nanti?” Dia menaruh tangannya di bahuku. “Ibu ingin kita makan bakso, tapi kali ini di mangkok yang ada gambar ayamnya.”, ujarnya. Ketawa kami berdua pecah di malam itu. “Tiga! Dua! Satu!” Kami berdua melihat ke arah jendela. “Randi. Terima kasih ya.”, ujar ibuku. “Duarrrr!!!!!” Ledakan keras itu menahan teriakan dan tangisanku. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang datang. Benar. Hanya kami berdua. “Selamat tahun baru semuanya! Semoga tahun baru ini kamu semakin senang!” Tangisanku di malam itu ditutupi oleh rasa senang mereka yang menyaksikan kembang api.

            Aku melihat ledakan besar itu di langit. Hembusannya sampai terasa ke tempatku berdiri. “Ibu, sepertinya aku tidak bisa. Hanya aku seorang.”, ujarku sambil duduk di sampingnya. Aku meletakkan bunga mawar di sampingnya dan beristirahat sebentar. Benar, hanya sebentar.

Ikuti tulisan menarik Almanico Islamy Hasibuan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB