x

Sheila

Iklan

Samroyani

Penulis Serabutan
Bergabung Sejak: 28 Juli 2022

Rabu, 22 Maret 2023 11:08 WIB

Yang Maha Visual (Bagian 1)

Kita mengamini penglihatan, maka dibalas dengan kesialan. Disclaimer: cerita ini dikhususkan untuk pembaca dewasa. Kebijaksanaan pembaca diharapkan dalam menyerap cerita yang sepenuhnya fiksional ini. Mengandung unsur yang mengganggu, sensual, dan bahasa kasar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mana ada aku mau dibayar tiga ratus ribu rupiah. Memangnya modal melacur itu murah, gila. Lipstik, bedak, dan perias lainnya bisa sampai dua juta. Belum lagi pakaian, meski minim bahan dan menunjukan kulit di segala sisi dan ketat di berbagai kontur, tapi harga gaun yang kupakai saat ini saja sudah sembilan ratus ribu. Tas dan sepatu juga kalau dikalkulasi bisa setengah juta. Jangan lupa juga soal transportasi dan akomodasi. Beroprasi secara indie itu sulit, yah dikira untuk open BO di medsos itu tidak perlu pakai kuota.

Masalahnya sekarang ini aku tidak punya tempat mangkal, yah, terima kasih untuk pemerintah yang sok suci - lokalisasi semuanya dibubarkan oleh mereka yang padahal pelanggan setia kami.

“Saya adanya cuma segini, kan hotel saya yang bayar. Gapapa yah?” 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mudah saja bacotnya dilempar begitu. Aku yang sudah bayar ojol ke tempat ini, sudah dandan secantik ini, masa dengan entengnya dia bayar di muka dengan harga segitu. Tiga ratus ribu untuk jajan anak saja tidak akan cukup. 

Perjanjian di WA memang aku maunya dibayar duluan sebelum servis. Tapi, angkanya satu juta. Dia sendiri yang mengiyakan harga itu. Andai saja sejam yang lalu dia kuminta transfer di awal dulu setengahnya. Bodohnya aku, padahal sudah tiga tahun kerja begini. Masih saja kena akal bulus si belang yang satu ini. 

Mengingat usaha dan tarif umumku, jelas aku menolak. Sambil memaki dia sepuasnya. Tapi dasar bajingan, bisa saja dia berkelit. Mungkin karena sudah ‘nanggung’ juga, dia yang terlanjur melihat kemolekanku tidak langsung menyerah meski sudah kutolak uangnya, kucaci, dan hampir kuludahi mukanya. Laki-laki memang begitu, asal mata mereka bertemu bentukan wanita campuran Sunda-Tionghoa sepertiku pasti mereka langsung gila dan tidak tahu malu. Meski sudah usia kepala tiga, aku tetap menggoda.

Tarifku memang umumnya sejuta sekali main, yah kadang kalau kepepet tujuh lima puluh pun kuterima, itu tarif terendah selama karirku. Tapi tidak untuk uang tiga ratus ribu, harga pasarku bisa turun kalau aku mengiyakan tawarannya. Malas berdebat lebih panjang lagi aku langsung berjalan meninggalkan parkiran dengan harapan dia menghadangku dan akhirnya luluh memberikan angka yang kumau. Eh, tapi ternyata tidak, mungkin memang dia laki-laki bokek yang gajinya sudah habis sedari awal bulan disetor ke istri dan bayar hutang. 

Sambil jalan tak lupa kupesan ojol. Tujuannya langsung menuju rumah, tarifnya kulihat sama seperti saat berangkat kesini. Ah, sialan, buang-buang waktu dan uang. Akhirnya aku merokok sambil jalan ke depan. Tapi, sebenarnya berat hati kalau malam ini aku tak dapat pelanggan. Soalnya lusa aku harus bayar cicilan iPhone 14 anak gadisku yang baru saja naik kelas dua SMA. Sedikit memaksakan diri memang, tapi mau bagaimana lagi. Anakku bilang teman-temannya sudah pakai hape itu semua. Cuma dia yang belum punya saat itu. Meski pekerjaanku begini, aku tidak mau dia hidupnya ketinggalan. Aku tak mau dia hidup sepertiku dulu saat gadis, penuh keterbatasan.

Saat aku berjalan, kulihat mantan calon pelangganku yang tadi keluar dengan motor bututnya, dia juga langsung pulang sepertinya. Mukanya terlihat kesal, wajar sih, tapi itu salah dia sendiri. Terserahlah.

Setelah itu aku menunggu dekat pos jaga, kulihat satpam yang dari tadi tugasnya hanya buka tutup gerbang. Sadar betul bahwa mereka memerhatikanku balik. Tapi, cuek saja kuperhatikan layar hape, sebentar lagi ojolnya datang. Namun tiba-tiba salah satu satpam menegorku, “Perasaan baru masuk, kok udah pulang lagi cantik?”. Tidak kugubris, hanya kubalas dengan senyum halus saja. Saat itu mereka ada tiga orang. Yang satu orang sibuk main hape dan tidak ikut-ikutan menggodaku. Yang dua ini, hm, seperti serigala yang kelaparan dengan liur yang tercecer di dekatku.

“Gak jadi maen yah? Udahlah sama kita aja, berapa emang?”. 

Agak terkejut, salah satu dari mereka tiba-tiba bilang begitu. Sekali lagi, ini pasti karena mereka melihat bentukanku dalam mode kerja ini. Kuyakin mereka kepincut, Tapi, ah, satpam, mana sanggup bayar tarifku. “Sejuta sekali main, mampu?” kujawab saja dengan judes. “Satu setengah, tapi satu lawan dua?!”

Dari situ aku mulai tertarik, sepertinya mereka serius. Lagi pula tidak terlalu rugi. Hitung-hitung narik tarif minimum, tujuh setengah per orang.

Dari situ langsung kubatalkan pesanan ojol. Jelas si mang ojolnya marah dan memaki aku via chat di aplikasi, tapi terserahlah. Itu kesialan dia. Lagi pula hidup kan begitu, untuk terlepas dari kesialan, yah, kita harus mengoperkannya pada orang lain. Aku yang tadinya sial tidak jadi dapat pelanggan, hal itu akhirnya kuoper pada si mang ojol. Selamatlah aku untuk malam ini. Usai itu aku kembali berbincang dengan para satpam mesum ini lagi.

Negosiasinya singkat, yang satu orang langsung setengah lari menuju ke ATM. Sembari menunggu pembayaran di muka, aku mengobrol dengan yang satu orang lagi. Dari situ aku tahu mereka baru saja hoki. Menemukan tas di pelataran parkiran, isinya laptop, mereka jual dan hasilnya dibagi dua. Karena mungkin itu uang panas, akhirnya mereka putuskan untuk menghabiskannya dengan cara yang panas pula yaitu menyewa jasaku.

Setelah yang dari ATM datang, tak lama mereka langsung menuntunku masuk sambil meninggalkan tugas ke si cuek yang sedari tadi tidak memedulikan percakan kami. 

Sudah tahu lah apa yang terjadi selanjutnya. Tugas kulaksanakan, kerjaan beres. Mereka yang sudah puas langsung pergi untuk melanjutkan kerja - meninggalkanku yang langsung membersihkan dan merapikan diri. Karena lelah, aku tidak langsung pulang. Saat itu sudah hampir tengah malam. Aku ke teras depan kamar, duduk di bangkunya. Menyalakan rokok. Rencananya habis sebatang baru pulang. Saat sedang asik merokok, tiba-tiba dari kamar sebelah keluar seorang pria, dengan baju yang sedang ia rapikan, kancing atas terlaihat masih terbuka dua. Usianya kutebak 45 atau 50-an lah. Dengan perut buncitnya dia melirik ke arahku, spesifiknya ke pahaku. Kujahili sedikit dengan mengedipkan sebelah mata, dia hanya tersenyum lalu pergi melewatiku.

Dalam pikirku, tua muda, miskin kaya, laki-laki semuanya sama. Pikiran mereka dikuasi mata. Itu sebabnya wanita harus tampil cantik. Dengan menguasai pandangan mereka, aku bisa menguasai apapun yang ingin kukuasai dari mereka. Lucu memang, standar kecantikan itu memang beda-beda. Tapi di negara ini, bentukan sepertiku lah yang berada di puncak rantai kuasa - kulit putih, rambut lurus, badan semok, dan mata agak sipit.

Untung aku memilih pekerjaan ini, semenjak suamiku meninggal aku pernah jadi kasir, tukang cuci, sampai dagang krim perawatan kulit. Semuanya hanya membuat sakit kepala, sampai aku tersadar bahwa aku cantik, jadi pekerjaan ini yang aku pilih. Ah, kehidupan.

Rokok sudah mau habis, saat aku bangun ternyata pintu kamar sebelah terbuka lagi, sepertinya rekan seprofesiku yang kali ini keluar. Niat ramah, aku hendak menyapanya, siapa tahu kenal atau pernah satu manajemen denganku di tempat lokalisasi dulu. Dia yang keluar sambil menunduk bermain hape membuat wajahnya agak tertutup rambut. Saat dia sadar akan kehadiranku baru dia mengangkat wajahnya.

Saat itu yang kulihat gadis cantik muda, gadis paling cantik yang kuketahui, gadis Sunda-Tionghoa sama sepertiku, gadis yang di momen itu meruntuhkan pijakanku terhadap bumi. Kepalaku seakan mau meledak, gadis itu adalah anak tercintaku, tidak ada kata yang keluar di antara kami berdua saat itu. Aku diam, dia juga. Wajahku memerah, dia juga. Air mataku berjatuhan, dia juga.

[Bersambung]

Ikuti tulisan menarik Samroyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler