x

Iklan

Ajie Prasetya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Oktober 2020

Rabu, 29 Maret 2023 13:33 WIB

Israel, Piala Dunia U-20 dan Panggung Cari Suara Dukungan Politik

Gelombang pernyataan menolak Timnas U20 Israel di ruang publik oleh politisi dan kelompok masyarakat tertentu menjadi bumerang terhadap sepakbola tanah air. Peran Indonesia sebagai tuan rumah ajang terbesar kedua balbalan dunia itu terancam dibatalkan oleh FIFA. Kini tinggal menunggu hasil lobby Ketua PSSI, Erick Thohir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kabar mengejutkan datang dari perhelatan Piala Dunia U-20. Drawing grup peserta yang seharusnya dilaksanakan di Bali harus dibatalkan. Penyebabnya adalah pernyataan dari Gubernur Bali yang menolak kedatangan tim nasional Israel di pulau Dewata. Tidak hanya itu, Gubernur Jawa Tengah pun mengemukakan penolakan terhadap kehadiran Israel. 

Pernyataan demi pernyataan yang dilontarkan di ruang publik tentang penolakan Israel ini seakan menjadi bumerang terhadap nasib sepak bola dalam negeri. Bagaimana tidak, dengan biaya ratusan miliar rupiah yang sudah dikeluarkan dan kerja keras dari PSSI, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan berbagai stakeholder telah dilakukan semenjak tahun 2019. Penyelenggaraan kegiatan ini merupakan ajang prestisius dan bergengsi untuk membawa nama bangsa harum di kancah dunia. 

Terlebih gelombang penolakan yang berlangsung dalam waktu berdekatan dengan penyelenggaraan acara. Jadi bisa dibilang motifnya sangat berbau politis. Terutama untuk golongan yang mencari panggung suara sebagai persiapan pesta demokrasi di tahun 2024 mendatang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa isu ‘penolakan Israel’ dianggap bermuatan politis:. 

Pertama, sepak bola merupakan olahraga paling populer seantero negeri

Siapa yang tidak kenal sepak bola di Indonesia? Dari anak kecil hingga dewasa di berbagai tempat pasti mengetahui tentang olahraga satu ini. Menurut salah satu situs populer Soccer Blade Indonesia merupakan negara fanatik sepak bola yang masuk dalam tiga besar dunia. Buktinya rata-rata kepadatan stadion di Indonesia bisa mencapai angka 96 persen. 

Tidak cuma itu, sepak bola di Indonesia pun menjadi tempat menaruh kepentingan sekaligus batu loncatan bagi para politikus. Suara-suara yang dicetuskan oleh para politisi mengenai isu Israel ini akan menarik simpati yang mendalam bagi banyak masyarakat Indonesia. Otomatis elektabilitas akan naik dalam hal ini.

Padahal, jika melihat kegiatan olahraga lain, dalam 10 tahun terakhir terdapat beberapa atlet Israel yang bertanding di Indonesia. Sebut saja Misha Zilberman, seorang atlet badminton yang bermain pada kejuaraan dunia 2015 di Istora Senayan, Yuval Shemia yang bertanding pada Piala Dunia Panjat Tebing di Jakarta pada 2022, serta Mikhail Yakolev yang mengikuti ajang UCI Track Nation di Jakarta pada Februari 2023 lalu. 

Terbaru, tim Israel dijadwalkan akan mengikuti World Beach Games 2023 di Bali pada Agustus nanti. Di manakah suara-suara penolakan oleh politisi pada kegiatan selain sepakbola?

Kedua, isu sensitif Palestina-Israel

Persoalan Palestina dan Israel memiliki riwayat panjang dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dengan status Israel sebagai penjajah Palestina dalam puluhan tahun terakhir menjadi sebuah sikap politik bahwa Indonesia sangat kritis dan melawan segala bentuk penjajahan oleh Israel. Akibatnya, Israel dianggap sebagai salah satu ‘musuh’ oleh masyarakat Indonesia sampai Palestina bisa mendapatkan kemerdekaannya. 

Kedatangan Israel ke dalam negeri dianggap akan menjadi bagian mengendurkan dukungan kemerdekaan bagi masyarakat Palestina. Bagian ini dipolitisasi oleh beberapa kalangan. Belum lagi, hal ini dibalut dengan sentimen agama di dalamnya sehingga menjadi sebuah konsumsi yang sangat renyah bagi kalangan masyarakat. 

Padahal Dubes Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun, menyatakan bahwa penyelenggaraan Piala Dunia U-20 merupakan bagian tanggung jawab Indonesia sebagai tuan rumah sehingga wajar Indonesia memberikan fasilitas kepada Israel. Indonesia mentaati ketentuan dari FIFA untuk menjamin para peserta. Baginya Indonesia akan senantiasa untuk konsisten dan teguh mendukung isu-isu tentang Palestina. 

Dua hal di atas menjadi latar belakang mengapa politisi yang menyuarakan gelombang penolakan dianggap hanya mencari suara saja. Terlebih mengapa semua pernyataan dilontarkan serba dadakan? Hanya menjelang kurang dari dua bulan kejuaraan dilaksanakan. Padahal timnas Israel sudah lolos dari dari babak kualifikasi semenjak Juni tahun 2022. Hampir setahun berlalu tentunya.

Kita harus belajar pada Qatar yang tetap mengizinkan warga Israel sekalipun untuk datang menonton sepakbola. Mereka sadar bahwa mereka merupakan tuan rumah sehingga harus menjamin keamanan dan kenyamanan baik untuk peserta maupun tamu yang datang untuk menonton pertandingan sepakbola. Mereka sukses memisahkan politik dan olahraga di dalamnya. 

Dampak gelombang penolakan ini tentunya yang paling disayangkan adalah kemungkinan sanksi yang akan diterima Indonesia dari FIFA. Sanksi akan menyebabkan berhentinya seluruh kegiatan sepak bola di negeri ini, mengulang sejarah kelam pada 2015 lalu. Perekonomian dari sepakbola akan mati, masalah akan bertambah. Belum lagi mimpi anak-anak muda dan tim pelatih Indonesia yang telah berjuang dengan latihan keras selama tiga tahun terakhir. Semua hancur gara-gara penolakan bermuatan politis oleh pihak-pihak tertentu.

Semua harus berpikir sebelum berpendapat, sebab dalam perspektif agama pun terdapat kaidah mudarat yang lebih kecil harus ditanggung untuk menghindarkan mudarat yang lebih besar. Nah, apakah kehadiran Israel menimbulkan mudarat yang besar ketimbang melihat kematian industri sepak bola dalam negeri?

Apapun itu, semoga dengan kekuatan bulan yang paling baik (Ramadan), Piala Dunia U-20 tetap digelar di Indonesia dan berjalan dengan sukses. 

Ikuti tulisan menarik Ajie Prasetya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler