x

Iklan

Rofi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Juni 2021

Jumat, 10 Maret 2023 07:16 WIB

Things Left Behind: Makna Kematian Dari Warga Korea Selatan

Buku Things Left Behind: Hal-Hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada ditulis sebagai perjalanan kisah Kim Sae Byoul dan Jeon Ae Won dalam menggeluti pekerjaannya sebagai pemberes barang-barang orang yang telah meninggal. Banyak kasus kematian yang mereka temui. Di tengah maraknya kasus kematian dalam keadaan seorang diri, mereka menguraikan adanya banyak masalah yang terjadi. Berbagai pihak memiliki tanggung jawab dalam mengatasinya terutama keluarga, orang sekitar, maupun pemerintah. Penulis mengingatkan kita tentang arti pentingnya saling mengasihi, percaya bahwa diri kita berharga, percaya adanya harapan, maupun makna sisa-sisa hidup dari orang terdahulu. Karena kekuatan itu yang mampu memberikan semangat hidup dan terhindar dari niat bunuh diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbicara soal kematian, hal apa yang terlintas dari pikirkan kalian ketika membahas tentang kematian? Apakah berkaitan pemulasaran, penguburan, sesuatu hal lain yang bernuansa menakutkan, atau sebuah pekerjaan yang berkaitan dengan kematian?

Mengulas tentang pekerjaan, ada beragam jenis pekerjaan unik yang berkaitan dengan kematian manusia. Beberapa contoh pekerjaan tersebut antara lain; penggali kubur, pembaca doa, pembuat kijing, penjual bunga tabur, serta sebagian orang memilih sebagai perias jenazah. Pekerjaan tersebut selain unik juga masih dianggap awam oleh sebagian besar orang, terutama pekerjaan sebagai perias jenazah. Hal ini dikarenakan proses kerja yang digeluti bersentuhan langsung dengan jenazah, di mana normalnya melakukan kegiatan rias diperuntukan untuk manusia yang masih hidup bukan untuk orang meninggal.

Tahukah kalian bahwa masih ada contoh pekerjaan unik lain yang berkaitan dengan kematian. Apakah itu? Pekerjaan tersebut adalah penyedia jasa membereskan barang-barang peninggalan orang yang telah meninggal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas buku menarik yang bersumber dari pengalaman kisah nyata pelaku usaha tersebut. Tidak sebatas pengalaman rinci dalam melakukan pembersihan ruangan, akan tetapi penulis membawa kita pada lorong waktu ke belakang untuk mengetahui lebih dalam situasi yang terjadi sebelum orang tersebut meninggal serta kondisi lingkungan terdekat yang ditinggalkan. Apakah sudah penasaran seperti apa dan karya siapa buku tersebut?

Tenang, sebelum kalian melanjutkan membaca tulisan ini, alangkah baiknya menyediakan tisu dan air putih terlebih dahulu. Setidaknya ketika kalian dalam keadaan sendiri, ia dapat menjadi teman dalam menyeka air mata yang perlahan menetes dan meredakan sedikit sesak di dada saat membaca rangkuman buku ini.

Baiklah, kali ini kita akan membahas buku yang berjudul Things Left Behind: Hal-Hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada. Buku hasil karya siapakah itu? Karya Kim Sae Byoul dan Jeon Ae Won. Melihat dari nama penulis, kita dapat mengetahui bahwa nama-nama tersebut adalah nama yang biasa ditemui di Negara Korea Selatan. Benarkah demikian? Ya, mereka adalah dua orang Korea Selatan dan telah lama berkecimpung di dunia jasa pembersihan barang-barang peninggalan orang yang meninggal.

Mereka mengungkapkan banyak kematian misterius yang ditemui setiap melakukan pekerjaannya. Ada rasa sedih, putus asa, penyesalan, dan hilangnya semangat hidup. Akan tetapi juga ditemukan kematian yang telah direncanakan dengan baik oleh orang yang meninggal tersebut. Yang jelas, sebagian besar kematian yang terjadi adalah kematian yang diliputi rasa kesepian diri dan berakhir mengakhiri hidup. Seperti apa pengalaman penulis dalam menjalani hari-harinya membereskan barang orang meninggal? Ingin tahu beberapa kisah di dalamnya? Mari kita mulai dari sini.

Memilih untuk menjemput kematian

Penulis mengawali tulisannya langsung dengan kematian tragis yang mampu menyesakkan dada. Kisah tersebut terjadi ketika penulis melakukan pekerjaannya di sebuah apartemen setelah mendapatkan telepon dari pengelola, bahwa di apartemennya terdapat penyewa yang telah meninggal di dalam kamar. Seperti biasa, kematian di dalam rumah atau di apartemen seringkali diketahui setelah beberapa minggu dari tanggal kematian. Sehingga bau busuk telah melingkupi di setiap sudut ruangan. Mereka baru menyadari bahwa orang yang meninggal tersebut adalah seorang pemuda dan memiliki kecerdasan yang baik. Terbukti dari penghargaan dan prestasi yang ia peroleh selama menimba ilmu di salah satu kampus ternama di Korea Selatan. Kematian pemuda tersebut sebetulnya kematian yang tidak diketahui motifnya. Hanya saja penulis adalah pekerja pemberesan yang telah berpengalaman. Bagi mereka, segala bentuk barang yang ditinggalkan, buku bacaan, maupun interior rumah yang digunakan mampu menjadi petunjuk dalam mendekati motif kematian tersebut.

 Mereka secara perlahan membereskan barang yang telah ditinggalkan oleh almarhum. Satu demi satu barang seperti buku catatan pribadi, sebuah kotak, dan sepucuk surat yang tertulis rapi mulai menuntun pada situasi yang amat getir sedang dirasakan oleh pemuda tersebut sebelum menjemput ajal. Barang tersebut menjelaskan secara singkat adanya beban besar yang sedang ditanggung oleh almarhum. Ia harus bersusah payah mengenyam pendidikan tinggi di Seoul, sedangkan ia punya cita-cita lain yang ingin dicapai. Sayangnya tekanan ekonomi lebih dahulu menghimpitnya untuk mengubur dalam cita-cita tersebut. Ia tak sanggup dengan beban tersebut dan memilih untuk menyudahi bebannya dengan bunuh diri.

 Tuntutan ekonomi dan sosial memberikan tekanan mental secara langsung bagi anak muda di Korea Selatan. Melihat kenyataan hidup yang tidak mudah mendapatkan sesuai yang ingin dicapai, banyak dari mereka yang terpaksa harus mempersingkat waktu istirahat setidaknya agar dapat memiliki modal cukup untuk mengikuti ujian kompetensi, masuk ke perguruan tinggi ternama, serta diterima di perusahaan ternama sesuai dengan standar keberhasilan hidup yang dibentuk oleh masyarakat. Tekanan mental tersebut kemudian semakin parah dengan hadirnya masalah asmara dan secara perlahan berdampak pada kesehatan pribadinya.

Penulis kali ini harus melihat kenyataan lokasi kematian yang dipenuhi dengan darah. Bau menyengat dari darah menjadi tugas awal mereka yang harus dituntaskan sebelum dilanjutkan dengan pemberesan barang-barang almarhum. Di lokasi tersebut telah terjadi tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan. Ia lebih memilih untuk mengakhiri hidup sebagai pilihan terakhir di tengah pilihan atas penyakit misterius yang diderita dengan melalui pengobatan paranormal atau memutuskan hubungan dengan orang terkasih. Mereka memahami betapa sepi dan susahnya sisa-sisa hidup perempuan ini. Beberapa kali mereka menemui kematian yang disebabkan dengan penyakit misterius dan suasana tempat tersebut kental dengan penderitaan.

Akhir pendidikan orang tua kepada anak

Korea Selatan telah lama menjadi negara dengan tingkat kematian akibat bunuh diri yang tinggi dengan rentang usia beragam, mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang dewasa. Kematian pemuda di atas adalah salah satu bukti kematian yang terjadi di Korea Selatan. Akan tetapi apakah motif kematian tersebut sudah cukup untuk membaca buku ini? Tentu tidak. Penulis telah menyuguhkan banyak pengalaman kematian lain yang tak kalah tragis dan mengiris hati. Jika sebelumnya kematian yang ditemukan adalah pemuda, kita akan lebih jauh melihat pengalaman penulis dalam menjalani tugas kerja mereka dan dipertemukan dengan kematian lainnya.

Kisah ini menjadi menarik setelah penulis penasaran dengan latar belakang dan kondisi isi kamar pelaku dan korban. Ya, korban pembunuhan tersebut tidak lain adalah seorang ibu yang direnggut nyawanya oleh anak laki-lakinya. Membaca kisah tersebut nyatanya dapat membuat kita merinding. Pembunuhan ini sebetulnya seperti bom waktu. Ia bisa meletus kapan dan di mana saja. Anak laki-laki tersebut tumbuh sebagai anak yang cerdas dengan tekanan fisik dari Ibu. Ia dituntut untuk menjadi siswa terbaik, harus menjadi juara satu. Sehingga ketika hasil yang ia peroleh tidak sesuai dengan obsesi Ibu, ia harus menanggung akibatnya dengan menerima kekerasan fisik.

Pada hari itu ia menerima hasil ujian dan tidak berhasil sebagai juara dalam ujian tersebut. Sang ibu kemudian memberikan ‘ganjaran’ kepadanya sebagai konsekuensi karena tidak berhasil menjadi juara dalam ujian tersebut. Tidak berhenti sampai disitu, sang ibu juga berniat melanjutkan pembicaraan kembali dengan anaknya pada keesokan hari.

Rasa trauma, tertekan, dan stress bercampur menjadi satu untuk menghadapi hari esok, berharap sang ibu tidak bangun dari tidurnya. Momen inilah menjadikan situasi yang kian menegangkan dan mengerikan. Ia bagaikan pelaku yang siap menarik tuas bom untuk secepatnya diledakkan. Berbekal berbagai jenis pisau yang ia miliki, ia kemudian melakukan pembunuhan kepada sang ibu. Ia pun berupaya memastikan agar ibunya meninggal dengan melakukan pengeleman pada celah-celah pintu. Akhirnya ibu berakhir meninggal dan membusuk di kamar.

Setelah kasus pembunuhan ini terungkap, putra mereka ditangkap oleh polisi. Ia melontarkan pertanyaan “Ayah, apapun yang terjadi, Ayah tidak akan membuang aku, kan?.” Pertanyaan yang begitu dalam akan sarat makna. Ia membutuhkan kehangatan suasana keluarga, hanya saja rasa yang ia dapatkan ialah rasa sakit di sekujur tubuh.

Obsesi orang tua kepada anak sering kita temui di sekeliling kita. Banyak orang tua yang menuntut anak mereka untuk menjadi juara kelas, menguasai semua mata pelajaran, lulus universitas ternama, bekerja di kantor pemerintahan, menjadi PNS, maupun macam tuntutan lain. Sayangnya masih sedikit orang tua yang memahami bahwa obsesi mereka ini justru menjadi tekanan batin, mental, serta fisik bagi anak mereka. Sehingga penting bagi orang tua untuk dapat terbuka dan membuka ruang dialog dengan sang anak untuk membicarakan obsesinya maupun keingin dari anaknya.

Tumbuhan rindu yang telah layu

Hubungan kedekatan anak dengan orang tua perlu dibalut dengan komunikasi yang baik antar anggota keluarga di dalamnya. Melalui budaya komunikasi yang baik, satu sama lain dapat menyampaikan rasa kerinduan tanpa harus ditutupi dengan bentuk yang lain. Jangan sampai rasa kerinduan tersebut baru diketahui oleh keluarga setelah meninggalkan dunia.

Penulis melakukan pemberesan barang-barang di sebuah rumah dengan penuh pertanyaan. Mereka terheran-heran dengan berbagai jenis barang dalam kondisi baru dan belum terbuka. Rasa penasaran tersebut semakin bertambah setelah anak almarhum meminta agar barang baru yang telah bertumpuk tersebut agar dibuang. Ia kemudian menceritakan bahwa mendiang ayahnya semasa hidup memiliki kebiasaan buruk. Ia sering mendatangi swalayan untuk mencuri barang-barang di toko dan menumpuknya di rumah. Benar saja, hasil curian yang ia peroleh tidak pernah ia pakai dan hanya ditumpuk seperti sampah.

Secara medis, kebiasaan seperti ini dapat disebut sebagai kleptomania atau penyakit mental seseorang yang memiliki kebiasaan tidak bisa mengontrol untuk melakukan tindakan pencurian. Penulis juga memberikan istilah lain yang berkaitan dengan kebiasaan tersebut. Penulis menduga bahwa kebiasaan mencuri dilakukannya untuk melampiaskan rasa kesepian yang telah membuat almarhum menderita. Ia menutup rasa kesepiannya dengan menggunakan briket.

Dari kematian ini, kita dapat memahami bahwa kehadiran keluarga menjadi penting dalam menghadapi depresi karena rasa kesepian yang membabi buta. Apabila sedikit saja keluarga lebih dahulu mengetahui bahwa salah satu anggota mereka mengalami kecanduan sebagai sebuah penyakit mental, setidaknya akan ada satu orang yang terselamatkan hidupnya dan keluarga tersebut dapat memperbaiki hubungannya satu sama lain. Hanya saja nasi telah menjadi bubur, kematian telah dipilih oleh almarhum untuk menuntaskan rasa sepinya.

Lagi dan lagi kesepian mampu menggoyahkan semangat hidup manusia. Penulis beserta karyawannya mendatangi sebuah rumah. Tidak ada barang-barang yang mencurigakan sebagai penyebab kematian perempuan tersebut. Isi rumahnya pun terbilang mewah dan dilengkapi dengan perabotan yang mahal. Mereka kemudian menemukan sebuah rincian pengeluaran belanja dan diketahui ia bersama anjing peliharaannya mendiami rumah ini. Setelah salah satu tetangga mendatangi mereka, akhirnya baru diketahui bahwa perempuan tersebut bekerja sebagai paranormal yang terletak di sebelah rumahnya dan ditemukan juga anjing peliharaanya dengan kondisi yang memprihatinkan. Tapi bukan soal paranormal, kematian ini jauh lebih pilu dari yang penulis kira.

Adik dari perempuannya menceritakan bahwa kakaknya dianggap sebagai sosok yang begitu sempurna di dalam rumah. Ia memiliki penampilan yang menarik maupun pekerjaan yang baik. Masalah di keluarga mereka pun timbul setelah sang kakak mendadak hilang dan tidak pernah pulang. Situasi ini nyatanya membuat sang ibu mengalami sakit keras atas kepergian anaknya. Kabar kesehatan sang ibu ternyata sampai kepada perempuan tersebut.

Ia menulis untaian kata sedih yang tersusun rapi di dalam buku catatannya. Isi dari catatan tersebut tidak lain ungkapan rindu yang telah menggunung kepada sang ibu. Kabar tersebut membuatnya merasa bertanggung jawab atas keputusannya keluar dari rumah dan membuat sang ibu merasakan sakit yang dialami. Perlahan ia mencoba mengobati rindu dengan membeli barang-barang mahal. Sayangnya, rindu adalah rindu yang harus dibayar dengan tuntas. Semakin mencoba mengalihkan perhatian, ia semakin terperosok pada kerinduan yang mendalam kepada sang ibu. Ia tak sanggup menahannya dan memilih menuntaskan rindu itu dengan menjemput kematian.

Terdapat tiga kerinduan atas kematian ini. Pertama, sang ibu yang menantikan kepulangan anak perempuan kesayangannya ke ruma. Kedua, sang anak yang rindu kehadiran sang ibu di tengah kesepiannya atas keputusannya menjadi paranormal, serta kerinduan ketiga yaitu rasa rindu yang tulus dari anjing kepada tuannya yang telah meninggal. Tumbuhan rindu itu kini telah layu. Ia hanya menyisakan kenangan bahwa dahulu pernah tumbuh subur dan terurus baik.

Bukan aku, tapi hartaku yang dicari

Banyak cerita pilu kerinduan orang tua maupun anak di dalam keluarga. Akan tetapi juga tidak sedikit pula cerita pilu tentang kematian orang tua yang justru ditunggu oleh sang anak. Mereka sadar bahwa orang tuanya yang meninggal dunia meninggalkan banyak harta untuk mereka. Sehingga mereka dapat dengan mudah menguasai dan menghabiskan harta tersebut.

Pemberesan hari itu benar-benar direpotkan dengan hebohnya anak almarhum di dalam rumah. Mereka datang bukan bermaksud untuk membantu dan mempermudah pemberesan agar cepat selesai, malah membuat semua barang menjadi berantakan. Benar saja, mereka mencari surat sertifikat tanah yang disimpan mendiang orang tuanya.

Para pemberes kemudian melanjutkan pekerjaannya dengan mengangkut semua barang ke dalam kendaraan. Ada satu pigura foto almarhum yang sudah dibersihkan dan berniat diberikan kepada mereka. Sayangnya mereka melakukan penolakan dan melemparkan ke dalam kendaraan pemberes. Tanpa disadari justru pigura tersebut menyimpan banyak uang dan berhamburan. Dengan rasa malu anak-anak ini kemudian segera memungut dan menghitung uang tersebut. Pemberes kemudian menyerahkan foto kepada mereka dengan menyampaikan “Mungkin Anda mau menyimpan foto ini.” Sayangnya tidak ada satupun anak mereka yang mau menerima dan justru pergi tanpa rasa sedih kematian orang tuanya. Nasib naas diterima almarhum. Kepergiannya tidak ada artinya bagi anak-anaknya dibanding harta yang ia tinggalkan.

Sudah menjadi rahasia umum banyak kasus perebutan harta sepeninggal orang tua. Sampai-sampai hubungan antar saudara bercerai-berai hanya karena perbedaan jumlah harta yang diterima. Susah memang jika harus dihadapkan dengan situasi seperti ini. Akan tetapi, kita hanyalah manusia yang nantinya juga akan menyusul dan mendiami liang lahat. Apakah salah orang tua dalam mewariskan hartanya? Ataukah salah anak mereka yang berusaha ingin menguasai harta tersebut? Akan tetapi perebutan harta sewajarnya bukanlah hal wajar untuk dipermasalahkan. Mengingat harta tersebut adalah warisan, bukan harta yang diperoleh dari hasil keringat pribadinya.

Beberapa kali penulis melakukan pemberesan barang-barang orang meninggal, penulis merasa tak nyaman atas perlakukan anak almarhum. Ia pernah melakukan pemberesan pada jenazah yang sudah membusuk dan tidak dapat dikenali. Proses pemberesan tersebut awalnya ditemani oleh anak almarhum. Tidak ada yang mencurigakan dari gelagat anak tersebut, sampai diangkatlah selimut listrik yang menjadi penyebab kematian almarhum. Lalu terlihat jelas banyak lembaran uang yang berserakan di bawah selimut tersebut. Ternyata itulah yang ia cari, segera anak itu memungutinya dan berpesan kepada penulis untuk pamit meninggalkan rumah. Tentu tindakan tersebut sangat membuat tidak nyaman bagi pemberes barang-barang. Penulis pun mempertanyakan apakah anak itu tak ada rasa kasihan atau bahkan bersalah atas kematian orang tuanya di atas selimut listrik yang panas itu?.

Kematian yang damai

Jika masih harus mengingat kematian orang tua yang tidak artinya bagi anak mereka, kita bisa membayangkan kesedihan para almarhum melihat dari dunia lain atas perlakuan anaknya tersebut. Bahkan sekedar mengenang mereka dari foto pun keberatan. Meski demikian, itulah manis pahit hidup yang mereka jalani sebagai keluarga. Berbeda dengan cerita di atas, kasus yang didatangi penulis kali ini mengakhiri hidup dengan kebahagiaan.

Rumah yang didatangi oleh penulis sesuai arahan klien adalah rumah dari mantan hakim agung. Almarhum menjalani hidupnya dengan tanpa menikah. Sepintas kita akan membayangkan betapa sepinya hidup yang dialami oleh almarhum sampai meninggal tanpa adanya keluarga maupun. Saudara seusianya pun telah meninggal lebih dahulu darinya. Sayangnya penulis maupun kita telah terkecoh. Secara fisik benar, dia mengisi hidupnya seorang diri di rumah. Akan tetapi berdasarkan cerita dari teman dekatnya, almarhum rutin memberikan makan kepada tunawisma dan menganggapnya sebagai teman, bukan karena rasa belas kasihan. Banyak tunawisma yang mengunjungi kediamannya. Mereka saling bercerita, menonton bola, bahkan melakukan aktivitas masak bersama.

Almarhum meninggal saat sendirian di dalam rumah. Tapi tidak dengan perjalannya sampai di liang lahat. Puluhan tunawisma berbondong-bondong ingin mengantarkan kepulangannya. Kisah ini dapat menyentuh hati, di mana hubungan almarhum dan tunawisma bukanlah hubungan keluarga atau kerabat dekat. Hanya saja mereka menyadari adanya rasa kesepian yang sama dan mencoba keluar dari zona itu dengan saling berbagi cerita.

Mereka adalah teman yang tidak pandang untung rugi, mereka mengumpulkan keeping demi keeping kebahagiaan untuk bisa dinikmati bersama. Sungguh siapapun yang tidak ingin memiliki hubungan pertemanan seperti itu. Lantas, bagaimana dengan pertemanan dengan orang sekitar kita? Apakah hubungan itu justru disandarkan dari untung rugi dari manfaat pertemanannya ?. Kita dapat belajar dari kematian ini, bahwa semakin besar kebermanfaatan yang kita berikan semasa hidup untuk lingkungan sekitar, kebermanfaatan tersebut lahir sebagai benih kebaikan. Terlepas dari kebaikan itu berwujud dalam bentuk apa, biarlah kebermanfaatan yang terlihat dan mengisi sesaknya dunia.

Dari secuil kisah kematian misterius di buku yang dijabarkan di atas, penulis berupaya secara tidak langsung ingin menyampaikan empat hal yang dapat dipelajari dari kisah-kisah kematian. Pertama, pentingnya saling mengasihi antar sesama. Keluar masuk rumah mereka orang meninggal telah menjadi aktivitas keseharian bagi penulis. Ia melihat berbagai jenis kematian tragis, latar belakang keluarga yang menyayat hati, maupun kekesalannya kepada orang yang ditinggalkan tanpa merasa kehilangan. Ia merasa banyak kekosongan antar anggota keluarga yang menjadi penyebab kematiannya misterius.

Kekosongan tersebut bersumber dari rendahnya intensitas komunikasi yang setara. Anak yang menerima tekanan mental maupun fisik, anak yang hanya menanti harta peninggalan orang tuanya, serta orang tua yang memilih untuk mati dalam kondisi kesepian adalah bukti konkret bahwa ada komunikasi yang tidak tuntas di antara mereka. Lantas seperti apa yang cara yang bisa dilakukan?

Kehangatan keluarga tercipta ketika anak maupun orang tua saling menaruh perhatian. Penulis merasakan mati dalam kondisi sendirian tidak lain para almarhum sebelumnya telah menjalani hidup dengan penuh rasa kesepian. Penulis menyerukan kepada kita untuk setidaknya meluangkan waktu “30 detik” saja mencurahkan rasa perhatian kepada orang-orang yang kita sayangi. Hal ini setidaknya untuk terus menumbuhkan alam bawah sadar satu sama lain bahwa mereka memiliki sesuatu yang berharga selama hidup, yaitu keluarga.

Terlepas dari kehangatan keluarga, lingkungan sekitar juga memiliki tanggung jawab dalam membangun hubungan erat satu sama lain. Perkembangan zaman yang semakin cepat juga diikuti dengan rendahnya kepedulian dengan sekitarnya. Banyak kematian yang diketahui oleh orang sekitar, Alih-alih melaporkan ke pihak berwenang, justru membiarkan dan menutup pintu rapat-rapat agar bau busuk yang menyebar tersebut tidak masuk ke rumahnya.

Penulis secara pribadi merasakan protes secara langsung dari para tetangga yang mengetahui adanya kematian misterius, mereka menyalahkan kematian almarhum karena membuat lingkungan menjadi terganggu atas bau busuknya. Jasad yang telah menyisakan bau busuk pun masih harus menerima cercaan dari para pemilik rumah yang menyewakan rumah untuknya. Hal ini karena kematiannya membuat pemilik rumah harus mengeluarkan uang lebih guna menggunakan jasa pemberesan barang serta membuat usahanya menurun atas kasus kematian di rumahnya.

Perhatian dan kepedulian adalah harapan bagi setiap orang yang merasa kesepian. Seandainya ada setitik perhatian dan kepedulian yang diberikan secara tulus kepada para almarhum, itu akan menjadi harapan sekaligus penyelamat nyawanya dari kematian yang begitu sepi. Ketika tumbuh harapan hidup, setidaknya mereka dapat menyadari bahwa tidak sedang sendiri karena orang disekelilingnya memberikan ketulusan hati dan perhatian penuh kepadanya. Semangat inilah yang ditunggu agar ia dapat melanjutkan hidup dengan baik. Begitulah pentingnya saling mengasihi antar anggota keluarga. Sebuah kekuatan yang mampu melindungi siapapun ketika berhadapan dengan jurang kematian yang memilukan.

Hal kedua yang bisa dipelajari dari orang terdahulu yaitu, memaknai bahwa diri kita berharga di dunia ini. Penulis menemukan bahwa beberapa kematian lain dengan pola latar belakang bahwa almarhum melupakan satu hal penting dalam hidupnya. Mereka lupa bahwa dengan segala keterbatasan mereka adalah manusia-manusia yang berharga. Kematian pemuda karena upayanya untuk mendapatkan pekerjaan sesuai di perusahaan bagus dan diterima di universitas ternama di Korea, menunjukkan betapa susahnya dia berjuang sendirian dan memeras habis tenaga maupun pikirannya. Penulis memahami bahwa kesusahan adalah kesusahan, ia sebetulnya membutuhkan pertolongan bahwa jika tidak mendapatkan pekerjaan di perusahaan bagus maupun masuk di universitas ternama bukanlah sebuah kegagalan akhir, dan itu wajar.

Kita seringkali dibebani bahwa anak pintar itu yang diterima di kuliah ternama, lolos PNS, menjadi pegawai pemerintahan, menjadi abdi negara, ataupun wirausahawan dengan banyak harta dan lain-lain. Sampai lupa bahwa setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dan mereka memiliki hak atas pilihan hidupnya. Jika pilihan hidup kita adalah suatu hal yang berharga, tentunya juga berlaku kepada orang lain. Sayangnya manusia membuat kelas-kelas tentang hidup, ada hidup yang dianggap memiliki kelas tinggi ataupun hidup yang dianggap hina. Sehingga tidak sedikit dari mereka lupa telah menukarkan nyawanya hanya untuk memperoleh posisi kelas hidup yang mereka inginkan.

Persoalan konsep kelas hidup manusia secara tidak langsung ditentukan dari kemampuan segi ekonomi yang dihasilkan. Artinya, kualitas hidup mereka dapat terjamin dan dianggap sukses ketika mencapai kemampuan dalam segi ekonomi. Lantas bagaimana dengan yang tak mampu? Mereka mudah terlupakan dari orang terdekat, tertinggal, dan kondisi itulah yang menurunkan rasa percaya diri dan semangat hidup.

Penulis melihat orang terdahulu yang memilih kematian dengan meminum obat tidur tidak lain karena tidak ada keberanian dari mereka rasakan untuk merasakan kesakitan secara langsung. Akan tetapi mereka memiliki keberanian untuk mengakhiri hidupnya. Pesan yang ingin diberikan oleh penulis kepada kita bahwa “Jika kamu mempunyai keberanian untuk mengakhiri hidupmu sendiri, jalanilah hidupmu dengan keberanian itu.”

Rasa emosional penulis tentang betapa berharganya diri kita adalah ketika ia bangga dengan pekerjaannya yang telah ia geluti sejak usia muda. Sebagai pemberes barang-barang orang yang meninggal, ia menganggap dirinya telah membantu almarhum untuk pindah ke alam kedamaian, yaitu surga. Ia merasa memiliki peran penting dalam menghapus jejak kematian, kenangan-kenangan yang menyakitkan bagi almarhum, maupun kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Sebuah kenyataan yang harus diterima oleh masyarakat, bahwa pekerjaan tersebut menjadi pekerjaan yang sangat dibutuhkan.

Adapun hal ketiga yang dipelajari dari orang yang telah meninggalkan kita yaitu percaya adanya harapan di titik terendah hidup. Di dalam buku tersebut, penulis menceritakan pengalaman kerja pemberesan barang di tempat kematian yang tak sanggup ia melanjutkan, sehingga pekerjaan tersebut diambil alih oleh karyawannya. Hatinya tak karuan, ia tak sanggup jika keadaan seperti itu terjadi kepada anak perempuannya. Ia berpikir bahwa anak sebagai manusia yang dimiliki Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan orang tuanya. Ia berhak memiliki hidupnya sendiri, meskipun dia lahir dan dibesarkan oleh orang tua. Sayangnya sampai detik ini banyak orang tua merasa anak adalah miliknya secara penuh.

Orang tua menuntut anak untuk senantiasa mengikuti segala perintahnya. Ia seakan memiliki kuasa penuh atas hidup anaknya. Mereka tidak segan menentukan hobi anaknya, mengatur apapun aktivitasnya, sampai tidak memberikan dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri kepada anak. Apakah ketika orang tua mengajak bunuh diri, anak juga harus mengikuti? Tentu tidak. Justru sikap orang yang yang berniat menguasai anak adalah sikap yang salah. Kalaupun kematian itu sudah dekat untuknya, setidaknya berilah harapan hidup kepada anak. Karena mereka dengan usianya yang belia, kematian tidaklah lebih baik dari menjadi seorang anak yatim/piatu.

Percayalah, bahwa selalu ada harapan di setiap titik terendah kita. Manusia tidak diciptakan hanya untuk meratapi nasibnya. Kita bisa merasakan kebahagiaan maupun kesusahan di dunia ini. Jika kita bisa menerima datangnya kebahagiaan, kenapa kita harus menolak saat-saat kesusahan? Jika mau dihitung, sebetulnya kebahagiaan yang kita dapatkan jauh lebih besar dari kesusahaan yang hadir di kehidupan kita. Hanya saja kita tidak menyadari itu. Sekali lagi penulis mengingatkan kita bahwa “keberadaan kita adalah peristiwa yang paling istimewa sejak alam semesta ini diciptakan.” Apakah itu masih tidak cukup bagi kita? Menjadi Makhluk istimewa yang diciptakan untuk mensyukuri setiap sudut bumi ini. Untuk itu, kita harus bangkit dan terus melanjutkan hidup ini.

Pelajaran keempat yang dapat dipetik dari cerita kematian ini adalah yang tersisa dalam hidup. Cukup sulit untuk memahami maksud dari penulis kali ini.  Akan tetapi penulis menguraikan pandangannya atas kasus kematian yang ditemuinya dan dapat membantu kita memahami maksud tersebut, antara lain; kepemilikan rumah, mobil bagus, pakaian, kekayaan, gelar kehormatan, pekerjaan yang mapan, maupun pencapaian yang lain bukanlah sesuatu yang sangat berarti bagi kita. Hal ini karena ketika kematian telah datang tidak semua hal yang kita capai dapat ditinggalkan dan memiliki nilai manfaat untuk orang terkasih yang kita tinggalkan. Satu hal yang justru sangat berarti menurut penulis ialah “kenangan kita yang mengasihi”. Karena kenangan itu justru mampu bertahan lama dan mampu memberikan rasa hangat yang mendalam bagi orang yang kita tinggalkan. Dengan sedikit saja melepaskan obsesi diri dan pengkultusan pada materi, kita jauh lebih mudah untuk mengasihi kepada orang yang kita kasihi.

Anjing itulah yang menjadi teman setia almarhum sampai akhir hayat. Begitulah kira-kira penulis menggambarkan situasi dan belajar dari kematian seorang nenek. Menurut penulis manusia dapat dengan mudah terhibur dengan binatang peliharaannya. Hal ini karena manusia telah sering merasakan luka hati, diabaikan, dikhianati, bahkan dimanfaatkan oleh sesama manusia. Hal ini berbeda dengan hewan yang tidak bisa berbicara selayaknya manusia, tapi nalurinya mampu mengasihi sebagai sesama makhluk hidup. Ketika sang tuan meninggal, ia pun bisa merasakan kesedihan yang mendalam dan tetap berharap tuannya hidup kembali. Ialah yang tersisa dari kematian tuannya.

Kritik penulis mengenai kejadian-kejadian kematian seorang diri, menurutnya kematian seorang diri hanyalah manusia yang berakhir hidupnya karena telah dibuang oleh keluarga atau orang miskin yang tidak dapat mendapatkan perhatian. Ketika sudah meninggal barulah keluarga berbondong-bondong mengurus jenazahnya. Bukankan perhatian itu layaknya didapatkan oleh almarhum ketika masih hidup? Sudah saat ini kita memiliki tanggung jawab untuk saling memberi perhatian kepada keluarga yang masih hidup. Karena dengan kekuatan itulah setiap individu dapat dengan kuat mengatasi rasa takut dari kematiannya.

Lengkaplah empat hal yang bisa kita pelajari dari pengalaman penulis dalam menemui kematian seorang diri. Semakin penasaran dengan cerita lengkap pengalaman penulis di buku berjudul Things Left Behind: Hal-Hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada?. Kita dapat memetik nilai-nilai filosofi dari kematian seseorang dalam kesendiriannya yang terjadi di Korea Selatan. Kita juga dapat belajar meminimalisir kematian seorang diri dengan saling mengasihi dan memberikan perhatian kepada keluarga. Setelah membaca ringkasan buku ini, barangkali sekarang adalah waktu yang tepat buat kalian untuk menjadikannya koleksi bacaan. Buku ini sangat pantas untuk dikoleksi dan dibaca oleh kalangan remaja sampai dewasa, khususnya yang telah berkeluarga. Karena peran keluarga memiliki peranan penting untuk saling membangun spirit rasa kasih sayang dan meningkatkan semangat hidup.

Ikuti tulisan menarik Rofi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler