x

Digital Photography by Tasch 2023

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Selasa, 14 Maret 2023 15:35 WIB

Rumah Bernyanyi

Cerpen Rumah Bernyanyi. Begitu saja tak terasa di lingkaran waktu, dari nol menjadi angka-angka, berubah rupa dalam bilangan-bilangan. Dalam denting metronom senafas siang ataupun malam terus berevolusi. Mati, hidup, gelap terang, cuaca lain di antaranya, membaur. Salam baik saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Lantas?"

"Tak ada lantas. Tetap seperti bahasan beberapa waktu lalu!"

"Kalau tak perlu dilanjutkan ya sudah. Tak perlu pula mengiba-iba seakan-akan besok dunia musnah. Itu tak masuk akalmu kan! Katanya kau paham soal perbedaan itu."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Aku tak pernah bilang aku paham! Aku cuma bertanya. Apa betul begitu. Kalau tidak ya sudah. Tak apa. Tak perlu pula didebatkan!" hening.

"Mudah sekali kau bilang seperti itu."

"Kenyataannya begitu. Benda mati tak bisa hidup."

"Lalu apa! Kau anggap hidup."

"Makhluk."

"Gila! Kau pikir sel bukan benda hidup?"

**

Peperangan, selalu ada di setiap kurun waktu. Katanya begitu. Bahkan untuk cinta,  perlu pengorbanan. Cinta datang seperti malaikat, pergi seperti setan. Kalau cinta datang dengan bunga, apa juga akan pergi menjadi setan. Ya barangkali, kalau tidak memahami, mencoba menolak kata cinta di lubuk hati.

Tak perlu kiasan sekadar mengungkap rasa cinta. Bidik langsung. Dor! Lurus saja. Tak perlu berkelok-kelok, membangun konsonan, menjadi alias seandainya atau seakan-akan. Bahagia atau sedih semacam suatu pola sebab akibat, mungkin, semacam kepastian, sekalipun hukum tentang hidup katanya pula tak ada hal pasti.

Kalau begitu bagaimana dengan, lapar atau kenyang. Senyum atau marah. Mungkin pula hal itu soal perasaan semata. Loh! Apa perasaan menjadi tidak penting ketika dihadapkan pada suatu amar putusan tentang cinta atau pengkhianatan. Maka untung rugi akan menjadi peranan penting dari keinginan tak tampak benar.

**

"Apa tak bisa kau berhenti berpura-pura?"

"Itu pilihan. Kalkulasi!"

"Otakmu isinya cuma kalkulasi."

"Tinggal pilih. Apa sulitnya?"

"Gila! Sel itu berkembang akan punya detak hidup."

"Nah! Itu persepsi!"

"Bukan, itu fakta biologis! Persepsi fakta dialogis tak mengikat analisis." Seseorang di kursi roda sejak tadi mengamati perdebatan mereka di layar monitor, dari kamera pengawas. Perdebatan keduanya tak pernah habis, jadi gema direkam waktu. Di bawa ke angkasa oleh abad dari sistem peradaban semesta.

Lantas, apakah perilaku keduanya juga tahu bahwa segala hal itu telah dicatat dalam buku besar catatan logika di bawah terang nurani. Sains, terus mengukir sejarah di kurun waktu, terus meninggi melaju pesat bersama tekno.

Kesempurnaan, nyaris bagai awan-awan dihembus angin, bagai kasih tak sampai. Analisis, sirna di antara perdebatan. Bagi keduanya hidup seperti sisa dari noktah. Entah hitam atau putih tak menjadi penting benar, mungkin. Mana awal atau akhir bagi keduanya serupa benang hitam tak berujung terus berpola semakin kusut.

Begitu saja tak terasa di lingkaran waktu, dari nol menjadi angka-angka, berubah rupa dalam bilangan-bilangan. Dalam denting metronom senafas siang ataupun malam terus berevolusi. Mati, hidup, gelap terang, cuaca lain di antaranya, membaur.

Tak ada satu pun tahu. Siapa lebih dulu ingin mati dari keduanya. Demikian kesimpulan akhir semacam kesaksian berhalaman banyak, seperti tertulis telah lama berselang. Tergeletak bertumpuk begitu saja di meja makan dekat dapur, rumah itu.

**

"Menurut catatan Anda. Kedua jenazah wafat waktu tengah malam lewat satu detik waktu setempat. Tapi, mengapa tak ditemukan tanda-tanda apapun menunjukkan bahwa kedua jasad itu mati akibat suatu pola tertentu."

"Akan mengarah kesana."

"Apakah sulit?"

"Tidak."

"Lantas?"

"Perlu kajian, diluar ketentuan prosedur formal."

"Forensik belum menentukan langkah lebih lanjut?" Hening. Keduanya, memperhatikan jenazah utuh itu bersikap seperti sedang tidur. Di kamar lain, ditemukan jenazah kedua semirip posisi jasad pertama. Tim forensik tampak sibuk simpang siur.

"Siapa mereka?" di benak kedua petugas ahli itu.

"Belum tahu." perlahan, gumam kedua petugas ahli itu.

"Kapan Anda temukan?"

"Terjadi begitu."

"Maksud Anda?"

"Seperti ada suara memanggil nama saya berkali-kali dari dalam rumah ini."

"Di tengah hari begini?"

"Ya. Awal penyebab saya masuk ke rumah sangat terawat ini."

"Bagaimana Anda bisa menemukan mereka?"

"Semua pintu tidak terkunci."

"Bukan main! Ajaib sekali."

**

Kejadian serupa sudah berulang kali, lantas investigasi berhenti begitu saja. Lenyap seolah-olah tak pernah terjadi apapun di rumah itu. Jenazah ketiga jarang ditemukan. Kadang ada, tampak di kursi roda. Di ruang semacam perpustakaan, di antara penataan lemari buku. Sejuk dengan jendela besar menghadap ke taman asri.

Setiap kali petugas bertanya kepada tetangga sekitar, jawaban mereka sama, bahwa rumah itu baik-baik saja. Penghuninya pun ada. Sering terlihat. Seorang ilmuwan serta kedua anak lelakinya pun juga ilmuwan. Kata tetangga terdekat.

"Sering terdengar perdebatan seru tak terpahami. Demikian kurang lebih. Setahu kami. Seperti kami dengar samar-samar." kata tetangga itu.

Mengapa terdengar samar-samar. Oh! Karena sekeliling rumah dibatasi tembok. Perasaanku bertanya-tanya. Dengan tembok setinggi itu. Apa mungkin tetangga sekeliling, mendengar percakapan penghuni rumah itu. "Ajaib."

"Ya ajaib. Jika benar menurut tetangga rumah itu, bahwa pemilik rumah dalam keadaan baik-baik saja. Meskipun ada mayat ditemukan di rumah itu."

Kecerdasan investigasi memutuskan, tidak memindahkan kedua jenazah dari masing-masing kamar tidur. Semakin mendorong rasa ingin tahu. Rumah itu amat terawat, termasuk dua jenazah itu tidak sedikitpun menimbulkan bau sebagaimana lazimnya.

Dengan berbagai tata cara investigasi, hingga metode tercanggih, tim investigasi, pihak pemangku kepentingan keamanan khusus, belum berhasil mengungkap, hal tersembunyi di balik rumah itu, investigasi ada banyak dugaan.

Mungkin rumah itu semacam eksperimen sains klasifikasi rahasia, semacam laboratorium uji coba tersembunyi. Sejauh ini langkah pintar, akan disiapkan mengungkap lebih jauh. Tengah dipikirkan membentuk tim ahli multidisiplin, untuk membongkar rahasia rumah ajaib itu.

Sayangnya pihak pemangku, tim ahli, hingga tulisan ini dirilis. Rumah bernyanyi, julukan rumah itu, tak pernah diungkapkan pada publik. Entah mengapa.

***

Jakarta Indonesiana, Maret 14, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler