Mendhung Angendanu - Gagasan Anti Mainstream tentang Perempuan Jawa
Senin, 6 Maret 2023 07:10 WIBMendhung Angendanu adalah novel berbahasa Jawa karya Ki Budiono Santoso Setradjaja. Dalam ovel ini digambarkan perempuan Jawa yang mandiri, berani memilih jalan hidupnya tanpa harus tergantung suami dan keluarga besar.
Judul: Mendhung Angendanu
Penulis: Ki Budiono Santoso Setradjaja
Tahun Terbit: 2022
Penerbit: Yasatri
Tebal: xvi + 303
ISBN: 678-602-17715-4-9
Stereotipe perempuan Jawa adalah perempuan yang penurut, pelayan keluarga yang hebat dan pendamping suami yang berbakat. Makanya tidak heran jika kita sering mendengar ungkapan wanita = wani ditata, yang artinya perempuan siap untuk diatur; swarga nunut neraka katut (sorga ikut, neraka terbawa). Jika sang suami berhasil, sang istri ikut menikmati. Tetapi kalau suami tak bermasalah, istri ikut sengsara.
Benarkah stereotipe perempuan yang demikian itu? Bukankan dalam cerita wayang Jawa kita mengenal tokoh Mustokoweni dan Srikandi yang mempunyai keberanian untuk memilih jalan hidupnya sendiri?
Di sisi lain, jika kita melihat kehidupan Kartini yang progresif dalam memperjuangkan pendidikan kaum perempuan, tetapi fokusnya masih pada pendidikan untuk kesejahteraan keluarga. Cora Vreede-de Stuers (2017) dalam bukunya ”Sejarah Perempuan Indonesia” menyimpulkan bahwa pergerakan perempuan Indonesia dimulai dengan isu domestik. Perempuan Indonesia menuntut supaya mereka diberi kesempatan belajar sehingga bisa memerankan diri sebagai ibu yang bisa mendidik anak. Pergerakan awal perempuan Indonesia jauh dari isu kesetaraan, apalagi hak menentukan jalan hidupnya sendiri.
Novel ”Mendhung Angendanu” karya Budiono Santoso Setrajaya (BSS) ini mengungkap tentang pergumulan perempuan (Jawa) sampai pada titik berani menentukan jalan hidupnya sendiri. Melalui novel berbahasa Jawa ini BSS menunjukkan kualitas perempuan Jawa yang dalam kondisi tertentu berani memilih untuk menjalani hidup dengan kemerdekaannya.
Baiklah saya cuplik serba singkat kisah yang ada di novel ini.
Reni, Anisah Anggraeni menikah dengan Agustan Saryadi (Agus), pemuda pilihannya. Reni mengagumi dan mencintai Agus kakak kelasnya saat kuliah karena Agus adalah seorang aktifis yang begitu giat memperjuangkan nasip rakyat. Reni tentu membayangkan kehidupan rumah tangganya akan penuh kebahagiaan karena hidup bersama dengan orang yang dicintai dan penuh tanggungjawab. Apalagi mereka dikaruniai 3 orang putra.
Namun ternyata pilihan Reni adalah pilihan yang salah. Ternyata Agus adalah orang yang sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya. Agus lebih sibuk mengurusi teman-temannya dan abai akan istri dan anaknya. Makin hari Agus semakin jarang pulang, tidak lagi menafkahi malah menggerogoti penghasilan Reni yang bekerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya. Agus menghabiskan segala harta yang dimiliki dan harta orangtuanya. Ide-ide bisnis yang dijalani oleh Agus sama sekali tidak masuk akal. Agus sangat mudah dimanfaatkan oleh teman-temannya. Namun Agus sama sekali tidak sadar bahwa ia sedang ditipu. Sudah tak memberi perhatian kepada keluarganya, jarang pulang, menghabiskan harta eh....selingkuh pula.
Agus menjadi lelaki yang paling menyebalkan. Mendhung Angendanu. Mendung tebal menyelimuti kehidupan Reni.
Reni akhirnya memutuskan untuk bercerai dan hidup mandiri. Reni yang awalnya bercita-cita menjadi ibu rumah tangga, kini harus menjadi wanita karir. Reni berubah dari sosok perempuan idaman dalam stereotipe perempuan Jawa menjadi seorang perempuan mandiri.
Memulai karir sebagai guru honorer dan memberikan les privat kepada beberapa siswanya, Reni akhirnya malah menjadi seorang karyawan di sebuah Biro Notaris milik Sri Mastuti. Ia kenal dengan Sri Mastuti karena memberi les kepada anak si pemilik Biro Notaris ini. Karir Reni menanjak sampai menjadi seorang kepercayaan.
Hubungan yang dingin Sri Mstuti dengan Dendhi suaminya membuat keduanya mempunyai affair. Sri Mastuti punya affair dengan seorang Effendi, seorang mitra kerjanya. Sedangkan Dendhi mempunyai affair dengan Reni. Reni bahkan sampai mengandung dan melakukan pengguguran kandungan. Kisah affair ini diceritakan dengan penuh ketegangan tetapi tidak vulgar.
Cerita ditutup dengan pernikahan Sri Mastuti dengan Effendi dan Reni dengan Dendhi.
Menarik untuk mengamati bagaimana tokoh Reni yang pada awal cerita berpandangan sebagai perempuan Jawa yang stereotipe, tapi kemudian menjadi seorang perempuan merdeka yang bertanggungjawab atas kehidupan keluarga dan dirinya sendiri.
Keberanian Reni untuk bercerai dan mandiri adalah sebuah keputusan yang berani sebagai seorang perempuan Jawa. Keberaniannya untuk mencari solusi bagi affairnya dengan Dendhi dan akhirnya menikah adalah juga sebuah tindakan yang luar biasa sebagai seorang perempuan Jawa. Dalam novel ini Reni tidak digambarkan sebagai seorang perempuan yang lemah dan menerima nasip begitu saja. Keputusannya untuk bercerai, untuk berselingkuh dan kemudian menikah dengan Dendhi adalah keputusan yang dilakukan secara sadar.
Saya mendapati bahwa BSS memberikan pandangan progresif tentang perempuan Jawa melalui novel ini. Perempuan Jawa bukanlah sosok yang lemah. Perempuan Jawa bisa menjadi seorang yang mandiri dan bertanggung jawab terhadap keluarga dan hidupnya jika situasi memaksanya. 731
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Kapan Kau Bilang Wo Ai Ni
1 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler