x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Sabtu, 25 Maret 2023 20:04 WIB

Nasib Sial Membaca di Era Post Truth

Nasib sial membaca di era post truth. Ketika orang lebih percaya opini daripada fakta. Kebiasaan membaca pun kian terpinggirkan. Lalu gimana lagi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perilaku membaca di era post truth bisa jadi berada di titk nadir. Ketika media sosial dan teknologi digital “berhasil” mengacaukan kebenaran. Sesuatu yang viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika. Kebenaran substansi kini tidak lagi difasilitasi. Etika tanpa flexing jadi nomor dua. Selamat datang di era post truth.

 

Era post truth, boleh dibilang telah melampaui kebenaran itu sendiri. Ketika fakta-fakta objektif dan realitas tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Maka wajar, di era post truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta. Melainkan afirmasi dan konfirmasi atau dukungan atas keyakinan yang dimilikinya. Maka konsekuensinya, muncul di dekat kita adalah kepura-puraan, hoaks, fenomena dusta, bahkan ilusi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Agak menyeramkan sih. Opini berkembang jadi bias, siapapun boleh membenci, Silakan menyerang. Narasi dibuat untuk mendeskreditkan orang per orang. Siapapun yang mampu menghadirkan “cerita” yang afirmatif pasti mampu mengambil hati dan perasaan publik. Di saat yang sama, maka kebenaran dan fakta pun menjadi tidak penting lagi. Karena siapapun bisa membuat sendiri informasi melaui media sosial, di samping dapat diakses di mana pun. Di era post truth, perilaku membaca wajar kian terpinggirkan. Post truth, cukup dicirikan dengan malas membaca tapi cerewet di media sosial. Selagi bisa eksis, maka post truth dapat dikatakan berhasil.

 

Sebutlah, nasib sial membaca di era post truth. Ketika kegemaran membaca kalah dibandingkan narasi kebencian dan hoaks yang ditebarkan. Ketika aktivitas literasi dan taman bacaan tidak lagi penting ketimbang pamer gaya hidup mewah. Membaca buku dianggap tidak asyik. Kalah asyik dibandingkan gawai atau media sosial. Kini, membaca dan literasi antara ketinggalan atau ditinggalkan. Boro-boro membaca jadi gaya hidup, jadi hobi saja sudah tidak dilirik lagi. Maka wajar, siapapun saat disuruh duduk dan membaca buku. Buru-buru menjawab "elo aja yang baca, abis itu ceritain gue".

 

Membaca makin sial nasibnya. Karena susah eksis di era post truth. Taman bacaan kian sulit bertahan. Aktivitas literasi justru makin tergusur dan terpinggirkan. Di sekolah, membaca hanya dijadikan tugas untuk membuat ringkasan. Di kampus, membaca pun cuma jadi bahan untuk diskusi kelompok atau mengisi waktu dosen yang tidak datang. Di lembaga yang kredibel pun, tidak sedikit membaca dan literasi hanya dijadikan “anak tangga” untuk menapak jenjang yang lebih tinggi. Membaca dan literasi hanya jadi seremoni, bukan esensi.

 

Sulit dibantah. Minat baca yang rendah adalah sebuah keniscayaan. Dr. Taufik Ismail (1996) pernah meneliti rendahnya minat baca di kalangan pelajar Indonesia. Mulai dari level SD hingga SMA. Selama 12 tahun belajar di sekolah, pelajar di Indonesia rata-rata tidak pernah membaca buku alias nol buku. Sementara di Jerman dan AS, lulusan SMA rata-rata membaca 32 buku. Sementara pelajar di Belanda membaca 30 buku, Jepang 15 buku, Swiss 15 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, dan Malaysia 6 buku. Di era post truth, membaca bisa jadi bukan hanya bernasib sial. Tapi mendekati “takdir buruk” bila tidak mau dibilang “menemui ajal”.

 

Di era post truth, kebiasaan membaca memang kian langka. Taman bacaan sebagai jalan hidup pun dianggap aneh. Literasi yang gagal mengambil hati dan perasaan publik. Itulah tantangan terberat pegiat literasi di era post truth. Selain harus “menghidupkan” aktivitas literasi dan taman bacaannya tapi harus “mencari jalan” sendiri untuk tetap bertahan di era yang lebih cenderung afirmatif daripada faktual. Hingga sebutan “malas membaca buku tapi cerewet di media sosial” menjadi paripurna.

 

Era post truth kadang aneh. Katanya, membaca itu senjata melawan lupa. Tapi nyatanya, tidak sedikit orang yang punya senjata untuk lupa membaca. Banyak orang sudah lupa. Bahwa ilmu tanpa baca sama seperti bercinta tanpa tutur kata. Itulah nasib sial membaca di era post truth. Mau gimana lagi? Salam literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

 

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler