x

Kopi dan Rokok di Pojok warung kopi berpadu dengan harapan

Iklan

Yulianus Degei

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Kamis, 9 Maret 2023 15:35 WIB

Harapan di Pojok Warung Kopi

Tulisan ini menncerditakan seseorang yang berjuang tentang seseorang yang berjuang cintanya tanpa kenal menyerah, tak takut kecewa, bahkan tak takut dicampakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Satu hal yang membuat orang tetap menanti seseorang adalah harapan. Perasaan yang tak pernah lelah meski sering kali dihajar kecewa, namun memilih untuk tetap menanti. Berkali-kali diderah luka dan tangis, namun memilih untuk tetap ada. Bahkan saat dia bunuh dengan sangat kejam, perasaan itu masih saja bertahan. Sakit hati bukanlah hal yang harus dijelaskan. Hanya saja ada yang lebih kuat dan tak mampu dijabarkan. Sesuatu yang tak tampak, namun membuat bertahan meski terancam untuk dicampakan, meski sesal memenuhi ruang hati. Barang kali orang-orang menyebutnya cinta buta. Namun, sesorang percaya itulah disebut cinta.

Jam dinding di pojok warung kopi menunjukan pada angka 10 malam, langit tak lagi terang, terlihat sesorang masih termenung disana, tak bergerak karena takdir Tuhan sedang menyapa, hujan yang sedari tadi bertemu bumi belum juga menunjukan tanda redahnya, tiba-tiba saja perasaan itu datang menemaninya dalam dinginnya malam itu. Perasaan yang membuatnya tak ingin melakukan apapun selain menikmati kopi dan rokok yang ada diatas meja didepannya. Saat itu datanglah seorang menghampirinya. Kedatangannya malam ini tentu saja tak menggagetkan dia karena hampir setiap malam orang tersebut selalu menghampirinya. Entah untuk sekedar menyapa atau mungkin punya maksud lain yang dia tahu. Saat ini dia sedang menikmati kopi dan rokok bersama dengan setiap tusukan yang selalu ia terima.

Seorang pelayan berlalu di hadapannya, dia memesan lagi segelas kopi pahit yang keduanya. Malam ini pemuda bernama Julian itu tak sendiri, dia bersama Petrus sahabat terdekatnya sewaktu SMA. Petrus pribadi kekinian yang selalu Julian kagumi, meskipun terkadang menyebalkan tetapi dari kepalanya seringkali lahir ide-ide cerdas. Berpakaian rapi dan Android dalam genggaman tangan kanan Petrus adalah ciri khasnya. Petrus melirik Julian sekali-kali, bingun melihat tingkah Julian yang sedari tadi hanya diam, dan Petrus memulai membuka obrolan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “Kenapa diam saja? Ada masalah?” tanya Petrus sambil terus menatap layrr Android di hadapannya.

“Aku sedang memikirkan Tina,” jawab Julian.

“Memikirkan Tina?” Petrus bertanya lagi.

“Apa yang dia lakukan sekarang ya?” jawab Julian sambil menyedup seteguk kopi.

“Mungkin sedang mengerjakan tugas, tidak usah kau pikirkan dia terus.” Petrus mencoba menjawab pertanyaan Julian.

“Apa aku menghubunginya saja?” tanya Julian dalam pikirannya terlalu gelisa.

“Jangan ganggu dia, ini sudah malam, mungkin dia sedang belajar atau beristrahat,” Petrus mencoba menenangkan Julian.

Namanya Tina, mahasiswa kedokteran yang Julian sukai diwaktu SMA, Mereka satu kelas. Menurut Julian, Tina adalah pribadi yang diciptakan Tuhan sambil tersenyium. Selalu saja membujuk Julian untuk lebih mengetahui tentangnya. Rasanya baru kemarin Julian menikmati senyiuman manis tipis dibibir Tina, dan sekarang Julian sudah dibuat rindu lagi oleh Tina. Entahlah, senua berlalu begitu cepat. Tina hadir, lalu kebahagian terjadi begitu saja. Tina melanjutkan kuliah disalah satu Universitas di Jawa, bukan karena kemauan diri tetapi karena keingina orang tuanya. Bagi Tina pilihan orang tua adalah yang terbaik untuknya.

Akhirnya kopi pesanan Julian tiba, tak perlu waktu lama menunggu pesanannya karena suasana warung kopi malam ini memang tidak sedang ramai seperti biasanya. Julian berusaha mengamati Petrus, malam ini Petrus terus saja sibuk mengutak-atik Android kesayangannya. Belum selesai Julian mengamatinya, kali ini Petrus menatap balik dengan pandangan tajam.

“Memangnya kamu masih menyukai Tina?” tanya Petrus tiba-tiba.

Julian berusaha mengalihkan pandangan kearah laptopnya. Menurutnya pertanyaan yang diajukan Petrus kali ini sama sekali tak perlu dijawab. Mungkin sudah ratusan kali Petrus menginterogasinya dengan pertantanyaan yang sama dan tak ada yang akan berubah dari jawaban Julian.

“Bukannya ia makin dekat dengan anak kelas sebelah?” Lanjut Petrus.

Julian terdiam mencoba mencerna pertanyaan tersebut, mencoba manarik nafas Panjang dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Kira-kira begitulah cara Julian menetralkan diri. Julian hampir lupa, saat ini Tina juga sedang dekat dengan seorang teman SMAnya dulu. Meskipun beda kelas, tetapi keduanya sangat akrab dan kecemburuan yang Julian pendam selalu saja berusaha ia sisipkan ditengah keakraban mereka. Bagi Julian, cemburu saat itu seperti jalan berkabut. Julian harus mengeluarkan kata-kata untuk melihatnya. Bukan dengan diam seribu Bahasa.

“Entahlah,” jawab singkat Julian yang langsung diikuti Gerakan tangan meraih segelas kopi pahit didepannya. Sudah lima gelas kopi pahit yang Julian pesan malam ini. Bagi julian kopi pahit ditengah derasnya hujan beserta angin malam masih lebih hangat dibandingkan sikap dingin yang Tina berikan kepada Julian selama ini.

“Tina tak suka kamu, ada orang lain dihatinya. Sudahlah, jangan kau paksakan, masih banyak yang lebih baik diluar sana kawan,” Petrus mencoba menasehati Julian.

“Diluar memang masih banyak, tetapi dia masih didalam,” jawab Julian sambil menyentuh dada.

Entah kenapa malam ini Julian merasa teman lamanya itu terus saja menghakiminya, seolah-olah Julian adalah ciptaan-Nya yang memang paling pantas untuk disalahkan atas skenario ini.

“Ok, ok terus bagaimana? Kamu masih terus mau memperjuangkan orang tak pernah mau diajak berjuang?” lanjut Petrus.

Julian hanya terdiam, membiarkan mulut Petrus terus menerus menikamnya dengan kata-kata penghakiman, baginya ucapan Petrus malam ini pantas meskipun disertai tikaman-tikaman kecil, tetap saja tak akan mampu melukai nama yang telah Julian abadikan dalam sebuah kotak fanah bernama ingatan.

“Cinta itu perjuangan dua orang, bukan sendirian,” tegas Petrus.

Julian tahu temannya ini peduli padanya, bukan tak percaya Julian bisa melewatinya sampai akhir tetapi mungkin ada hal lain yang memaksa Petrus mengatakan kata-kata itu pada Julian. Baru kali ini Julian dibuat diam oleh Petrus, selama ini Julian tak pernah kalah sekatapun saat mereka berdua berdebat, tetapi malam ini ditengah keramaian rintik hujan hanya Petrus yang berani menyapa Julian dengan penghakiman. Tak habis rasanya bahkan sahabat Julianpun tak lagi mendukungnya, apakah Julian salah?

“Ini tkadir Tuhan dan tak ada yang dapat disalahkan,” pikir Julian.

Yang terpenting bukanlah menang atau kalah, bukan juga berhasil atau gagal mendapatkannya, Tuhan tidak mewajibkan manusia untuk itu, sehingga kalahpun bukan dosa dibagian itu, yang terpenting adalah apakah seseorang berjuang atau tidak berjuang, hanya itu.

“Dan sekarang kau masih saja berharap padanya?” sindir Petrus sambil tertawa sinis.

Ada nada mengejek dalam penghakiman Petrus kali ini. Satu-satunya dapat Julian terima kali ini adalah dia menghakimi dan mengejek Julian, tetapi tak ada alasan. Julian tidak bisa menghentikan Petrus karena Julian merasa benar-benar pantas dihakimi dan diejek oleh argumentasi Petrus. Nada Petrus barusan membuat kesabaran Julian habis. Julian serap semua ocehan kurang ajar dari Petrus. Tak ada sedikitpun yang dapat Julian sisakan. Julian satukan dalam suatu tempat sunyi tak bermilik, lalu Julian bungkus dengan nama ‘sahabatku.’ Malam ini Julian kalah telak. Tak pantas rasanya Julian mencaci karena tak ada yang pantas dicaci dari ucapan Petrus. Perasaan inilah yang membuat semuanya menjadi seperti ini. Ekspektasi yang terlalu tinggi untuk mendapatkannya yang membuat semua jadi begini.

“Aku tak tahu harus bagaimana kawan,” jawab Julian dengan pelan.

Kali ini benar-benar Julian mati kutu dihadapan Petrus, hanya pertanyaan tak bermelodi yang keluar dari mulut Julian. Ada banyak sekali cerita bahagia yang pantas dikisahkan pada hujan yang bertemu mala mini, tetapi entah kenapa Julian lebih memilih cerita melakonis untuk disampaikan. Julian menatap kopi pahit yang sedang mendingin dihadapannya. Julian perhatikan setiap tetesan pada dinding luar gelas akibat uap air dan udara yang bersentuhan dengan gelas dingin mengakibatkan suhunya turun, uap yang ada diudarapun ikut mendingin. Jika suhunya sudah cukup dingin, uap air akan mengembun tetes-tetes air dibagian luar gelas.

“Kondensasi,” batin Julian sembari tersenyium.

“Kenapa kamu senyum-senyum? Kamu tidak mulai gilakan?” tanya Petrus terlihat kebingunan.

“Kondensasi,” ulang Julian dengan senyium semakin lebar.

“Kondensasi,” tanya Petrus lagi.

“Kondensasi, pelajaran fisika dasar, proses perubahan zat melepas color,” jawab Julian senyium.

“Saat uap air diudara melalui permukaan yang lebih dingin dan titik embun uap air akan menjadi titik air atau embun. Ada apa denga itu?” lanjut Petrus.

Julian tak percaya teman lamanya ini masih saja mengingat pelajaran SMA dulu, meskipun petrus baru saja menghakimi Julian, tetepi harus Julian akui kalau memang dia jauh lebih cerdas dibandingkan Julian. Julian tak menyangka bahwa ingatan Petrus sampai sedetail itu tentang pelajaran yang telah hampir 3 tahun mereka tinggalkan.

“Ada apa dengan itu?” tanya Petrus Kembali.

“Kamu masih ingat pelajaran itu?” tanya Julian keheranan.

“Rasanya Cuma itu yang aku ingat dari pelajaran SMA,” Petrus berkata sambil tertawa.

“Ada apa dengan hal itu?” lanjut Pterus kembali bertanya.

“Aku ingat Tina lagi,” jawab Julian dengan sendu.

“Tina lagi?” tanya Petrus bosan.

“Mungkin perasaanku kepadanya seperti itu,” jawab Julian menunduk.

“Seperti itu? Maksud kamu?” Petrus bertanya Kembali.

“Sayangku ini kepadanya hanya sebatas melalui perasaanku tanpa ada perasaannya, maka sayang itu akan menjadi tetesan-tetesan tak berguna duluar gelas,” jawab Julian sambil menyedup seteguk kopi.

“Tentu saja! Taka ada gunanya terus menerus berharap padanya, kan kejadiannya pasti sama seperti tetesan tak berguna diluar gelas itu,” jawab Petrus dengan nada yang benar-benar mengejek kali ini.

Rasanya memang benar, perasaan Julian sepertinya akan berakhir seperti kisah tetesan-tetesan embun tak berguna diluar gelas kopi pahit kesukaan Julian. Tak tahu apa yang mesti Julian lakukan, sudah sejauh ini Julian berjuang dan Tina belum juga memberikan respon yang Julian harapkan. Ada banyak rasa sakit yang rasanya tak mungkin Julian cabut, sehingga satu-satunya pilihan adalah malam paling Panjang dalam hidup Julian tak ada satupun dukungan terhadap Julian untuk memperjuangkan perasaan kepada Tina, bahkan dari sahabatnya sekalipun. Pada hal hampir setiap hari Julian memikirkan untuk memberikan Tina kejutan, Julian tulis setiap perasaan tentang Tina, mulai matahari terbit hingga bulan terbenam kembali, bayang Tina dibenak Julian tak pernah lepas sedetikpun.

Julian percaya, menyukainya adalah takdir Tuhan, dan tentu saja tak ada yang bisa disalahkan dalam drama kali ini. Yang salah adalah jika Julian memaksa keluar dari skenario yang Tuhan telah berikan. Tuhan menciptakan gelisah untuk mengajari kita bersabar, bahwa semua yang seseorang tunggu mati-matian itu tak selalu datang, Tuhan menciptakan getir untuk mengajari kita menjadi tenang, mendidik jika semua tak berakhir bahagia, Tuhan menciptakan duka untuk mengajari kita cara bersahabat dengan luka, Tuhan menciptakan kecewa untuk mengajari kita hidup tak selalu tentang bahagia.

“Malam ini tekadku sudah bulat, buat apa lagi aku mengejar sesuatu yang tak menunggu?” batin Julian.

Berhenti ditengah jalan tak pernah menjadi jalan yang mudah bagi Julian. Tak pernah. Tapi bagaimana saat orang yang sangat dekat dengan kita sekalipun tak lagi menunjukan dukungannya terhadap peilihan kita?. Julian memang mampu berdiri sendiri, bahkan selama ini tak ada teman yang menemani Julian dalam pendiriannya. Tetapi Julian mengira mereka tak meninggalkannya. Ternyata Julian salah. Malam ini ada satu hal penting yang berusaha mengerti bahwa punggung ini kadang rapuh dipertengahan jalan berkat beban perasaan yang harus dilahap sendirian, oleh karena itu Julian harus memutuskan sesuatu.

“Kamu benar Pet, aku harus berhenti sampai disini, mungkin Tina tersiksa dengan beban yang aku tuntutkan kepadanya,” kata Julian kepada Petrus.

“Hahaha wow, kamu jangan terlalu bawa perasaan, bukannya kamu tak pernah menuntut apa-apa darinya? Bahkan kaupun tak berharap jawaban dari pertanyaan sayangmu padanya.” Petrus membalasnya.

“Bukannya kamu yang menyuruhku untuk berhenti?” tanya Julian tak percaya jawaban Petrus barusan.

“Aku bercanda kawan, mana mungkin aku melihat sahabatku menderita karena harus melupakan orang yang tak mungkin bisa dilupakannya?” Petrus berkata dengan serius.

“Maksud kamu?” tanya Julian.

“Iya, mustahil untuk kamu lupakan Tina.” Jawab Petrus.

Julian tak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut Petrus barusan ini. Julian hanya berusaha memastikan semua perkataan yang keluar dari mulut Petrus saat itu dan tentu saja Julian semakin dibuat bingun dengan peran yang diberikan Tuhan pada Petrus malam ini.

“Baru saja kamu menghakimiku, sekarang kamu balik mendukungku, jangan-jangan kamu jelmaan iblis," Julian berkata dengan senyium.

“Apakah ada iblis setampan aku?” Petrus berkata dengan tertawa.

Hampir saja kesabaran Julian habis malam itu, seandainya Petrus bukan sahabatnya, sudah Julian pecahkan kepalanya dengan gelas kopi tua dihadapannya.

“Aku baru melihatmu seperti ini, pertamuan kita sudah lama tetapi baru kemarin rasanya aku mengenalmu,” lanjut Petrus.

“Apa maksud kamu?” tanya Julian.

“Kalau kamu benar-benar sayang dengan Tina, kejar dia dan jangan pernah dengarkan pendapat orang lain,” Petrus berkata.

“Kamu jangan membuatku bingun Pet,” Julian berkata dengan tatapan tajam.

“Kasih sayang perlu keikhlasan, semakin kamu ikhlas dengan apa yang dijauhkan, makan yang kamu ikhlaskan akan menjadi lebih dekat.” Nasehat Petrus.

“Terus apa maksud kamu menyuruhku berhenti mengejarnya?” tanya Julian.

“Aku cuma ingin melihat kamu marah malam ini, sudah lama rasanya hanya kegalauan Tina yang kau perlihatkan padaku.” Jawab Petrus.

Bibir Julian mengembang, julian persembahkan senyiuman paling tulusnya malam itu. Julian merasa ada nada-nada mendukung dalam kalimat terkhir teman lamanya itu, tak ada lagi irama-irama penghakiman dalam merdunya Petrus berkalimat kali ini. Tak tahu sejak kapan Petrus pandai bersyair seperti itu, apakah setelah membaca buku-buku puisi Gibran, yang Julian tahu malam ini ia masih mempunyai kawan untuk menjalankan skenario Tuhan sebagaimana mestinya. Teori yang diajarkan maha pembolak-balik hati malam ini pada Julian adalah saat seseorang sudah merasa benar-benar lelah dan menyerah, Tuhan kadang bercanda dengan mengabulkan harapan yang sudah seseorang relakan.

“Jadi sekarang aku harus bagaimana? Bukankah dia dekat dengan orang lain?” tanya Julian.

“Tidak perlu berlebihan, nikmati saja. Tina beruntung diperjuangkan orang sekeras kepala kamu,” jawab Petrus.

Malam ini Julian makin sadar, dia memiliki perasaan yang besar pada Tina, Julian ingin mengingatnya, melebihi apa yang mampu diingat oleh ingatan Julian. Benar kata kawan lamanya Julian, tugas Julian hanyalah mengatakan perasaan. Hanya memberitahu bahwa Julian punya perasaan. Bukan memastikan perasaan itu terbalas. Hal terbalas atau tidak, itu urusan belakang, karena semua yang milik seseorang akan kembali kepada diri sendiri, tidak perlu memaksakan semuanya. Tina bukan sekedar pilihan, sebab Julian tentu saja tak sekedar memilih, namun Julian berjuang.

“Mau kopi pahit lagi?” tawar Julian kepada Petrus.

“Pisang goreng saja,” jawab Petrus sambil tersenyium.

Kopi pahit Julian tak lagi berasa pahit tetapi Julian tahu dia juga ikut tersenyium mendengar ujung percakapan Julian malam ini. Yang terganbar jelas malam itu hanyalah hujan yang belum juga menunjukan redanya dan suasana workop yang semakin sunyi. Julian lirik jam dinding di pojok sudah berpindah di angka 01. Julian pun sadar, Tuhan baru saja menghentikan waktu untuk Julian. Sekedar membahas permasalahan singkat Julian bersama malaikat yang baru saja Julian sebut iblis. Terlalu banyak hal yang orang-orang katakan dan gampang jatuh cinta. Orang-orang menganggap jatuh cinta sebagai kata kerja dan ingin mengungkapkannya sesering mungkin. Entah orang-orang itu lupa atau tidak tahu kalau jatuh cinta dan mencintai adalah dua penderitaan yang berbeda.

Untuk pertama kalinya Julian merasa Tuhan Maha Penyair, malam ini Ia mengajari Julian bagaimana cara menyusun skenario hidup yang begitu rumit, pahit, dan penuh tangis. Tapi percayalah, Tuhan tak akan lupa membingkainya dengan cinta yang begitu manis. Dan malam ini tetap seperti malam-malam sebelumnya, berharap besok Julian masih terbangun dari tidur, karena ada yang selalu Julian syukuri Ketika terbangun. Pertama, Julian masih hidup. Kedua, Julian masih juga bisa menikmati kopi pahit. Ketiga, tentu saja karena Julian masih bisa mengharapkan Tina.

Dogiyai, 09 Maret 2023

Karya: Yulianus Degei

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Yulianus Degei lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler