Warung Kopi
Aku duduk di warung kopi.
Orang-orang ramai berdiri,
terlihat murung seorang pemuda.
Fajar namanya,
ia selalu menangis dengan mata berlinang,
karena pujaan hati cuman read doang.
Sungguh malang nasibnya,
sakit hati baginya tapi lucu bagi pemirsa.
Langit
Lama tak muncul bintang di langit malam,
lama pula aku sendiri dalam temaram.
dan angin menusuk hingga ke dalam sukma,
penuh dengan kehampaan semata.
Engkau tak akan kembali,
karena hilang ditelan bumi.
Anak Kecil
Anak kecil menyanyi penuh ceria,
anak kecil merenung menjulurkan tangannya.
Debu terkumpul dalam dada,
Resah gelisa sendu terkumpul dalam jiwa-nestapa yang hampa hatinya hampa.
Cahaya terik jalanan ibukota tak menyurutkan semangat.
Mereka terus berjalan sepanjang nestapa.
Aku menatap penuh iba tanpa tahu harus berbuat.
Yang kulakukan hanyalah berdoa.
Tiap sudut ramai oleh mereka,
tanpa orang tua.
Wajah jernih tanpa dosa.
Harus dikotori oleh orang tua yang enggan kerja.
Gitar Malam
Malam mengalun penuh kelabu.
Air gemercik turun dari langit yang penuh haru.
Petikan sinar gitar bergetar dalam ruang, dan waktu.
Malam semakin malam,
suaranya bergetar hingga fajar berlalu.
Membuatku merenung semakin dalam.
Tahun Baru
Waktu terus berganti laksana kilat,
tahun demi tahun terlewati dalam harmoni.
Tetapi hal itu tidak membuat aku bersemangat,
karena kita hidup hanya sekali.
Tanpa sadar kita semakin tua,
wajah mengkerut mengkerut penuh lipatan.
Mari kita siapkan diri untuk bekal tanpa dosa
Demi masuk surga cepat laksana kilat.
Ikuti tulisan menarik Malik Ibnu Zaman lainnya di sini.