x

Demonstrasi pro Palestina di Indonesia Sumber: Merdeka.com

Iklan

Fajar Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Juli 2022

Kamis, 30 Maret 2023 14:15 WIB

Indonesia, Penolakan terhadap Israel, dan Kepentingan Nasional

Ada yang berpendapat penolakan terhadap timnas Israel itu mengabaikan prinsip-prinsip olahraga yang menghargai kebebasan dan persamaan. Tindakan penolakan tersebut pelanggaran hak-hak tim nasional Israel sebagai peserta resmi. Bagaimana pun FIFA mempunyai aturan-aturan yang jelas dalam penyelenggaraan sepakbola. Mau tidak mau, pemerintah harus mengikuti aturan yang berlaku. Lantas, mengapa penolakan baru terjadi sekarang?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru-baru ini, jagat publik dihebohkan dengan pencopotan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Hal itu dikonfirmasi langsung lewat laman situs FIFA kemarin. Presiden FIFA Gianni Infantino mengambil keputusan tersebut setelah berbincang langsung dengan ketua PSSI Erick Thoir di Doha, Qatar. Sebelum itu, FIFA juga sudah membatalkan drawing dan sedang mencari tuan rumah yang baru.

Berbagai respon pun bermunculan menanggapi isu tersebut. Lini media mainstream dan media sosial penuh dengan pemberitaan dari FIFA ini. Tak sedikit dari mereka yang kecewa dengan keputusan FIFA. Tapi, banyak pula yang sepakat mendukung keputusan tersebut. Masyarakat terbelah.

Pendukung penolakan Timnas Israel jelas mengaitkan hal ini dengan isu peperangan dengan Palestina. Di bagian lain, pihak yang tidak sepakat dengan keputusan FIFA menyayangkan usaha dan harapan untuk bisa melihat punggawa timnas tampil di ajang bergengsi. Belum lagi, Indonesia telah menggelontorkan dana yang fantastis untuk menyelenggarakan Piala Dunia. Ditaksir berkisar 4,1 triliun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukan Isu Baru

Memang penolakan Timnas Israel bukan jadi isu baru. Momen pertama yang tercatat dalam sejarah adalah ketika presiden Soekarno menentang pertandingan Timnas Indonesia melawan Israel pada kualifikasi Piala Dunia 1958. Indonesia seharusnya bertemu dengan Israel di babak playoff. Namun, akhirnya timnas memilih mundur.

Hal itu terus berlanjut pada Asian Games 1962, sebagai tuan rumah, Indonesia juga menyatakan penolakan. Pemerintah Indonesia saat itu tidak memberikan Visa kepada kontingen Israel. Meskipun akhirnya, kita dijatuhi sanksi oleh Komite Olimpiade Internasional.

Penolakan sebenarnya tidak saja terjadi di Indonesia. Tapi juga di dunia. Pada 2018, Argentina yang hendak melakukan pertandingan persabahatan dengan Israel akhirnya batal digelar setelah terjadi penolakan bahkan ancaman pembunuhan. Alasannya, pertandingan tersebut dipindah dari Haifa ke Yerusalem.

Protes besar terjadi karena bagi sebagian besar warga dunia, Yerusalem merupakan tanah suci yang masih jadi sengketa, apakah milik Israel atau Palestina. Terlebih, Israel ingin menjadikan laga uji coba melawan Argentina sebagai perayaan kemerdekaan yang ke-70.

Sementara itu, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain juga pernah menolak untuk mengirim atlet mereka ke Kejuaraan Dunia Karate pada tahun 2019 yang diselenggarakan di Israel.

Perdebatan

Berbagai penolakan yang sudah saya sebutkan di atas jelas disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, penolakan ini didasarkan pada sejarah panjang konflik antara Israel dan Palestina. Terkhusus bagi Indonesia, yang selama ini menjadi salah satu negara yang mendukung kemerdekaan Palestina.

Sikap Indonesia dari awal memang mengutuk tindakan Israel yang dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional. Dengan menolak kehadiran Timnas Israel, Indonesia mengirimkan pesan politik bahwa negara ini tetap konsisten dengan prinsip-prinsip yang dianutnya dalam menangani isu-isu internasional.

Kedua, tindakan ini juga mencerminkan solidaritas umat Islam. Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia. Penolakan terhadap Timnas Israel dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap saudara-saudara muslim yang menjadi korban konflik di Palestina. Selain itu, penolakan ini juga dianggap sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Israel yang dianggap merugikan umat Islam.

Di bagian lain, Amanat UUD 45 mengenai perdamaian dunia juga menegaskan prinsip yang dijunjung tinggi oleh Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Indonesia sebagai negara yang pro-aktif dalam menyuarakan perdamaian dunia, secara konsisten memperjuangkan prinsip-prinsip perdamaian, keadilan dan kebebasan di dunia internasional.

Alasan-alasan di atas memang benar adanya dan bisa diterima akal. Namun, di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa penolakan ini mengabaikan prinsip-prinsip olahraga yang menghargai kebebasan dan persamaan. Tindakan penolakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak tim nasional Israel sebagai peserta resmi ajang olahraga internasional.

Bagaimana pun, sepakbola adalah cabang olahraga yang memiliki struktur organisasi. FIFA mempunyai aturan-aturan yang jelas dalam penyelenggaraan sepakbola. Mau tidak mau, pemerintah juga harus menerima dan mengikuti aturan yang berlaku. Lagipula, kita pun sudah sepakat sejak awal pengajuan diri sebagai tuan rumah. Lantas, mengapa penolakan baru terjadi sekarang?

Memang, jika kita bicara soal Israel, pro-kontra masih akan terus berseliweran di masyarakat. Begitu lah sebenarnya keadaan dunia yang serba tak menentu. Dunia memang penuh dengan ketidakpastian dan konflik.

Ini yang disebut dalam pandangan realis sebagai kondisi anarki. Penolakan timnas Israel dalam ajang olahraga internasional dapat dipandang sebagai bagian dari perang politik yang lebih besar dan bukan sekadar protes olahraga yang sah.

Dengan kata lain, setiap negara bertindak untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan melakukan apa yang dianggap perlu untuk mempertahankan kekuatan dan posisi dalam sistem internasional. Sikap nya jelas, untuk merugikan dan melemahkan posisi Israel secara internasional.

Pakar Realis Morgenthau dalam buku nya Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1948) mengatakan, negara dalam sistem internasional berada dalam kondisi perang yang terus menerus, di mana kekuatan dan kepentingan nasional menjadi fokus utama dalam interaksi antarnegara.

Morgenthau juga menekankan bahwa kepentingan nasional harus diperjuangkan dengan cara yang rasional dan realistis, bahkan jika itu berarti menggunakan kekuatan militer atau tindakan lain yang keras terhadap negara lain yang mengancam kepentingan nasional.

Olahraga jelas tidak bisa disamakan dengan perang. Menurut, saya, perang yang sesungguhnya berada di internal pemerintahan saat ini. Terjadi keterbelahan politis. Kalau kita lihat, beberapa waktu lalu, presiden Joko Widodo telah mengeluarkan pernyataan untuk tidak mencampuradukkan politik dan olahraga. Namun, tak sedikit pula pemangku jabatan seperti eksekutif dan legislatif yang bertentangan dengan pernyataan pak Jokowi.

Dari kasus ini, sebenarnya bisa kita lihat bagaiman perang dua kepentingan nasional menemukan titik nadirnya. Kemunculan faksi pro dan kontrak tidak bisa terhindarkan dan membuat masyarakat terbelah. Singkat kata, maju kena, mundur kena.

Maka penting bagi Indonesia untuk melihat dampak dari kebijakan yang diambil. Hal ini ditempuh guna mengurangi risiko yang ditimbulkan baik dari sisi politis, ekonomis, dan sosial. Pernyataan tidak mencampurkadukkan politik dan olahraga adalah sebenarnya pernyataan yang terlalu klise.

Menurut pandangan saya, kedua hal ini tidak akan pernah terpisahkan, karena keduanya seperti dua sisi koin. Yang jelas, pemerintah harus menetapkan kepentingan nasional yang jelas, dan tetap menjalankan amanat undang-undang, serta berpegang pada Gerakan Non-Blok. Itu lah rambu-rambu kita dalam bernegara.

Ikuti tulisan menarik Fajar Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler