x

Mengatasi marah dengan mindfulness / Image by Shahariar Lenin, Pixabay

Iklan

Lullia Djung

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Maret 2023

Selasa, 7 Maret 2023 16:31 WIB

Terbiasa Memendam Emosi Bisa Jadi Depresi; Atasi Kemarahan dengan Mindfulness

Memendam rasa marah ternyata bisa menjadi penyebab gangguan kecemasan hingga depresi. Tapi jika kemarahan dikelola dengan baik akan mendorong tindakan positif. Salah satu mengelola emosi negatif ini dapat dilakukan dengan mindfulness, yang berarti menerima dan tidak berusaha menghilangkan rasa ini. Bagaimana caranya? Simak artikel berikut ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Jangan marah” atau “gak boleh marah” familiar dengan kalimat ini? Seruan ini muncul karena anggapan bahwa kemarahan adalah hal buruk yang harus dihindari. Anggapan ini banyak membuat orang harus bersusah payah memendam amarah. 

Sementara itu menumpuk rasa marah bisa menjadi penyebab gangguan kecemasan atau anxiety hingga depresi. Padahal pada dasarnya kemarahan adalah hal yang baik dan bisa mendorong tindakan positif. 

Kebutaan Emosi, Respon Maladaptif yang Berbahaya

Daniel Goleman, seorang ahli Kecerdasan Emosional menjelaskan bahwa kemarahan memang bisa menjadi destruktif ketika seseorang kehilangan kendali diri, terlalu gelisah sehingga tak bisa berpikir jernih, dan punya obsesi berlebih sehingga gagal dalam menjaga fokusnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi dalam artikel yang dipublikasikan melalui linkedin-nya, ia mengutip pendapat Dalai Lama bahwa kemarahan yang diarahkan dengan baik bisa bermanfaat dan kemarahan moral dapat mendorong tindakan positif.

Sayangnya masih banyak orang belum mengetahui bagaimana mengarahkan kemarahan ini dengan baik. Sehingga membuat orang lebih memilih untuk memendamnya yang justru berakibat fatal untuk kesehatan mentalnya. 

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menerbitkan Buletin Psikologi Volume 23, dalam jurnal berjudul Ekspresi Emosi Marah karya Safiruddin Al Baqi, dijelaskan bahwa banyak individu mulai dari dari anak, remaja bahkan orang dewasa sulit mengungkapkan secara lisan tentang marah yang dirasakan. 

Situasi ini disebut sebagai kebutaan emosi atau emotionally illiterate. Kebutaan emosi ini ditandai dengan kurangnya kemampuan dalam memahami perasaan dan memahami cara mengekspresikan marah yang dapat diterima secara norma sosial.

Sementara itu, kebutaan emosi ini akan mengarahkan seseorang untuk menginternalisasi kemarahan atau justru mengeksternalisasi kemarahan tersebut dengan cara yang merugikan.

Beberapa hasil penelitian dalam jurnal tersebut menunjukkan bahwa marah punya peran yang signifikan bagi timbulnya depresi. Seringnya memendam atau menginternalisasi kemarahan akan mengarahkan pada resiko kemungkinan bunuh diri, khususnya remaja.

Sementara kemarahan yang diekspresikan secara eksternal, akan memiliki kecenderungan terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol.

Ekspresi marah yang tidak terarah juga bisa dilakukan dengan respon maladaptif. Respon ini hanya akan mengalihkan emosi dalam jangka waktu pendek. Tapi akan menambah masalah dalam jangka waktu panjang. 

Contohnya pergi mencari orang lain untuk mendapatkan pengalihan sehingga tidak perlu lagi merasakan rasa marah (avoidance). Membunuh rasa di mana seseorang akan makan berlebihan, tidur berlebihan, bahkan minum alkohol untuk mematikan rasa yang sedang dirasakan (Numbing). Ada juga yang sampai melukai diri sendiri seperti menggores kulit dengan benda tajam dan lain sebagainya (self-harm).

5 Kriteria Intelegensi Emosi

Goleman dalam bukunya berjudul Emotional Intelligence menuliskan ada lima kriteria utama yang perlu dipelajari untuk seseorang bisa memiliki kemampuan dalam mengekspresikan emosinya dengan baik, termasuk menghadapi kemarahan. 

Pertama, seseorang harus mengasah kesadaran diri atau self-awareness. Dalam hal ini anda perlu meningkatkan kemampuan dalam mengenali dan memahami sebab kemunculan  rasa marah tersebut. 

Kedua, mengelola emosi di mana anda perlu belajar mengenai kemampuan dalam mengungkapkan kemarahan dengan cara yang lebih tepat. Bukan dengan cara yang agresif dan tanpa melakukan respon maladaptif.

Ketiga adalah memanfaatkan emosi secara produktif dengan rasa tanggung jawab dan pengendalian diri. Kita bisa melihat cara ini banyak dilakukan oleh seniman. Di mana mereka menciptakan karya seni dengan menggali emosi yang dirasakannya. 

Selanjutnya adalah empati atau kemampuan membaca emosi orang lain. Terakhir adalah kemampuan menjaga hubungan dengan orang lain. Di mana seseorang akan lebih terbuka untuk berbagi dan bersifat kooperatif dalam berhubungan dengan orang lain. 

Mengatasi Kemarahan dengan Mindfulness

Mengelola emosi sama seperti belajar bermain alat musik klasik, katakanlah piano. Semakin lama terbiasa menekan tuts, semakin mahir kita mengenali nada suara. Semakin sering membaca notasi balok semakin cepat kita beradaptasi dengan rumitnya deretan titik hitam di dalam bar. 

Semakin konsisten berlatih, semakin ringan jari jemari berpindah dari satu tut ke tuts lainnya. Dan seiring berjalannya waktu kita mulai menikmati permainan piano yang tadinya sangat rumit dilakukan.

Perlu waktu lama bahkan bertahun-tahun untuk dapat mengelola emosi dengan baik. Goleman mengatakan bahwa praktik ini perlu tertanam dalam pikiran sehingga bisa menjadi kebiasaan. 

Tapi untuk memulainya, anda bisa mempertimbangkan untuk menggunakan konsep mindfulness. Seperti saran dalam menghadapi emosi negatif yang diberikan oleh seorang psikiater bernama Dr. Tracey Marks melalui kanal youtubenya. 

Melalui cara mindfulness, anda akan berlatih menerima, mengenali dan mengamati emosi yang muncul seperti kemarahan, dan terakhir belajar mengenai kehadiran atau be present

Dr. Marks bahkan membuat template penerimaan diri yang bisa dipraktekkan sendiri di rumah, seperti:

Mengenali dan membiarkan emosi itu muncul

Tahap ini adalah latihan mengenali sumber kemarahan. Anda akan menemukan bahwa di balik kemarahan ini, sebenarnya anda hanya terkejut dengan situasi tertentu atau tidak setuju dengan pendapat orang lain. 

Anda bisa mengatakan pada diri sendiri bahwa tidak masalah jika marah dan anda bisa membiarkan diri untuk merasakan kemarahan tersebut. Kemarahan tidak membuat diri seseorang buruk. Untuk itu biarkanlah diri mengakui bahwa anda punya rasa marah itu. 

Buatlah ruang untuknya dan tidak perlu takut karena anda tidak akan melakukan tindakan agresif yang merugikan. Anda bisa mengendalikan diri sendiri. Untuk itu, tidak perlu lagi berusaha untuk menyingkirkan kemarahan tersebut.

Menjaga emosi

Selanjutnya anda akan menjaga emosi supaya tidak meledak dan membiarkannya seperti apa adanya. Emosi yang muncul terkadang memberikan dampak pada fisik. Seperti sakit punggung, kepala, pundak, dan lain-lain.

Biarkan sejenak anda mengamati kemarahan dan katakan pada diri sendiri bahwa anda tidak perlu terjebak di dalamnya. Rasakan sensasi dari dampak yang muncul pada fisik. Sambil mengatakan bahwa apa yang anda rasakan ini hanya kemarahan, tidak kurang dan tidak lebih.

Anda bukanlah kemarahan yang dirasakan saat ini. Anggap bahwa amarah ini seperti gelombang laut. Tak perlu berjuang melawan ombaknya, ikuti saja dan mengapunglah bersamanya. Katakan bahwa anda akan mengendarai ombak kemarahan ini sampai ke pantai.

Kehadiran (Be present)

Saat merasakan kemarahan, arahkan perhatian anda dengan kegiatan yang sedang anda lakukan. Perhatikan dan rasakan hal apa yang tertangkap lima indera yang anda miliki. 

Misalkan saat ini anda sedang memegang buku, rasakan tekstur kertas yang sedang anda pegang. Atau sekadar mendengar suara angin yang berhembus, mencium aroma kopi atau teh yang baru saja diseduh, dan merasakan bumbu rempah makanan yang sedang anda kunyah.

Alihkan perhatian anda kepada nafas anda. Bagaimana anda menarik nafas dan bagaimana menghembuskan nafas. Begitu seterusnya hingga anda merasa sudah sepenuhnya kembali kepada apa yang sedang anda lakukan saat ini.

Jika emosi itu datang lagi, kembali anda akan berkata “tak masalah, karena begitulah kerjaan emosi. Datang dan pergi begitu saja. Aku akan biarkan ia duduk bersamaku di ruangan ini, memperhatikannya, dan mengapung bersamanya mengikuti naik turunnya gelombang sampai tiba di tepi pantai.”

Anda bisa mengawali melatih emosi termasuk kemarahan anda dengan latihan ini secara konsisten. Mengutip kata Dr. Marks, “anda bukanlah emosi anda” jadi tidak perlu berusaha untuk lari dari kemarahan atau berusaha menyingkirkan kemarahan anda. Djung

Sumber:

Daniel Goleman, Dr. Tracey Marks, Jurnal Psikologi Volume 23

Ikuti tulisan menarik Lullia Djung lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler