x

ilustr: thegypsythread.org

Iklan

Samroyani

Penulis Serabutan
Bergabung Sejak: 28 Juli 2022

Kamis, 23 Maret 2023 06:38 WIB

Yang Maha Visual (Bagian 2)

Kita memuja pemandangan, maka dibalas dengan pengkhianatan. Disclaimer; cerita ini dikhususkan untuk pembaca dewasa. Kebijaksanaan pembaca diharapkan dalam menyerap cerita yang sepenuhnya fiksional ini. Mengandung unsur yang mengganggu, sensual, dan bahasa kasar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku baru saja ditolak pelacur, iya, malam ini aku sungguh terhina. Niat hati meledakan hasrat, malah tersiksa libido tinggi dan harga diri yang rendah, sialan. Apa orang-orang sepertiku memang harus selalu sesial ini? Memang apa salahnya jadi seorang buruh pabrik dengan upah empat jutaan, kenapa hidup rasanya sangat sulit untuk orang sepertiku. 

Kalau ada penghargaan untuk orang paling sial tahun ini, sepertinya aku juara. Apa yang salah sebenarnya dari tahun ini? Tiga bulan lalu istriku lari dengan atasannya. Dia tinggalkan aku dengan anak yang baru berusia lima tahun. Wanita semuanya begitu, mata mereka memang bajingan. Asal melihat laki-laki yang bergaya sedikit, langsung berpaling. Padahal perbedaanku dengan atasannya itu tipis. Coba saja kalau dia mau melihat lebih teliti. Memang pria itu menunggangi Civic, sedangkan aku Beat, sama-sama Honda padahal. Tapi, setidaknya aku ini suaminya, miliknya. Sedangkan laki-laki itu mungkin milik istri pertama, kedua, dan ketiganya. Kalau saja dia mampu melihat hal itu. Aku walaupun kecil dibagi untuk sendiri, sedangkan pria besar itu harus berebut dengan wanita lain. Ah, coba saja dia gunakan matanya.

Kesialanku tidak habis disitu, menular ke pekerjaan, keuangan, dan hubungan pertemanan. Kesialan itu seperti kutukan. Sekali menempel, dia erat menggenggam sampai habis semua energi kehidupan. Komplikatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahkan malam ini, aku yang sudah susah payah menyisihkan sisa gaji mendapat saran dari teman bahwa dengan uang lima ratus ribu sudah bisa enak-enak. Dua ratus untuk sewa kamar, dan sisanya untuk bayar jasa. Aku diarahkan untuk mencari di Twitter atau Mi Chat, sisanya tinggal nego lewat WA. sepulang kerja tadi aku langsung main handphone, anak sudah kutitipkan ke orang tua. Aku cari mangsa, ternyata benar banyak wanita aduhai yang siap sedia dengan jasanya. Singkat cerita aku menemukan satu wanita, seumuran denganku sepertinya, putih mulus. Tipe idealku. 

Temanku bilang jangan mau bayar uang muka dengan cara transfer, mereka yang berdagang secara online biasanya kabur. Jadi aku minta uang dibayarkan setelah kami bertemu. Sialnya, dia minta tarif sejuta sekali main. Kuiyakan saja biar cepat. Niatku dia akan kunego di tempat nantinya.

Alhasil, kami janjian di hotel daerah pinggiran kota. Dengan semangat dan dibaluri bebauan parfum yang biasanya tidak kupakai akhirnya aku meluncur ke lokasi. Berpenampilan rapi selayaknya remaja yang baru pertama ngapel. Aku datang setengah jam lebih awal dari dia, rajin memang, bahkan kerja saja aku tidak pernah datang lebih awal. Sambil menunggu di atas motor aku merokok sambil main slot, iseng-iseng berhadiah. Siapa tahu saja aku hoki, tapi tidak. seperti biasa, uang menguap begitu saja di situs judi itu. 

Saat celingak-celinguk menunggu wanita itu datang dari kejauhan aku melihat mobil mewah masuk ke area parkiran di basemen hotel itu. Mobilnya Civic, sama seperti selingkuhan istriku. Bisa jadi mungkin itu dia, pria bajingan yang merebut istriku. Atau bisa jadi juga tidak, yang punya mobil begitu, kan, banyak? Aku memang belum pernah melihat wajah pria sialan itu. Aku hanya tau dari tetangga dan teman kerja istriku, kalau dia selingkuh dengan pria yang cuma kutahu ciri-cirinya saja.

Setelah memarkirkan kendaraannya ternyata yang turun seorang pria tua gendut dengan seorang gadis cantik. Aku yakin mereka bukan bapak-anak. Dengan manisnya gadis yang mengenakan rok pendek itu merangkul lengan pria busuk itu. Kutebak, gadis itu masih sekolah atau setidaknya kuliah. Sial, beruntung sekali pria itu. Wanita itu tua muda sama saja, gadis itu kuyakin sejenis dengan istriku, matanya mudah terkelabui. 

Dengan tak acuh mereka berjalan melewatiku, dalam hati “kapan aku bisa seperti itu…”. Sepertinya nyaris tidak mungkin. Waktu berlalu, sampai pada saat penolakan itu. Aku berdebat dengan wanita yang memang pasti kesal karena aku ingkar perjanjian. Dia marah dan memaki, dia menuntut tarifnya yang sejuta, keras kepala selayaknya wanita pada umumnya. Sekali lagi, persis seperti istriku.

Akhirnya transaksi kami batal, dia pergi begitu saja. Sungguh disayangkan memang melepas kesempatan menikmati wanita dewasa secantik itu. Tapi, aku memang sudah tidak ada anggaran lagi. Jadi ya sudahlah. Langsung kutancap gas keluar dari area parkiran. Kulihat wanita tadi sedang berjalan menuju arah gerbang. Kucuekan saja, dengan muka tertekuk nyaris sembilan puluh derajat aku mengencangkan gas dan keluar dari kawasan hotel itu.

Kini, aku sedang melantur di jalan. Melihat kanan kiri trotoar malam yang akhir-akhir ini menjadi berbeda. Banyak wanita menor di emperan ruko-ruko yang sudah tutup. Mereka juga kuyakin PSK. Semenjak pemerintah membubarkan lokalisasi, itu sama seperti menghancurkan sarang lebah. Mereka jadi terpencar di setiap sudut kota. Tapi aku tidak berminat memakai jasa mereka, meski aku sudah ‘nanggung’ seperti sekarang ini. Kata temanku, penyedia jasa yang melapak pinggir jalan itu terlalu beresiko, banyak penyakit menularnya, jadi kutahan. Paling kulampiaskan nanti di kamar mandi sambil menonton kesayanganku Mia Khalifa. Sayang dia sudah pensiun jadi tidak ada stok baru.

Perjalanan malam ini terasa singkat, karena pikiran yang kemana-mana dan memang aku agak ngebut juga. Sampailah aku di rumah. Tapi ada yang berbeda, pintu tidak terkunci, resah aku dibuatnya. Karena seingatku sebelum berangkat tadi kukunci pintu dan jendela. Agak gemetar kubuka pintu. Rumahku memang kecil, namanya juga subsidi yang setorannya sejuta sebulan. Ternyata saat aku masuk, di sana ada istriku yang sudah berbulan-bulan tidak pulang ke rumah. Seperti yang kuceritakan di awal tadi, dia kabur dengan atasannya. Saat itu dia bahkan tidak melirik ke arahku. Dia hanya sibuk mengepak pakaiannya. 

Aku hanya diam saja, dasar pecundang. Seharusnya aku marah, menampar dia kalau perlu, tapi aku terpaku seperti perabot rumah. Jangankan bergerak, satu kata pun tidak bisa keluar. Entah kenapa pada momen seperti ini aku justru malah merasa aku yang salah. Dalam nalar menimbang; mungkin kalau aku lebih dari ini dia tidak akan seperti itu.

Dia selesai merapikan barangnya agak tergesa dia berjalan ke arahku yang sedari tadi melihatnya di dekat pintu. Dia sempat menatap wajahku sembari melipir pergi. Aku diam, dia tidak. Wajahku memerah, dia tidak. Air mataku berjatuhan, dia tidak.

[Bersambung…]

Ikuti tulisan menarik Samroyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB