x

Sumber gambar: https://pixabay.com/tr/photos/peri

Iklan

Nadhila Hibatul

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2022

Selasa, 7 Maret 2023 08:59 WIB

Kehadiran Sandra dalam Pemetik Air Mata


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika Anda penggemar karya-karya Seno Gumira Ajidarma, kiranya tidak asing lagi dengan cerpen “Pelajaran Mengarang”. Cerpen epik tentang kisah anak pelacur ini, ditulis oleh Seno sekitar tahun 90-an menggunakan bahasa yang begitu membumi. Memang Seno dalam cerpen ini tidak menggunakan bangunan kalimat yang sulit dicerna oleh pembaca awam macam saya. Akan tetapi, ia begitu piawai meramu cerita, hingga saya pastikan para pembaca akan larut dalam kisah tokoh utamanya, yakni seorang anak pelacur bernama Sandra.

Lalu, tahukah Anda para pembaca “Pelajaran Mengarang” bahwa Sandra yang garapan Seno hadir kembali untuk menyapa para pembacanya setelah 10 tahun berselang?

Beberapa tahun lalu, ketika mengikuti kuliah Ilmu Pengantar Sastra, seorang dosen berhasil membuat kening saya bertaut-taut. Ibu dosen itu sekilas bercerita pada saya dan rekan kuliah tentang sebuah cerpen lanjutan dari cerita “Pelajaran Mengarang”. Tapi, yang membuat kami gemas, tidak disampaikan olehnya judul cerpen lanjutan itu. Hanya nama Agus Noor yang ia sebut sebagai sastrawan penggarapnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah mendengar sekilas cerita Bu Dosen, sebuah pertanyaan timbul tenggelam di kepala saya, “Ada ya, cerpenis yang nulis cerpen berdasar cerpen sebelumnya?”

Pertanyaan tersebut terjawab tiga tahun kemudian. Saya akhirnya menemukan sequel cerpen “Pelajaran Mengarang” setelah beberapa tahun memendam rasa penasaran. Judul sequel  cerpen itu adalah “Pemetik Air Mata”, sebuah judul yang terdengar cukup metaforis. 

Sebelum beralih pada "Pemetik Air Mata" garapan Agus Noor, sedikit saya beri gambaran tentang “Pelajaran Mengarang” jika Pembaca sekalian belum pernah membaca cerpen yang memelintir hati ini. “Pelajaran Mengarang” ditulis Seno pada tahun 1991 dan dimuat dalam harian Kompass pada 5 Januari 1992. Premis cerita ini menarik, yakni kebingungan seorang anak bernama Sandra ketika ia diminta oleh ibu guru menuliskan cerita pengalaman menyenangkan tentang keluarga.

Sandra sangat buntu tatkala menghadapi kertas dan pena, ia tak tahu harus memulai dari mana karena dirinya sama sekali tak beroleh gambaran mengenai keluarga bahagia. Kemudian Sandra mengingat tentang latar belakang keluarganya, tentang dirinya yang lahir dan dibesarkan oleh seorang pelacur, tentang mamanya yang kerap membacakan cerita menjelang tidur tetapi menjadi kasar dan suka main tangan sepulang kerja. Maka di detik terakhir pengumpulan tugas dari Ibu Guru, ia hanya menuliskan di kertasnya sepotong kalimat “Ibuku seorang pelacur”.

Sepuluh tahun berlalu tokoh Sandra si anak pelacur yang malang ini tumbuh menjadi seorang perempuan berparas cantik dalam “Pemetik Air Mata” garapan Agus Noor. Tidak hanya cantik, Sandra dewasa juga memiliki kehidupan mapan. Terbukti ketika awal cerita, dinarasikan seorang pengasong air mata menawari Sandra dari luar kaca mobilnya. Meminjam istilah Semiotika yang digagas Ferdinand de Saussure, properti mobil di sini adalah "sebuah penanda"  kemapanan seseorang.

Selain menjadi lebih mapan, sosok Sandra dalam “Pemetik Air Mata” juga telah bertransformasi menjadi seorang ibu. Berbeda dengan sosok ibunya yang dulu kasar dan suka main tangan, Sandra di sini merupakan ibu yang penyayang dan penuh perhatian. Seolah Noor ingin menegaskan bahwa Sandra ini adalah perempuan yang memiliki karakter kuat, sehingga pola asuh yang ia dapatkan ketika kecil sama sekali tidak berpengaruh pada keluarga barunya.

Entah kenapa sampai pada titik ini saya merasa bahwa Noor hendak mengangkat martabat Sandra dengan menunjukkan sejumlah perbaikan kualitas hidup tokoh ini. Dugaan saya, Agus Noor menaruh simpati pada Sandra kecil yang memiliki pengalaman-pengalaman hidup tidak mengenakkan,

Ternyata, dugaan saya keliru. Anggapan saya atas keberpihakan Noor pada Sandra itu dihancurkan saat tiba pada ending cerita. Awalnya saya merasa ayem karena pada cerpen “Pemetik Air Mata” Sandra memang tidak digambarkan sebagai wanita tunasusila seperti mamanya. Akan tetapi, saya terkejut manakala Noor di akhir cerita menarasikan bahwa Sandra adalah seorang istri simpanan. Sampai di sini saya merasa bahwa Noor tak ubahnya Seno yang memiliki pandangan bias gender.

Ya, barangkali rasan-rasan kali ini cukup sampai di sini saja. Untuk selebihnya Pembaca sekalian bisa membaca langsung cerpen ciamik karena Seno dan Agus Noor ini. Eureka!  

Ikuti tulisan menarik Nadhila Hibatul lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler