x

Ilustrasi Gadis. Karya Victor Mendoza dari Pixabay.com

Iklan

nf nf

mahasiswi
Bergabung Sejak: 13 Desember 2021

Senin, 20 Maret 2023 06:31 WIB

Tahassus Muallimaat dan Arrayah

Setiap kamu punya kisah dalam menghafal kalam Allah yang Mulia. Berdarah-darah, pasti. Bahkan pengukuhan niat selalu diperkuat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
IMG20210811180457.jpg
 
Cover
 
dari galeri penulis
 
Tiap kali senja menemani kami ber-tahassus, terdengar suara bising bak deruan lebah di bangunan muallimat. Suaranya terkoneksi hingga jalan Suronatan. Iya, itu suara para santriwati yang sedang menghafal Alquran. Di asrama qabla subuh juga begitu. Pun bakda subuh hingga pukul tujuh. Padahal masuk kelas jam 7. Artinya dari bakda subuh tidak ada agenda tidur kembali. Betul-betul bising yang nikmat.
 
"Amma yatasaa alun." Halimah menyetorkan murojaahnya, surat Annaba juz 30. Sudah kali ketiga dia mengulangi setorannya itu.
 
"Mataa'an lakum wa lian'amikum. Faidza jaaatishoookhoh."
 
Trek trek, suara bolpen dipukulkan di meja kecil yang terbuat dari kayu. Tanda ada yang salah.
"Mataa'an lakum wa lian'amikum. Faidza jaaatishoookhoh.” Halimah mengulangi bacaannya dengan lebih hati-hati. Namun tetap terulang kesalahannya.
 
Trek trek. Kembali suara bolpen diketukkan terdengar. Halimah berpikir keras. Ia mengingat-ingat letak salahnya. Sayangnya waktu yang ia butuhkan tidak boleh lama karena suara ketukan bolpen akan terdengar jika ia tak kunjung menjawab.
 
"Mataa'an lakum wa lian'amikum. Faidza jaaatithommatul kubro." Halimah melantunkan hafalannya dengan tartil sekaligus percaya diri. Beruntungnya, suara ketukan bolpen itu tak terdengar. Tanda bacaannya betul. Karena setiap santri hanya mendapat jatah tiga kali peringatan. Lebih dari tiga kali, maka ia harus ke belakang, mengulang hafalannya esok hari.
 
Kami menutup kegiatan tahassus ini degan solat isya berjamaah, kemudian kembali ke asrama masing-masing. Saya menatap Halimah yang berwajah lelah. Selepas solat, dia langsung merebahkan tubuhnya di sajadah-karpet musola. Saya yang tak tahan melihat Halimah, langsung ikutan merebahkan diri di sampingnya. Dan kami pun tertidur. Pukul sembilan malam, bapak penjaga madrasah membangunkan sekaligus mengigatkan kami supaya balik ke asrama.
Saya akan menceritakan asal mula kelas tahassus ini terbentuk. Bertahun-tahun pondok ini berdiri namun tak ada kemajuan yang pesat dari segi tahsin maupun tahfidz. Butuh waktu enam tahun kami nyantri di sini. Enam tahun itu sudah mencakup jenjang SMP dan SMA. KBM berjalan seperti biasa, ada perkaderan organisasi dan ditambah, kami memiliki tanggungan hafalan alquran 4 juz. Sedikit atau banyak itu relatif, yah. Yang sangat disayangkan, hafalan itu tak terjamin mutqin tidaknya, tak terjamin benar atau salah tajwidnya, serta hanya stagnan dan tak ada perkembangan yang berarti.
 
Seperti yang sudah diketahui, bahwasanya setiap yayasan, tak terkecuali pondok pesantren ini, memiliki periode pasang surut. Entah dari segi kualitas maupun kuantitas. Nah, berawal dari sepinya ranah tahsin-tahfidz, Ustazah kami, Ustazah Nur Hasanah Rahimahallah, menjadi pelopor kelas tahassus terbentuk. Kelas tahfidz-tahsin atau yang sering kami sebut dengan kelas tahassus ini menjadi semacam nur yang terlihat bagai oase di gurun yang gersang nan tandus.
 
Menyilaukan bak permata di dasar laut yang gelap. Menjadi honai di tengah bangunan Muallimaat. Kali ini dengan mata kepala saya sendiri, saya menjadi saksi murid awal kelas tahassus dengan gemblengan yang luar biasa. Usaha Ustazah Nur Hasanah yang wira-wiri memperjuangkan dibentuknya kelas ini mulai menuai hasil, menjadi pencerahan tahsin di sekujur murid yang tak dapat membaca Alquran dengan benar, tak terkecuali saya. Memberi secercah harapan bagi santri yang berkomitmen mejadi hafidz quran. Entah apa jadinya kualitas bacaan Aquran saya jika saya tak memasuki kelas ini. Dapat dibilang mungkin nol (0).
 
Pada tahun kelima saya, kelas tahassus ini terbentuk. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mendaftar. Kala itu, saya sangat sedih, kecewa dan galau terhadap akhlak saya yang sangat buruk, terhadap keberadaan hafalan yang entah kemana. Beruntungnya, Allah mempertemukan saya dengan kelas tahfidz. Itulah cara Allah mencintai dan menjaga saya, pikir saya. Dengan pemberian rezeki dan karunia berupa lingkungan yang baik. Di awal masuk, sekitar seratus santri lebih ada di dalam aula untuk mengikuti tahassus yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelas tahsin dan tahfidz. Bagi mereka yang mengikuti kelas tahsin, maka mereka harus memperbaiki bacaan terlebih dahulu baru boleh menghafal sedangkan untuk kelas tahfidz wajib setor juz 30 dulu baru boleh hafalan juz lain. Sebenarnya kelas tahfidz sendiri masih membutuhkan tahsin. Mereka yang berada di kelas tahfidz, sudah paham dasar tahsin sehingga untuk memperbaiki bacaan, tidak terlalu susah. Alhamdulillah, saya diterima di kelas tahfidz. Halimah, Sinda, Nunung, Hafara, Adin, merekalah kawan-kawan seperjuangan dan seangkatan, yang juga diterima di kelas tahfidz. Ida dengan semangat membara, tak mau putus asa, juga medaftar kelas tahassus. Ia diterima di kelas tahsin. Walaupun begitu, ia sangat bersyukur. Ida berharap, bacaannya bisa lebih baik.
Saya sudah pernah menghafal juz 30 berkali-kali. Di SD, MTs juga. Cepat dan mudah dugaan saya. Saya terheran-heran, juz 30, di kelas tahfidz ini, saya selesaikan dalam tempo tiga bulan. Tetapi tak apa, karena saya bisa mendapatkan yang mutqin disertai dengan tajwid dan makharijul huruf yang sesuai dengan mencucu dan ngilunya bibir ini ditambah dengan hafal tulisan arabnya. Masya Allah, Alhamdulillah.
 
Bulan demi bulan berlalu. Beberapa santri tak bisa melanjutkan kelas tahassus ini dikarenakan beberapa faktor. Kau tahu, berapa santri yang terdapat di kelas tahassus kala itu? Hanya sekitar 50 anak per 1100 santri yang menjabat sebagai siswi Muallimaat. Ingin rasanya menangis. Bertanya-tanya bahwa sebenarnya ada apa toh, dengan madrasah tercinta ini?
 
Tahassus yang selama ini bertempat di madrasah mengingikan pembaharuan dengan adanya asrama tahfidz. Pembentukan asrama tahfidz itu rampung pada tahun keenam saya nyantri. Ustazah Nur merangkap pengajaran, menjadi pengajar tahsin di kelas tahassus serta menjadi pamong alias penanggung jawab asrama tahfidz. Tahassus tahfidz di madrasah dipegang oleh Ustazah Inayah, pamong asrama SAB. Berapa juz yang sudah saya hafal? Jangan ditanya, akan tetapi tanyakanlah mengenai bacaan saya, apakah masih salah, baik dari segi tajwid ataupun makharijul hurufnya. Begitupun hafalan kawan-kawan saya. Scene di awal tulisan saya, saya bercerita tentang Halimah. Tak peduli dua tahun penuh hanya hafal satu juz, juz 30, dengan bacaan yang benar, ditambah keistiqomahan yang luar biasa, Halimah sudah sangat bersyukur.
Di tahun terakhir itu, saya dapat menghafal ayat-ayat-Nya lebih banyak, mentadabburinya, sekaligus mendekatkan diri kepada kitab tersebut. Setiap hari Senin dan Selasa setor murojaah minimal 1 juz kepada sang Murobbi. Walaupun begitu, murojaah mandiri tetap saya rutinkan dengan jumlah minimal murojaah mandiri sekitar setengah juz.
 
Penglihatan ini semoga tidak buta bagi santri Muallimaat. Bahwa sesungguhnya jiwa-jiwa itu kering akan spiritualitas, menganggap dirin mereka serba tahu dan serba bisa. Mengakhirkan keberadaan-Nya demi terlangsungkannya sebuah keburukan. Perihnya hati ketika semua menjadi kebiasaan yang biasa dilakukan. Bak jamur yang perlahan membusukkan tempat yang ditumpanginya.
 
Layaknya guru terhadap muridnya, baik Ustazah Nur maupun Ustazah Inayah kerap memberikan wejangan-wejangan, bekal bagi semangat dan tekad kami untuk menghafal. Guru yang selalu bertindak sesuai tempatnya. Mengingatkan tanpa segan dan tak menyakitkan. Lihatlah akhlak para penghafal al-Quran itu! Supaya kita tersadar bahwa goal, aim, purpose, objective or whatever it is, dari kelas tahassus maupun asrama tahfidz adalah ‘akhlaknya’. Suatu ketika kami merasa tergelitik terhadap gemblengan Ustazah Nur yang seakan menyihir kami semua. Di mana kondisi rukuh tidak rapi, tempat yang tidak disediakan (tikar yang digelar), sampah berceceran, salat dimulai saat iqamahnya masjid sekitar alias terlambat (seharusnya, sebelum iqomah masjid sekitar, salat jamaah kami di musola sudah dimulai) menghafal atau membaca Alquran ketika tidak ada wudu, dan gelitik-gelitik maupun tohokan lainnya, yang kelak mengubah kami menjadi sebaliknya, menjadi lebih baik seiring dengan kuantitas Alquran yang telah kita genggam.
 
Ustazah Nur pernah berpesan,“Kita tidak tahu, siapakah yang lebih afdhol di sisi Allah. Ada yang untuk menghafal memerlukan waktu sehari dua hari. Ada yang lima menit saja sudah hafal satu muka. Bisa jadi dia yang sehari dua hari menghafalkan ini yang lebih banyak pahalanya. Dia selalu bersama alquran. Jauh lebih baik dibadingkan dengan yang sudah hafal dalam lima menit, setor kemudian malah mengobrol. Allah meguji kita, siapakah yang mendekap Alquran lebih lama di dada serta berusaha menjaganya di dalam hatinya. Sedikit atau banyakya hafalan sungguh tak masalah, Mbak. Karena yang terpenting, Alquran bersama kita di waktu-waktu termahal yang kita punyai.”
 
Beliau terdiam sejenak, membetulkan posisi duduknya. Saya memandang wajah beliau lamat-lamat. Wajah yang lelah dibalut dengan perawatan ala muslimah yang tetap membuat beliau fresh ditambah dengan kantung mata bewarna hitam terus saja siap sedia disetori bacaan talaqqi maupun hafalan kami. Dengan senyuman yang luar biasa ramahnya, beliau melanjutkan pesannya, ”Memang bukanlah hal yang mudah, menjadi atunna. Berjuang menghafal di saat remaja-remaja yang lain berleha-leha. Mengorbankan waktu demi Alquran. Sungguh hal tersebut merupakan anugrah Allah yang amat besar. Dialah yang menggerakkan hati kita semua untuk belajar bersama-sama. Tiada nikmat yang lebih baik dari ini semua. Alhamdulillah ala kulli hal. Satu yang antunna harus pahami, bahwa pembelajaran tahsin maupun tahfidz adalah pembelajaran seumur hidup. Jika kemudian kita, Mbak, mendapatkan kesamaan materi yang diulang, tentunya kita tetap bersedia mengikuti dengan senang hati. Mau ayat yg mana sudah pasti kita hafal, mau materi yang mana sudah kita pernah bahas, jika itu diulang kembali tentu itu bukan suatu masalah. Terus belajar demi dunia yang kekal, yakni akhirat.”
 
Nasehat beliau benar-benar membekas di hati. Barakallahu fiha.
 
Tak terasa, pada tahun ajaran berikutnya, seusai kami wisuda, saya menjadi musyrifah (pembimbing) asrama Siti Aisyah Barat (SAB). Saya tetap mengaji di ustazah Nur nyambi kuliah di Mahad Ali UMY. Tahun berikutnya, saya mendaftar di kampus STIBA arrayah Sukabumi. Di sana, Kembali hafalan ini ditempa. Memadukan matkul standar kampus umum, ditambah matkul ulum syariyyah, organisasi, dan kegiatan kampus lainnya. Meskipun begitu, ada beberapa hal yang membuat saya bersyukur bisa jadi mahasantriwati di kampus ini. Di antaranya, tidak diperbolehkan membawa gawai. Dengan begitu, fokus kami tidak terpecah disebabkan gawai. Selain itu, kami diminta untuk menundukkan pandangan ketika berpapasan dengan tholib (mahasantri). Tak ada peraturan, wajib mengenakan cadar. namun dengan kesadaran diri sendiri, kami menutup wajah-wajah kami demi menjaga hafalan kami dan hafalan mereka, para thulab (mahasantri-mahasantri). Bising-bising bak deruan lebah itu masih saya dengarkan. Masjid jami Arrayah menjadi latarnya. Kicauan burung-burung yang hinggap di sekitar atap masjid pun tak mau kalah dengan suara bacaan Alquran kami. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu akbar.
 

Ikuti tulisan menarik nf nf lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler