x

Iklan

Yafet Ronaldies

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Senin, 13 Maret 2023 06:32 WIB

Fenomena Anak-anak Berjualan Sampai Larut Malam

Ironinya negeriku masih marak sekali anak-anak di bawah umur berjualan hingga larut malam

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fenomena ini bukan hal biasa yang baru-baru terjadi, akan tetapi dari tahun ke tahun selalu ada saja persoalan anak di bawah umur 18 tahun yang masih saja menjadi pekerja. Terkadang ada yang berjualan hingga larut/tengah malam. Titik lokasi mereka biasa berjualan mulai dari lampu merah hingga sampai masuk ke café-café, rumah makan dan tempat-tempat yang rame.

Yang dimana seharusnya anak-anak tersebut fase-fase masa bermain, belajar dengan teman sebayanya, kini harus dengan terpaksa pergi berjualan dengan berjalan kaki. Dari beberapa mereka, ada yang masih bersekolah ada pula yang sudah putus sekolah, sungguh amat miris melihat fenonema ini belum teratasi dengan tuntas. Persoalan inilah yang membuat diskriminasi secara halus terhadap anak-anak yang harus dipaksa oleh oknum untuk berjualan sampai larut malam.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal ada asas dan tujuan dari undang-undang antara lain non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak. Kalau dari kasus persoalan anak di bawah umur yang masih marak pergi berjualan hingga larut sampai tengah malam, maka dapat dipastikan asas dan tujuan dari undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tidak diterapkan secara baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kalau ditarik dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dijelaskan ada hak anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.

Kalau berdasarkan dari sudut pandang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, berdasarkan Pasal 1 Ayat 2 diuraikan bahwasannya segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Lebih lanjut di Pasal 6 dan 9 Undang-undang Nomor 35 dituangkan hak-hak anak antara lain, anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi. berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Artinya dalam hal ini anak harus merasakan keseluruhan hak-hak mereka, karena anak-anak inilah yang akan menjadi generasi mutiara penerus bangsa ini.

Kalau disimak dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 68 sudah jelas dituliskan “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.” Akan tetapi ada lanjutan dari pasal 69, seperti ketentuan dan syarat anak boleh dipekerjakan. Bunyi dari Pasal 69 ayat 1, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

Pertanyaan besar timbul, bagaimana menilai/melihat anak tersebut merasa tidak terganggu kesehatan fisik dan mentalnya? Bagaimana jika anak disuruh kerja secara terpaksa? Masih di Pasal 69 ayat 2 point c, disebutkan anak bisa dipekerjaan dengan maksimum waktu 3 jam saja. Padahal realita dan objektifnya di lapangan yang terjadi tidak begitu, justru ada anak yang berjualan dari petang sampai larut malam, di suruh berjualan di tempat-tempat rame, terkadang duduk di lampu merah, sambil menawarkan jualannya.

Sungguh amat miris kondisi anak-anak tersebut, yang dipaksa untuk berjualan. Terkadang seperti itulah, undang-undang sudah mengatur dengan baik, akan tetapi buruknya penerapan pada saat di lapangan, membuat beberapa anak-anak di bawah umur tidak merasakan seperti teman-teman sebayanya yang lain.

Menurut penulis, bahwasannya ketika ada yang bekerja sebetulnya itu ada makna tersiratvkepada makna eksploitasi ekonomi atau mempekerjakan anak dengan senggaja hanya untuk menarik keuntungan pihak lain atau keluarga atau bahkan orang tuanya sendiri.

Walaupun demikian, pekerja anak jika dilihat dari konsep hak dan kewajiban, maka pekerja anak merupakan proses dalam mencari kebutuhan materi baik untuk dirinya maupun orang lain/keluarganya. Akan tetapi secara langsung hak-hak dari anak yang sudah dijamin oleh undang-undang, semuanya telah sirna; entah hak anak untuk mendapatkan pendidikan, hak dalam hal pergaulannya yang baik serta hak anak untuk dinafkahi semuanya hanya teori-teori yang indah di baca akan tetapi secara objektifnya sangat pedih buat anak di bawah umur dalam menjalankannya.

Tidak hanya perhatian khusus terkait kasus anak-anak di bawah umur berjualan sampai larut tengah malam, mesti ada penanganan serta progres lebih lanjut terkait fenomena anak di bawah umur berjualan hingga larut malam. Bagaimanapun juga anak juga harus merasakan masa-masa kanak-kanaknya dengan bahagia, tanpa adanya tekanan mental dan perilaku dari pihak-pihak yang mencari keuntungan sangat besar.

“Onnellinen lapsi onnellinen maa”, artinya “Anak bahagia, negara ceria”

Ikuti tulisan menarik Yafet Ronaldies lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler