x

Gambar 1. seseorang sedang menggunakan baju lurik dalam kesehariaanya

Iklan

Kurnia Ibrahim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 April 2023

Sabtu, 8 April 2023 20:45 WIB

Vestiti Democratici

Artikel ini merupakan tulisan opini berbasis kontemplasi dan pemikiran sosial budaya sekitar. Tulisan dikemas dengan alur yang ringan dan tidak terlalu panjang lebar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi itu pukul 9.30, situasi depan rumah sudah mulai ramai. Bulek saya, mempunyai usaha katering kecil-kecilan. Meskipun berskala kecil, tapi tidak pernah sepi orderan. Saya bilang cukup ramai di setiap paginya karena bulek saya mempekerjakan beberapa ibu-ibu (tetangga) untuk menggarap pesanan di setiap harinya.

Di saat itu, saya pasti sedang bersiap untuk berangkat bekerja. Ya, bekerja. Meskipun saat ini saya juga sedang menempuh sekolah sebagai mahasiswa akhir tapi, banyak waktu luang di kala semester senja (skripsian sedang dalam proses). Sebenarnya, semenjak semester pertama pun hingga di penghujung semester ini saya beberapa kali nyambi dengan bekerja paruh waktu. Setidaknya mungkin bisa mengurangi beban orang tua saya yang rasanya sudah cukup abot untuk membiayai. Karena selain saya, masih ada adik laki-laki saya yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP.

Rutinitas pagi, saya selalu isi dengan mencoba mengumpulkan niat dan suasana positif untuk bekerja. Entah itu, merokok sambil mendengarkan lagu favorit, atau hanya sekadar merenung di pagi hari. Mungkin tidak hanya saya, tapi juga banyak manusia lainnya melakukan ritual pagi untuk membangun motivasi hidup sehari-hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selepas itu saya bersiap dengan bersih diri,sarapan dan pamit. Setelah siap, lanjut saya mengeluarkan motor untuk berangkat ke tempat kerja. Di saat saya ingin mengeluarkan tiba-tiba salah satu rewangan bulek saya menyapa dan bertanya

"Mas e kok ngangggo lurik niku, ndamel e teng pundi to mas?"
Dengan tertawa ringan saya menjawab

"Hehehe mboten dingge ndamel budhe, niki naming luaran (jaket) mawon" Si ibu dengan tertawa pun langsung menjawab

"Oalahhh... hahaha tak kiro dingge ndamel mas, budhe dadi kelingan karo bapak (suami) mbiyen sering banget nganggo lurik"

Agak sedikit terkejut mengapa baju lurik saya disorot dan di komentari oleh si ibu. Dugaan saya mungkin hanya untuk basa-basi, tapi secara spesifik mencuit tentang baju lurik yang saya kenakan menurut saya adalah suatu basa-basi yang berbeda. Basa-basi yang memiliki makna implisit, mungkin.

Sedikit bercerita bahwa saya mungkin tergolong orang yang suka dengan sesuatu yang lama. Ada beberapa barang bekas dan tua umurnya yang saya punya. Buku,kacamata,baju dsb. Meskipun banyak yang sudah rusak atau rapuh tapi value yang saya dapat bagi saya sangat sepadan dengan harganya yang masih terjangkau dan masih bisa ditawar.

Tentang baju lurik, bagi saya baju lurik merupakan sesuatu hal yang lama, kelas dan antik. Oleh sebab itu ketika saya ke Pasar Notoharjo, ada seorang bapak-bapak menggelar dagangan bekas nya dan ketika saya melihat dari kejauhan, saya langsung tercuri hatinya saat melihat baju lurik yang dijual. Murah, hanya Rp. 15 ribu karena memang barang bekas pakai. Kancingnya saja lepas satu dan tersimpan di saku baju itu.

Tanpa saya tawar, saya langsung deal dengan bapaknya untuk mengambil baju lurik seharga itu. Setelah saya beli dan pulang ke rumah, baju lurik itu menjadi "jaket" saya sehari-hari. Bahkan ketika ada urusan di kampus, saya tetap mengenakan baju itu sebagai luaran dengan dalih outfit of the day.

 Kembali di masa pagi hari ketika bersiap untuk berangkat kerja. Setelah ditanya oleh ibu-ibu rewangan bulek saya, saya berjalan menuntun motor untuk menghidupkannya di depan jalan. Pekewuh saja, bila saya hidupkan di depan rumah dan melewati budhe-budhe rewang dengan suara motor yang lumayan mengganggu mereka bercanda.

Saya nyalakan motor dan mulai memanasi sebentar setelah itu  berangkat jalan menuju tempat kerja. Belum sampai jauh dari rumah, saya teringat bahwa persediaan tembakau saya sudah habis di rompi saya. Bergegas, saya mampir sebentar ke warung rokok depan rumah. Warung Mbah Umi namanya. Warung lawas yang dari jaman saya bayi pun mereka sudah buka.

Sesampainya di warung, saya langsung matur ingin membeli rokok kretek. Mbah Umi langsung satset melayani dan seketika bertanya :


"Nganggo lurik opo dadi tukang parkir to, Le?"

 

Sontak saya dibuat terkejut lagi dan ini membuat lebih terkejut. Tukang parkir. Saya bergegas langsung merespon

 

"Mboten mbah! niki naming dingge jaketan mawon. Mboten tukang parkir"

 

Mbah Umi yag mendengar respon saya kembali menjadwai sembari tertawa lirih

 

"Wooooo tak kiro dadi tukang parkir…"

 

Setelah itu, saya tidak terlalu banyak merespon dan segera memberikan uang saya untuk membayar rokok yang saya beli. Memang sedang terburu-buru berangkat juga, namun ada perasaan menohok yang menyentil dalam pikiran saya. Selesai itu, saya menaiki dan menyalakan motor untuk gas berangkat ke tujuan. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya saya merenung dan memikirkan kejadian pagi itu. Terhitung 2 kali dalam 1 hari, ada orang yang menyoroti baju lurik yang saya kenakan. Apa ada sesuatu yang salah dengan saya memakainya? Saya rasa sangat tidak masalah. Sampai pada akhirnya, pemikiran saya mengerucut dengan pandangan adanya kemungkinan pergeseran fungsi baju lurik dari masa ke masa. Seakan baju lurik di masa sekarang benar – benar memiliki pergeseran yang bisa jadi tidak hanya dari fungsi pakainya saja, namun hingga nilai filosofis bendanya.

 

Dikutip dari situs www.kain-lurik.com, kain lurik berasal dari bahasa jawa yakni lorek yang melambangkan kesederhanaan. Maksud daripada sederhana itu adalah sederhana dalam penampilan bagi seseorang yang memakainya. Dijelaskan pula, bersumber dari Ensiklopedia Nasional Indonesia (1997), menjelaskan bahwa kain lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa. Kain lurik atau baju bermotif lurik pada zaman dulu pun memiliki identitas dan sebagai simbol kelas strata sosial. Kebanyakan pengguna kain atau motif baju ini adalah orang kebanyakan (rakyat). Sehingga dengan pernyataan dan fakta sejarah yang memang masih sedikit saya ketahui tentang motif lurik atau baju bermotif lurik itu, saya sedikit mengambil asumsi bahwa kain bermotif lurik atau baju yang mengambil motif tersebut memang lahir dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Baju tersebut merupakan identitas busana masyarakat pribumi yang tidak bisa dibedakan atas dasar pekerjaan atau mungkin lainnya. Tetapi, itu dimasa lalu. Saat ini cukup terlihat dan terasa jelas, bahwa sedikit adanya pergesaran akan hal tersebut terhadap penggunaan baju motif lurik yang mungkin tidak hanya saya saja yang memakai, namun juga banyak orang di luar sana.

 

            Di Surakarta, atau bisa dikatakan kawasan Solo Raya, baju lurik diperjualbelikan secara asik dan terjangkau. Beteng, Pasar Klewer adalah salah dua dari banyaknya tempat yang menjual baju motif lurik. Dengan fenomena tersebut, sudah cukup jelas bahwa baju lurik masih sangat relevan untuk memenuhi sandang masyarakat jawa, khususnya daerah Solo Raya. Akan tetapi, di zaman ini kita sudah tentu harus mengakui bahwa tidak semua masyarakat jawa menggunakan baju lurik sebagai baju sehari – hari. Tidak perlu saya bahas pula mengapa demikian karena memang seperti itulah arus zaman yang sedang berlangsung. Berjalan. Baju lurik ini akhirnya sering digunakan di waktu – waktu “special” seperti festival budaya jawa, acara tradisional, pertemuan para sesepuh dsb. Jikalau tidak diwaktu – waktu itu, baju lurik digunakan sebagai seragam harian oleh institusi atau yang sangat mudah kita jumpai dan hafalkan adalah menjadi pakaian dinas para tukang parkir. Saya rasa bagi kita masyarakat solo raya sudah sangat hafal akan hal dimana tukang parkir daerah Surakarta dan sekitarnya sering sekali menggunakan baju motif lurik sebagai pakaian dinas. Baju lurik itu lalu ditempel badge “P” dan logo Pemda sebagai tanda bahwa pemakainya merupakan seorang tukang parkir yang resmi dari pemerintah daerah. Hal tersebut sering saya dan juga masyarakat jumpai di daerah Solo Raya.

 

Akhir daripada tulisan ini yang menjadi keresahan saya serta para pembaca dapat merenung dan berpikir akan hal ini adalah mengapa di hari itu, ketika ada dua orang yang begitu menyoroti pakaian lurik yang saya kenakan di masa ini, saya merasa sangat “berbeda” dengan masyarakat lainnya. Padahal sudah jelas – jelas memang baju lurik itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lalu mengapa baju lurik di zaman ini seakan – akan sangat tidak biasa dan tidak “demokratis” ketika dipakai sehari – hari oleh masyarakat.  Apakah mungkin memang baju lurik di zaman ini berkemungkinan memiliki identitas atau simbol baru di tatanan sosial peradaban masyarakat jawa saat ini?

 

Ikuti tulisan menarik Kurnia Ibrahim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler